Selasa, 26 Juli 2011

ASKEP BARTHOLINITIS


                     I.     Pengertian Bartholinitis
Glandula bartholini ini terletak pada orifisium vaginae,. Kelenjar bartholini merupakan kelenjar yang mengalirkan pelumas.sekresi kelenjar ini normalnya alkali dan apabila fungsi untuk mempertahankan kelembaban yang di perlukan untuk kesehatan membran mukosanya.bartholinitis adalah infeksi pada kelenjar bartholin ,juga dapat menimbulkan pembengkakan pada alat kelamin luar wanita, biasanya pembengkakan disertai rasa nyeri hebat bahkan penderitanya sampai tidak bisa berjalan dan disertai demam dan berwarna kemerahan.
                   II.  Etiologi

Etiologi dari bartholinitis adalah infeksi kuman pada kelenjar bartholin yang terletak pada bagian dalam vagina agak keluar mulai dari chlamidia,gonore dsb. Infeksi ini kemudian menyumbat mulut kelenjar tempat diproduksinya cairan pelumas vagina.
Etiologi akibat infeksi di bagi 2 yaitu:
·                     Infeksi alat kelamin bagian bawah
Ø    Virus: condiloma acuminata,herpes simplek
Ø    Jamur: candida
Ø    Protozoa: amubiasis,trichomoniasis
Ø    Bacteri: neisseria gonore
·                     Infeksi alat kelamin wanita bagian atas
Ø    Clamidia trachomosisdan parotitis epidemika
Ø    Jamur: asinomises
Ø    Bakteri: neiseria gonore,staphilococus dan e colli

                  III.  Patofisiologi
Cairan memenuhi kantong kelenjar sehingga di sebut sebagai kista kuman dalam vagina akhirnya menginfeksi kelenjar bartolin sehingga kelenjar bartolin menjadi tersumbat terjadilah pembengkakan,jika tidak ada infeksi maka tidak akan ada keluhan.

                 IV. Tanda dan gejala
·   Vulva : perubahan warna kulit timbunan nanah dalam kelenjar, nyeri tekan
·   Kelenjar membengkak, nyeri bila berjalan atau duduk, bisa disertai demam.
·    Kebanyakan wanita penderita datang dengan keluhan keputihan,gatal, sakit saat buang air dan    terdapat benjolan di sekitar alat kelamin
·   Abses pada daerah kelamin
·   Pemeriksaan fisik di temukan cairan mukoid berbau dan bercampur darah.

                  V.  Pengobatan

Biasanya penderita bartholinitis berobat karena nyeri. Bartholinitis juga dapat menjadi abcess karena saluran kelenjar tertutup  dan berlangsung proses penahanan di dalam kelenjar.
Abcess ini      merupakan bahaya bagi terjadinya infeksi nifas. Oleh karena itu abcess harus di sembuhkan terlebih dahulu sebelum tiba masa persalinan. Yang belum memasuki masa persalinan di obati dulu dengan obat obat sulfa seperti sulfadiazin dan eklosin, yang sudah tenang di insisi atau kelenjar yang mengandung nanah di angkat seluruhnya.(marsupialisasi)
Kista bartholin biasanya kecil antara ukuran ibu jari dan bola pingpong,tidak terasa nyeri dan tidak menggangu koits, bahkan kadang tidak disadarioleh penderita.
Sebaiknya kista pada ibu hamil di biarkan saja dan baru di angkat  kurang lebih 3 bulan setelah persalinan. Apabila   kista sering meradang walaupun sudah di obati berlang kali atau apabila kista sangat besar sehingga di khawatirkan akan pecah sewaktu melahirkan ,maka sebaiknya kista tersebut di angkat  dalam keadaan tenang.sebelum lahir ada kalanya kista sangat besar dan baru di ketahui sewaktu wanita sudah dalam persalinan.
Dalam hal demikian di lakukan pungsi dan cairan di keluarkan walaupun ini bukan therapi tetap. Setelah selesai marsupialisasi baru di lakukan.

                 VI.  Pemeriksaan penunjang
·                     Laboratorium
·                     Vulva
·                     In spekulo
               VII.  Pengkajian (data fokus)
·                     Perubahan warna kulit
·                     Udema
·                     Cairan pada kelenjar
·                     Nyeri
·                     Benjolan pada bibir vagina
·                     Bau cairan
·                     Jumlah dan warna urin

                                    VIII.   Diagnosa yang mungkin timbul
·                       Defisit perawatan diri b.d keterbatasan gerak
·                       Kerusakan integritas kulit b.d oedema pada kulit
·                       Nyeri b.d keadaanluka
·                       Kurang pengetahuan b.d kurang pemahaman terhadap sumber informasi
·                       Disfungsi sexual b.d proses penyakit
                                       IX.   Intervensi
·                       Bantu klien untuk memenuhi hygiene pribadi
·                       Pantau keadaan luka
·                       Berikan penyuluhan kesehatan tentang perawatan diri
·                       Kaji tingkat nyeri klien
Gunakan cara interaktif yang berfokus pada kebutuhan untuk membuat penyesuaian praktek sexual atau untuk meningkatkan koping terhadap gangguan masalah sexual.

Sumber :
- muhsakir gau/ASKEP BARTHOLINITIS /2009/
-http://muhsakirmsg.blogspot.com//

Rabu, 13 Juli 2011

Sosok Bersahaja Mufidah Yusuf Kalla


Wanita bersuara lembut yang berusaha menjaga sikap untuk selalu tampil setenang mungkin, Mufidah Miad Saad, ini seorang ibu yang setia menopang karir suami, Wakil Presiden Jusuf Kalla. Keberhasilan JK dalam dunia usaha dan dunia politik tak terlepas dari dukungan wanita Minangkabau kelahiran Sibolga 12 Februari 1943, ini.
Bak kata pepatah asam di gunung ikan di laut bertemu dalam kuali, itulah yang terjadi pada pasangan Muhammad Jusuf Kalla dan Mufidah. Sebagai khasnya orang Minang yang berjiwa perantau, begitulah jua keluarga Mufidah (ayah H Buya Mi’ad dan ibu Sitti Baheram serta sebelas orang anak saudara sekandung. Dari Sumatera Barat merantau ke Sibolga, umatera Utara hingga ke Sulawesi Selatan.<a
Di kota Angin Mamiri Makassar, Mufiodah akhirnya bertemu jodoh Jusuf Kalla. Mufidah yang biasa cukup dipanggil dengan Ida saja, adalah gadis muda belia yang untuk pertamakalinya bertemu pandang dengan Jusuf Kalla saat menginjak bangku SMA Negeri III Makassar, Sulawesi Selatan, sebagai siswi baru.
Di masa-masa sekolah inilah awal mula persemaian kisah cinta Mufidah dengan seorang anak muda Muhammad Jusuf Kalla (MJK), pria suku Bugis kelahiran Watampone 15 Mei 1942, putra pengusaha tradisional Bugis Haji Kalla dan Hajjah Athirah pendiri dan pemilik NV Hadji Kalla Trading Company, bersemi. Jusuf Kalla dan Mufidah mulai saling menaruh hati pada tahun 1962 saat Jusuf Kalla duduk di bangku kelas dua dan Ida adalah siswi baru kelas satu SMA Negeri III Makassar. Mufidahlah yang menyebutkan kalau Jusuf Kalla sudah menunjukkan ketertarikan kepadanya sewaktu SMA. Namun Ida menanggapi ketertarikan Kalla dengan bersikap tenang dan biasa-biasa saja, sepertinya tanpa ada gejolak apapun. Walau berakhir happy ending kisah cinta dua anak bangsa Jusuf Kalla-Mufidah memang sepertinya mirip dengan kisah Siti Nurbaya, sebuah cerita klasik dari Minangkabau. Ketika Jusuf Kalla sudah sedang berada di puncak hasrat asmara bahkan hendak melamar, Ida kepada Kalla mengaku terus terang kalau dirinya sudah dijodohkan oleh kedua orangtua kepada pria lain.
Pengakuan langsung itu menjadi konfirmasi final atas kabar perjodohan Mufidah yang sebelumnya telah terembus ke telinga Jusuf Kalla. Kabar atau “mimpi buruk” yang muncul justru di saat Jusuf Kalla hendak melamar Ida. Pria yang dijodohkan ke Mufidah disebut-sebut pula ganteng dan sedang menempuh pendidikan di Amerika Serikat.
Namun, nyali Jusuf Kalla tak surut. Dan, akhirnya mereka menikah. Buah kasih mereka telah melahirkan lima orang anak, yakni Muchlisah Jusuf, Muswirah Jusuf, Imelda Jusuf, Solichin Jusuf, dan Chaerani Jusuf, serta tujuh orang cucu.Penari Serampang 12Ketenangan dan selalu bersikap biasa, sejak gadis belia hingga sudah menjadi nenek tujuh orang cucu adalah ciri khas pembawaan Mufidah, wanita yang di usia senja 61 tahun masih saja mengguratkan tanda-tanda kecantikan dan kesegaran. Sebagai misal, walau nyonya rumah di sebuah keluarga kaya raya, yang berdasar laporan KPKN Jusuf Kalla memiliki kekayaan Rp 134,2 miliar, penampilan Mufidah tampak biasa-biasa saja. Sehari-hari di rumah, misalnya, ia cukup mengenakan setelan busana muslimah yang sangat bersahaja. “Ya biasa-biasa saja. Sejak bapak mundur dari kabinet, saya memilih tinggal di rumah bersama satu cucu atau ikut bapak keluar daerah jika menginap. Soal kegiatan saya, sebut saja saya menjadi ibu rumah tangga,” kata Mufidah, tersenyum kepada Indo Pos bercerita perihal kegiatan hariannya berikut status barunya sebagai Ibu Rumah Tangga. Ibu Rumah Tangga biasa sederhana yang bukan lagi dikenal Nyonya Menteri namun malah naik menjadi Nyonya Wakil Presiden karena kebersahajaannya. Tutur kata Mufidah terkesan ramah dan akrab. Sama seperti sang suami Jusuf Kalla, yang konglomerat dari Indonesia Timur yang juga sangat bersahaja dan sederhana sekali sebab jarang sekali mengenakan pakaian jas lengkap, kecuali untuk acara resmi yang sangat penting itupun terkadang paling-paling cukup mengenakan baju batik saja. Keseharian Jusuf Kalla lebih suka mengenakan baju lengan pendek tanpa dasi, atau jika ingin lebih sederhana cukup kenakan baju koko berlengan pendek.Jusuf Kalla menyemai bibit kasih sayangnya kepada Mufidah dengan sesekali datang bertandang ke rumah Ida. Ia datang bersama kawan-kawan sesama mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Hasanudin (Unhas) Makassar. Tujuannya “bukan” untuk bertemu Ida melainkan asyik bermain halma dan mengobrol dengan sang “Camer” alias calon mertua. Mufidah suatu ketika harus menempuh ujian akhir SMA di Medan sebab bersamaan waktunya dengan penyelengaraan sebuah kejuaraan tari di Medan. Ida yang pandai menarikan tarian Melayu Serampang Duabelas, demikian pula tarian Minang dan Aceh, dipercaya mewakili Propinsi Sulawesi Selatan mengikuti kejuaraan tari di Medan. Bukti bahwa Mufidah seorang penari handal tercermin pada putri bungsunya, Chaerani, yang mewarisi bakat penari. Di Medan Mufidah berhasil tampil sebagai juara tiga. Cinta jarak jauh Makassar-Medan diisi Jusuf Kalla dengan kerap menanyakan dan mencari tahu kabar tentang Ida, sambil sesering mungkin berkirim kartu pos.Kembali ke Makassar Mufidah berkesempatan bekerja di bank BNI 1946 atas permintaan ibu dan koneksi ayahnya dengan direktur utama bank yang kini bernama Bank BNI itu. Dengan bekerja Ida menyimpan hasrat lama kuliah di Universitas Hasanudin, tempat dimana Jusuf Kalla kuliah dan aktif sebagai aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Walau gagal masuk Unhas sekampus dengan Kalla Ida tak ingin melunturkan niat besarnya menempuh pendidikan tinggi. Ia lalu masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Selepas bekerja sebagai teller bank Ida rajin kuliah sore.Mengetahui Mufidah bekerja dan sambuil kuliah ada dua hal yang segera dilakukan Jusuf Kalla. Yakni, menabung di BNI 1946 dan melamar menjadi asisten dosen di UMI Makassar. Tujuannya tak lain ingin selalu bertemu pujaan kekasih hati. Seringkali bahkan terjadi setiap hari, dari bangkunya bekerja sebagai teller bank, “Dari jauh saya sudah lihat Bapak datang. Ia langsung ke tempat saya dan menabung. Tiap hari menabung,” kenang Ida, penuh tawa mengenang peristiwa puluhan tahun silam itu saat berbicara kepada Suara Pembaruan. Dan, pada peristiwa berbeda sebagai mahasiswi UMI Makassar yang diajar oleh Jusuf Kalla, pada suatu ketika Ida lupa membawa pulpen dan sang asisten dosen langsung saja menawarinya sebuah pulpen berwarna keemasan. Ida menerima dengan perasaan senang namun malu-malu.Diuji berkali-kaliBaik teman-teman Jusuf Kalla maupun teman-teman Mufidah sama-sama sudah mengetahui bahwa ada sesuatu antara kedua sejoli itu. Namun terhadap Jusuf Kalla Ida selalu bersikap biasa-biasa. Ida lalu dijuluki “jinak-jinak merpati”. Isi hati Ida pernah diuji berkali-kali oleh teman-teman Jusuf Kalla. Misalnya, pada suatu ketika Ida diminta untuk memilih kartu bertuliskan “ARA”, kartu nama kelompok belajar Jusuf Kalla. Tak mengerti apa maksudnya yang sesungguhnya, Ida mau saja mengambil kartu itu. Ida lalu diberitahu bahwa kartu yang berhasil diambilnya yang bertuliskan “ARA”, itu berarti tanda jadi hubungan mereka berdua. Jusuf Kalla dan empat orang sahabatnya bersorak kegirangan lalu merayakannya berkeliling kota dengan dokar. Walau sudah diuji demikian dan terbukti berhasil mengetahu isi hati Mufidah, sikap Ida masih saja sama tak berubah sedikitpun. Demikian pula dalam keseharian tak pernah diisi dengan berpacaran, misalnya. Hingga tiba pada ujian selanjutnya, Jusuf Kalla memberanikan diri sering memperlihatkan diri berboncengan dengan seorang teman wanita sekampus Unhas yang memang ada menaruh hati pada Kalla. Ida kemudian mengetahui kejadian itu dari tetangga. Tak pernah terjadi sebelumnya Mufidah segera saja menelepon Jusuf Kalla untuk meminta datang ke rumah. “Saya bilang ke Bapak, saya berterima kasih ke Bapak. Selama ini, saya berat mengatakannya, maklum saya ini orang Minang, dan ayah-ibu saya berat melepas saya untuk orang Bugis. Jadikan sajalah yang dibonceng di kampus itu,” kenang Ida, mengawali hendak berkata pisah pada Jusuf Kalla.Mufidah lalu menyebutkan merasa bersyukur Jusuf Kalla bisa menemukan pengantinnya, meminta agar hubungan mereka tetap terjaga seperti saudara, pintu rumah Ida selalu terbuka untuk Jusuf Kalla, dan jangan sampai Jusuf Kalla melupakan Ida. Akhirnya tibalah waktunya Ida mengulurkan tangan bersalaman untuk yang terakhir kali.
Tentu saja Jusuf Kalla menolak bersalaman dan menggagas bahwa Ida telah salah paham. “Saya tidak suka sama orang itu, dan saya betul-betul sudah salah. Saya cuma ingin memanas-manasi Ida,” kata Ida, menirukan ucapan Kalla. Ketika itu Ida merasakan cemburu yang sesungguhnya namun tak sedikitpun mau memperlihatkannya. Ia tetap saja tenang seperti biasa. Jusuf Kalla berlalu dengan lunglai disaksikan oleh seluruh saudara Ida. Mereka pun menaruh rasa iba terhadap pria yang sesungguhnya sudah mereka kenal baik dan akrab. Teman-teman Jusuf Kalla ikut menyaksikan kesedihan di wajah sohib dekatnya itu. Mereka lalu menghabiskan malam dengan duduk-duduk di tepi Pantai Losari tanpa perlu bicara sebab semua telah kehilangan selera humor. Kesedihan Jusuf Kalla semakin lengkap saat pulang ke rumah di subuh hari ditemuinya seorang adiknya sedang memutarkan gramofon yang mendendangkan lagu “Patah Hati” dari Rachmat Kartolo. DijodohkanJusuf Kalla sesungguhnya tidaklah sungguh-sungguh patah hati. Ia menemui Paman Mufidah bertanya kemungkinan melamar Ida. Paman itu malah menyarankan agar Kalla langsung melamar ke orangtua Ida. Namun justru pada saat itulah Jusuf Kalla merasakan pukulan berat kedatangan “mimpi buruk” yang sangat menakutkan. Jusuf Kalla mengetahui kalau Ida ternyata sudah dijodohkan dengan seorang pria lain asal Minang, yang sedang menempuh pendidikan di Amerika. Kalla panik dan segera ingin mendengar kesungguhan kabar langsung dari mulut Ida.Jusuf Kalla menemui Mufidah yang sudah dipromosikan menjadi Wakil Pimpinan BNI 1946 Cabang Sarinah, Makassar. “Saya memang dijodohkan dan orangnya gagah sekali. Ia sekarang bersekolah di Amerika,” kata Ida terus terang tetap dengan nada tenang dan biasa-biasa saja. “Jadi, kamu terima tidak? Ia gagah dan saya tidak?”“Saya tidak terima perjodohan itu.” “Lalu, bagaimana saya ini? Kamu terima saya ya?,” Jusuf Kalla mendesak. “Kita lihat sajalah nanti,” jawab Ida pelan. Beberapa hari kemudian Jusuf Kalla memberanikan diri segera melamar Mufidah. Lamaran Kalla tak begitu saja ditolak apalagi diterima oleh Buya Mi’ad dan Sitti Baheram, orangtua Ida, sebab mereka telah menyiapkan jodoh untuk putri tunggalnya. Mengingat Buya Mi’ad dan Sitti Baheram sudah lama merantau dan memilki pikiran yang terbuka dan modern mereka sepakat menyerahkan persoalan sepenuhnya kepada Ida. Namun sebagaimana tipikal wanita Minang kebanyakan yang sangat menghormati orangtua, Ida yang putri tunggal dari sebelas bersaudara balik menyerahkan pengambilan keputusan kepada Emak dan Ayahnya. Dengan hanya sedikit beretorika, kalau seandainya lamaran Kalla diterima ya alhamdulillah, dan seandainya tidak juga tidak apa-apa. “Saya bilang, terserah Emak dan Ayah. Kalau seandainya diterima, alhamdulillah. Kalau seandainya tidak, ya tidak apa-apa juga. Orangtua saya berpikir, ‘oh, Ida mau’. Dan lamaran itu pun diterima,” kata Mufidah. Sekretaris Pribadi Retorika itulah yang berhasil ditangkap kedua orangtua Ida, ‘oh, Ida mau’, sehingga lamaran Kalla diterima. Keduanya bertunangan tahun 1966 lalu menikah setahun kemudian menunggu hingga tuntas masa kuliah. Dua minggu menjalani masa bulan madu Mufidah yang semestinya harus sudah bekerja sebagai Wakil Pimpinan Bank BNI 1946, urung pergi ke kantor sebab Kalla yang seharusnya mengantar tak mau beranjak pergi. Kalla ingin Ida berada di rumah pada setiap kali Kalla pulang kerja. Ida pun berhenti bekerja. Jusuf Kalla yang kala itu sudah terkemuka seorang seorang politisi muda Golkar, mantan aktivis KAMMI, anggota DPRD Sulawesi Selatan, pendiri Sekber Golkar Sulawesi Selatan.Walau karir politik Jusuf Kalla sedang menanjak namun untuk urusan bisnis keluarga suaminya itu justru diultimatum oleh ayah mertuanya untuk memutuskan pilihan, apakah mau meneruskan usaha NV Hadji Kalla Trading Company, atau tidak. Saat itu Mufidah sedang mengandung anak kedua. NV Hadji Kalla sejak tahun 1965 mulai mengalami kesulitan setelah Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan sanering, berupa pemangkasan nilai mata uang rupiah seribu kali lebih rendah, misal dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Jusuf Kalla memilih meneruskan usaha keluarga NV Hadji Kalla. Di tangan Jusuf Kalla usaha NV Hadji Kalla berkembang dari sebelumnya bergerak di bidang hasil bumi menanjak ke usaha distributor mobil. Mufidah tergolong berperan besar di awal-awal kebangkitan NV Hadji Kalla ini. Ida yang ketika kuliah menekuni bidang akuntan, menjadikan ilmunya itu sebagai modal di bidang keuangan. Ida berperan sebagai sekretaris pribadi Jusuf Kalla merangkap mengelola keuangan perusahaan. Tahun 1969 perusahaan keluarga NV Hadji Kalla terbangkitkan di bidang transportasi dengan modal awal sepuluh unit kendaraan. “Saat itu, saya masih bekerja sebagai juru keuangan perusahaan,” ujar Ida. Penopang suamiKini NV Hadji Kalla sudah lebih dikenal sebagai sebuah konglomerasi usaha dari Kawasan Timur Indonesia bernama Kalla Group, merambah beragam bidang usaha seperti jasa transportasi, telekomunikasi, otomotif, properti, kontraktor bangunan, perkapalan, jembatan, tambak udang, perikanan, kelapa sawit, dan lain-lain. Ketika Jusuf Kalla diangkat menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan di era Gus Dur satu per satu pengelolaan unit usaha diwariskan kepada anak-anak. Mufidah fokuskan diri menopang karir politik sang suami dengan menjadi Ibu Rumah Tangga saja. Jusuf Kalla yang mundur dari Kabinet Megawati memilih berpasangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Wakil Presiden. Pasangan inipun terpilih menjadi orang nomor satu dan nomor dua di bumi Republik Indonesia.Sukses pasangan SBY-JK adalah juga sukses topangan Kristiani Herrawati Yudhoyono dan Mufidah Jusuf Kalla. Seringkali Ida bersama Jusuf Kalla semasa sebagai calon wakil presiden berkunjung ke berbagai kota di tanah air. Jika perjalanan satu hari saja pergi dan pulang biasanya Ida tak perlu diikutkan dalam rombongan agar tidak merasa capek. Namun jika kunjungan lebih dari satu hari Ida pasti diikutkan. “Bapak bilang, nanti saya capek ikut dia. Sebab, kalau tidak menginap, pergi jam delapan pagi, pulang jam delapan malam. Padahal, secapek apa pun saya selalu siap mendampingi, kata Ida. Frekuensi kunjungan ke daerah mencapai puncaknya saat menjelang dan pada saat kampanye Pemilu Presiden 2004. Topangan Mufidah bukan cuma itu. Rumah mereka yang terletak di Jalan Brawijaya Raya Nomor Enam, Jakarta Selatan, kerapkali kedatangan tamu perseorangan atau rombongan terdiri kolega atau tim sukses Jusuf Kalla. Ida selalu menyiapkan segalanya untuk menjamu tamu-tamu itu. Ida sudah bertekad untuk mendampingi Jusuf Kalla sebagai cawapres di rumah ataupun di luar rumah. Mufidah merasa bangga setiap beban berat suaminya, apakah itu urusan bisnis dan politik, orang rumah tak perlu kena getahnya. Ida sudah paham tabiat Jusuf Kalla yang tak pernah mau membawa-bawa urusan kantor dan luar rumah ke rumah seberat apapun tanggungjawab suaminya di urusan itu. Segala urusan luar rumah harus selalu diselesaikan di luar rumah. Tak sekalipun boleh mampir ke rumah. Rumah diperuntukkan sepenuhnya untuk keluarga. Sikap hidup yang menjadi dasar dan legitimasi untuk menanamkan prinsip anti KKN terhadap seluruh anggota keluarga.“Bahkan, bicara soal pekerjaannya pun di rumah sangat jarang. Sebab, kalau ditanya, dia selalu bilang besok saja. Saya bingung,” kata Ida, yang di rumah tinggal bersama anak keduanya Muswira. Anak pertama mereka, Muchlisa alias Lisa berdomisili di Balikpapan, Kalimantan Timur yang melanjutkan manajerial lembaga pendidikan Athirah yang dulu dikelola Mufidah. Sementara, anak ketiga dan keempat Imelda dan Solichin berdomisili di Makassar. Si bungsu Chaerani pewaris bakat menari Mufidah, usai menyelesaikan studi di Amerika Serikat kembali berada di Tanah Air.Sikap hidup sederhana, bersahaja, berusaha untuk selalu tenang, bersuara lembut, tak menampakkan diri sebagai sosok keluarga pengusaha yang kaya raya, agaknya sudah menjadi ciri khas Mufidah yang tak dibuat-buat. Mengerti benar suaminya akan menjadi orang kedua di Bumi Nusantara, Ida justru berharap agar suaminya bisa memenuhi semua janji-janji politik yang pernah dilontarkan suami dan pasangannya Susilo Bambang Yudhoyono. Ida tentu ingat apa saja yang pernah dijanjikan orang kesatu dan kedua Indonesia itu. Selain berharap janji itu jangan sampai melesat, Ida bahkan berdoa cita-cita suaminya menyejahterakan rakyat, mewujudkan keadilan dan keamanan bagi negeri, bisa terpenuhi.Jika pun tak terpenuhi Mufidah telah memutuskan akan menjadi orang pertama yang mengingatkan dan menagih kepada Kalla. Ida memang percaya penuh atas kegigihan dan keikhlasan suaminya dalam bekerja. “Saya yakin, bapak tidak mencari kedudukan. Kalau hanya kedudukan, buat apa? Sejak awal, niat bapak memang untuk ibadah,” kata Ida pasti.Mufidah juga mengerti area bermain suaminya adalah area politik yang penuh resiko. Sebagai misal, walau sudah menjadi kader Golkar selama 39 tahun, terlama dibanding kader-kader Golkar lainnya namun harus menjalani proses penonaktifan sebagai anggota Dewan Penasehat DPP Partai Golkar, Ida merasakan sangat penting kehadirannya selalu di sisi Jusuf Kalla. Kalau ada fitnah dari pihak lain terhadap Kalla, misalnya, Ida bisa segera menenangkan sekaligus mengingatkan untuk bersabar.Ida menopang suami juga dengan iman. Seperti, mendoakan perjalanan karir politik Jusuf Kalla dengan ikut majelis pengajian, wirid, serta zikir secara berjamaah di kediaman mereka. Ida selalu berzikir didampingi empat dari lima anaknya Muchlisah, Muswirah, Solichin, dan Chaerani. Demikian pula dua cucu dari anak pertamanya, Ahmad Fikri dan Masyitah selalu ikut dalam kebersamaan keluarga Jusuf Kalla di hari-hari terakhir menjelang hari pencoblosan 20 September 2004. Jusuf Kalla dikenal sangat akrab dan berbahagia sekali jika sedang bersama cucu-cucu.Malam menjelang hari pencoblosan 20 September 2004 Mufidah mengaku tak pernah tertidur. Bersama seorang ustad ia berzikir di sebuah majelis zikir. Di hari pencoblosan Ida yang berlatar Muhammadiyah memutuskan berpuasa padahal tak ikut makan sahur. Niat berpuasa terjadi malam harinya. Jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan suaminya pemenang Pemilu Presiden, Ida penolong suami yang sepadan ini berniat membayar nazar yang pernah diucapkan sebelumnya yakni berpuasa tiga hari. ►ti-haposan*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Nama:Mufidah Jusuf Kalla
Lahir:Sibolga, 12 Februari 1943
Agama:Islam
Pekerjaan:Ibu Rumah Tangga
Suami:Muhammad Jusuf Kalla
Anak:
1. Muchlisah Jusuf
2. Muswirah Jusuf
3. Imelda Jusuf
4. Solichin Jusuf
5. Chaerani Jusuf
Cucu:Tujuh orang
Orangtua:
Ayah H Buya Mi’ad dan Ibu Sitti Baheram
Saudara Kandung:Sebelas orang
Pendidikan:
SMA Negeri III Makassarn Fakultasn Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar
Pengalaman Kerja: Teller Bank BNI 1946 Cabang Sarinah,n Makassar Wakil Pimpinan Bank BNI 1946 Cabang Sarinah, Makassarn
Kepalan Bagian Keuangan NV Hadji Kalla Trading Company
Hobi:Menari
Alamat Rumah:Jalan Brawijaya Raya No. 6 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

Sumber:
- Berbagai sumber, antara lain Suara Pembaruan dan Indo Pos
-http://muhsakirmsg.blogspot.com/2011/

Sabtu, 02 Juli 2011

Syech Yusuf Tajul Khalwati Al - Makassari



Syech Yusuf Tajul Khalwati (lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 3 Juli 1626 – meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia yang lahir dari pasangan Abdullah dengan Aminah dengan nama Muhammad Yusuf. Nama ini diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibu Syekh Yusuf. Nama lengkapnya setelah dewasa adalah Tuanta' Salama' ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni.
Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang dari Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru pada Sayyid Ba-lawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Sayyid Jalaludin Al-Aidid.
Kembali dari Cikoang Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten dan Aceh. Di Banten ia bersahabat dengan Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendalami tarekat Qodiriyah.
Syekh Yusuf juga sempat mencari ilmu ke Yaman, berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi, dan ke Damaskus untuk berguru pada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi.

Riwayat perjuangan

Ketika Kesultanan Gowa mengalami kalah perang terhadap Belanda, Syekh Yusuf pindah ke Banten dan diangkat menjadi mufti di sana. Pada periode ini Kesultanan Banten menjadi pusat pendidikan agama Islam, dan Syekh Yusuf memiliki murid dari berbagai daerah, termasuk 400 orang asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai.
Ketika pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682, Syekh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Srilangka pada bulan September 1684.

Syekh Yusuf di Sri Lanka

Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan. Salah satu ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi'an, termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf.
Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, sehingga akhirnya oleh Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.

Syekh Yusuf di Afrika Selatan

Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik'.



Saya tahu dari sejarawan Belanda, Van Leur, betapa agama Islam dibawa ke Indonesia pada mulanya oleh pedagang-pedagang Islam yang sekaligus adalah sufi.
Kembali dari Cikoang Syekh Yusuf menikah dengan seorang putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun dia naik haji ke Mekkah sekalian memperdalam studi tentang Islam.
Di Makassar dia naik sebuah kapal dan berlayar menuju Banten yang merupakan pusat Islam penting di Nusantara. Di sana dia bersahabat dengan putra mahkota yang kelak memerintah sebagai Sultan Ageng Tirtayasa (1651-83), penguasa agung terakhir dari Kesultanan Banten, juga kerajaan terakhir dari Nusantara yang dengan kapal-kapalnya melaksanakan perdagangan jarak jauh.
Mengikuti rute perdagangan antar-Nusantara zaman itu Syekh Yusuf melanjutkan perjalanan ke Aceh, lalu ke Gujarat, India, tempat dia bertemu dengan Sufi Nuruddin Ar-Raniri, penasihat sultan perempuan Safyatuddin dari Aceh, kemudian ke Yaman, akhirnya ke Mekkah dan Madinah, bahkan sampai ke Damascus (Suriah) dan Istanbul (Turki) yang disebut dalam tambo-tambo Melayu sebagai “Negeri Rum”. Bila dipikir sangat lamanya waktu perjalanan dengan kapal layar atau dengan kafilah unta zaman itu, maka sungguh mengagumkan kekuatan fisik dan mental Syekh Yusuf untuk berkelana sambil belajar tasawuf bertahun-tahun dalam tradisi seorang sufi. Sungguh menyenangkan di Mekkah dia memperoleh ijazah dari tarekat (mystical order) Khalwatiyyah, diakui sebagai ilmuwan Islam yang berwibawa, dipandang sebagai guru agama oleh orang-orang Melayu-Indonesia yang datang naik haji ke tanah Haramyn. Dia menikah dengan putri Imam Shafi’i di Mekkah yang meninggal dunia waktu melahirkan bayi. Sebelum pulang ke Indonesia, dia kawin lagi dengan seorang perempuan asal Sulawesi di Jeddah.
SYEKH Yusuf tidak kembali ke Gowa di mana agama sudah dilecehkan, orang berjudi, mengadu ayam, meminum arak, menghidupkan lagi animisme tanpa ditindak secara tuntas oleh Sultan. Alih-alih dia menetap di Banten dan menjadi penasihat agama utama Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan ini sangat anti-VOC Belanda. Ia berselisih dengan putranya yang dikenal sebagai Sultan Haji. Timbul perang saudara, Sultan Haji minta bantuan VOC yang mengirim tentara Kompeni untuk menangkap Sultan Ageng dan menyekapnya di Batavia di mana dia meninggal tahun 1692.
Syekh Yusuf dengan 4.000 tentara Gowa  memihak Sultan Ageng, turut bergerilya dengannya, juga ditangkap oleh Belanda. Pada bulan September 1682, Syeikh Yusuf bersama dua istrinya, beberapa anak, 12 murid, dan sejumlah perempuan pembantu dibuang ke Ceylon, kini Sri Lanka. Di Sri Lanka dia menulis karya-karya keagamaan dalam bahasa Arab, Melayu, dan Makassar. Dia aktif menyusun sebuah jaringan Islam yang luas di kalangan para haji yang singgah di Sri Lanka, di kalangan para penguasa, dan raja-raja di Nusantara. Haji-haji itu membawa karya-karya Syekh Yusuf ke Indonesia, dan karena itu bisa dibaca di negeri kita sampai sekarang.
Mengingat aktivitas Syekh Yusuf tadi, VOC Belanda khawatir dampaknya dalam bidang agama dan politik di Nusantara. Keadaan bisa bergolak terus. VOC lalu mengambil keputusan memindahkan Syeikh Yusuf ke Kaapstad di Afrika Selatan. Dalam usia 68 tahun, Syeikh Yusuf beserta rombongan pengikutnya terdiri dari 49 orang tiba di Tanjung Harapan tanggal 2 April 1694 dengan menumpang kapal Voetboog. Di tengah perjalanan badai besar menghantam sehingga membuat nakhoda Belanda, Van Beuren, ketakutan kapalnya akan tenggelam, tapi berkat wibawa dan karisma Syekh Yusuf dia bisa tenang dan selamat sampai di Kaapstad. Akibat pengalaman tersebut, sang kapten memeluk agama Islam dan sampai sekarang keturunannya yang semua Muslim masih ada di Afrika Selatan.
Syeikh Yusuf ditempatkan di Zandvliet, desa pertanian di muara Eerste Rivier, dengan tujuan supaya tidak bisa berhubungan dengan orang-orang Indonesia yang telah datang lebih dahulu. Lokasi itu di Cape Town sekarang dikenal sebagai Macassar. Bersama ke-12 pengikutnya, yang dinamakan imam-imam, Syekh Yusuf memusatkan kegiatan pada menyebarkan agama Islam di kalangan budak belian dan orang buangan politik, juga di kalangan orang-orang Afrika hitam yang telah dibebaskan dan disebut Vryezwarten.
MENYAMPAIKAN syiar Islam, memelihara dan mempertahankan agama Islam di kalangan golongan Muslim merupakan perhatian dan aktivitas Syekh Yusuf di Afrika Selatan. Sebagai sufi, dia mengajarkan tarekat Qadiniyyah, Shattariyyah, dan Rifaiyyah di kalangan Muslim Afrika Selatan. Dia meninggal dunia tanggal 22 Mei 1699 dan dimakamkan di Faure, Cape Town. Makamnya terkenal sebagai Karamah yang berarti ‘keajaiban, mukjizat’. Sultan Gowa meminta kepada VOC supaya jenazah Syeikh Yusuf dibawa ke Tanah Airnya. Dia tiba di Gowa 5 April 1705 dan dimakamkan kembali di Lakiung. Seperti makamnya di Faure, makamnya di Makkasar juga banyak diziarahi orang. Fakta bahwa Syekh Yusuf memiliki dua makam menimbulkan spekulasi. Sejarawan De Haan percaya Belanda mengirimkan kerangka Syeikh Yusuf ke Makassar dan karena itu makamnya di Faure telah kosong. Di pihak lain, tulis Prof Azyumardi Azra dalam makalahnya, orang-orang Muslim di Cape percaya hanyalah sisa sebuah jari tunggal dari Syeikh Yusuf yang dibawa kembali. Spekulasi ini mungkin ada benarnya mengingat sebuah legenda di Gowa mengenai jenazah Syeikh Yusuf yang dimakamkan kembali. Menurut legenda, pada mulanya hanya sejemput abu yang mungkin sisa-sisa jarinya yang dibawa dari Afrika Selatan. Tapi abu itu bertambah terus sampai mengambil bentuk seluruh badan penuh Syeikh Yusuf tatkala tiba di Gowa.
Syekh Yusuf adalah seorang sufi. Pada awal tahun 1960-an ketika membaca soal mistik di Jawa dalam disertasi Dr Schmidt yang diajukan di Universitas Geneva saya mendapat keterangan tasawuf mana yang tidak diterima oleh Islam. Yaitu yang mengandung panteisme, yang menganggap diri sendiri adalah Tuhan, ana’l Haq, itu ditolak. Azyumardi Azra menulis Syekh Yusuf menolak konsep wahdah al-wujud. Dalam analisis terakhir: man is man and God is God. Karena HAMKA menulis buku Tasawuf Indonesia saya bertanya kepadanya apakah dia sufi, dan pada awal tahun 1960-an Buya menjawab dalam bahasa Minang: Ha indak, ambo ma ngaji-ngaji sajo. HAMKA menyangkal dirinya seorang sufi.
Memang susah menjelaskan tentang sufi apabila orang tidak menjalankannya dengan bergabung dalam sebuah tarikat yang dipimpin oleh syekh. Sebagai orang awam, tentu terlebih-lebih saya tidak punya bakat dan persediaan untuk memahami sufi dan ajarannya. Kalangan yang mengetahui berkata sufi-ism adalah sama dengan akhlak yang baik.
Siapa yang berusaha hidup dengan akhlak baik, tidak mengundurkan diri dari masyarakat ramai, tetap aktif dalam urusan dunia, mengindahkan sepenuhnya suruhan dan larangan Tuhan, dia itu sesungguhnya mirip sufi. Bagaimanapun juga, Syekh Yusuf al-Makassari, Pahlawan Nasional, adalah seorang sufi.
Di zaman pemerintahan Sultan Malikussaid Raja Gowa dengan gelar Tummenanga ri Papambatuna, tersebutlah dua orang tokoh sejarah yang terkenal yaitu Syakh Yusuf Tuanta Salamaka dan Karaeng Pattingalloang. Syakh Yusuf adalah tokoh berkaliber internasional, dengan predikat ulama dalam kualitas sufi, ilmuwan penulis puluhan buku, pejuang yang gigih di mana saja ia berada: di Gowa, di Banten, di Ceylon (Srilangka sekarang) dan di Tanjung Pengharapan, negaranya orang Boer (petani emigran Belanda, sekarang Negara Afrika Selatan). Karaeng Pattingalloang adalah Perdana Menteri kerajaan kembar Gowa-Tallo’, negarawan, politikus, ilmuwan, yang publikasi karya ilmiyahnya belumlah ditemukan hingga dewasa ini.
Syahdan, inilah dialog di antara keduanya dalam Hikayat Tuanta Salamaka menurut versi Gowa, sebagaimana dituturkan oleh Allahu Yarham Haji Ahmad Makkarausu’ Amansyah Daeng Ngilau’. Materi dialog itu ada lima perkara: anynyombaya saukang, appakala’biri’ sukkuka gaukang, a’madaka ri bate salapanga, angnginunga ballo’ ri ta’bala’ tubarania, dan pa’botoranga ri pasap-pasaraka.
Maka berkatalah Tuanta Salamaka: “Telah kulihat alamat keruntuhan Butta (negeri) Gowa. Oleh sebab itu, pertama, hentikan dan cegahlah rakyat menyembah berhala (saukang), yang kedua, hentikan menghormati atribut kerajaan (gaukang) secara berlebih-lebihan, yang ketiga, hentikan Bate Salapang bermadat, yang keempat, hentikan pasukan kerajaan minum tuak, dan yang kelima, hentikan perjudian di pasar-pasar.” (bahasa aslinya seperti dituturkan Daeng Ngilau di atas itu).
Maka menjawablah Karaeng Pattingalloang:
“Pertama, susatongi nipamari anynyombaya saukang, susahlah menghentikan rakyat menyembah saukang, sebab melalui saukang itulah wibawa raja ditegakkan, yang kedua, sukarlah juga menghentikan penghormatan gaukang, karena di situlah letaknya kemuliaan sang raja, anjoreng minjo kala’biranna sombaya, yang ketiga, tidaklah gampang Bate Salapang menghentikan bermadat, karena jika demikian takkuleami nagappa nanawa-nawa kabajikanna pa’rasanganga, tidak akan timbul gagasan-gagasan baru mengenai konsep pembangunan, yang keempat, kalau pasukan kerajaan dihentikan minum tuak, lalu kedatangan musuh, inaimo lanisuro a’jjallo’, siapalah yang akan dikerahkan membabat musuh, yang kelima, juga tidak mungkin menutup perjudian di pasar-pasar, karena tenamo nantama baratuwa, tidak ada lagi pajak judi yang masuk dalam perbendaharaan kerajaan, antekammamo lanibajiki pa’rasanganga, lalu bagaimana mungkin menggalakkan pembangunan?”
Setelah dialog selesai, Tuanta Salamaka mengeluarkan pernyataan: “Punna tenamo takammana lakupilari butta Gowa, kalau keputusan kerajaan sudah demikian itu, akan kutinggalkan Butta Gowa. Tamangeai nyawaku anciniki sallang sare-sarenna Butta Gowa. Tak sampai hati saya menyaksikan kelak keruntuhan Butta Gowa.”
Perang Gowa-Bone ini memang unik dalam sejarah. Pada zaman pemerintahan I Mallikaang Daeng Manyonri Karaeng Katangka Karaenga Matowaya Sultan Alauddin Awwalu lIslam Tummenanga ri Agamana terjadi perang Gowa-Bone pertama, yang penyebabnya sebaliknya dari perang yang kedua. Yaitu Kerajaan Gowa walaupun tidak memaksakan agama Islam pada Kerajaan Bone yang waktu itu belum Islam, Kerajaan Gowa menghendaki agar Bone menghentikan praktek tradisi yang bertentangan dengan Syari’at Islam.
Demikianlah Kerajaan Gowa kehilangan mutiaranya. Tuanta Salamaka akhirnya meninggalkan Kerajaan Gowa, merantau ke Banten. Menuntut ilmu ke Tanah Suci. Bersama-sama dengan mertuanya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan iparnya, Pangeran Purbaya, berperang melawan Belanda di Banten, di Parahyangan, sampai ke Cirebon. Melanjutkan perjuangan sambil menulis buku di pengasingan di Ceylon dan di Tanjung Pengharapan.
Apa yang diucapkan Tuanta Salamaka sebagai futurelog terbukti dalam sejarah. Arung Palakka, yang walaupun masa remajanya dibina dan dididik oleh Karaeng Pattingalloang, bangkit melawan kerajaan Gowa Dan selanjutnya dapat kita baca dalam sejarah bahwa apa yang diramalkan oleh Syaikh Yusuf tentang nasib kerajaan Gowa terbukti dalam satu generasi berikutnya pada zaman pemerintahan I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangngape Sultan Hasanuddin Tummenanga ri Balla’ Pangkana, ditandai dengan ditandatanganinya Perjanjian Bungaya. Sepeninggal Sultan Hasanuddin pamor Kerajaan Gowa menjadi pudar.
Menurut berita insya Allah Syakh Yusuf akan diperingati sepanjang tahun 1994 di Negara Afrika Selatan, yang mendapat dukungan kuat dari Nelson Mandela. Kolom ini ditulis untuk ikut sekelumit menyambut tahun kegiatan memperingati Syakh Yusuf di rantau jauh itu. Adegan dialog itu menunjukkan perbedaan sikap berpikir antara orang berdzikir kemudian baru berpikir, berhadapan dengan orang yang berpikir saja tanpa berdzikir. Syakh Yusuf, karena berdzikir, ingat kepada Allah dahulu sebelum berpikir, maka pemikirannya dituntun oleh wahyu. Sedangkan Karaeng Pattingalloang hanya berpikir saja, hanya mengandalkan akalnya belaka. Itulah barangkali latar belakangnya mengapa penulis sejarah di kalangan orang barat sangat memujinya.
Firman Allah:
– Alladziena yazkuruna Llaha qiyaman wa qu’udan wa ‘ala junubihim wa yatafakkaruna fie khalqi ssamawati walardhi, rabbana ma khalaqta hadza bathilan subhanaka faqina ‘adzaba nnar (S. Ali ‘Imran 3:190). artinya:
– Yaitu mereka yang dzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, atau duduk, atau berbaring, dan berpikir tentang kejadian (benda-benda) langit dan bumi, kemudian berucap: Ya Maha Pengatur kami, tidaklah Engkau ciptakan semuanya ini dengan percuma, maka peliharalah kami dari azab neraka.
Syekh Yusuf berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa, dan Bone. Syekh Yusuf sendiri dapat mengajarkan beberapa tarekat sesuai dengan ijazahnya. Seperti tarekat Naqsyabandiyah, Syattariyah, Ba`alawiyah, dan Qadiriyah. Namun dalam pengajarannya, Syekh Yusuf tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujudiyah dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri dalam abad ke-17 itu.
Nama lengkapnya Tuanta Salamka ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Yaj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Tapi, ia lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf. Sejak tahun 1995 namanya tercantum dalam deretan pahlawan nasional, berdasar ketetapan pemerintah RI.
Kendati putra Nusantara, namanya justru berkibar di Afrika Selatan. Ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di negara di benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan, bahkan menjadi semacam acara kenegaraan. Bahkan, Nelson Mandela yang saat itu masih menjabat presiden Afsel, menjulukinya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.
Syekh Yusuf lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, tanggal 03 Juli 1626 dengan nama Muhammad Yusuf. Nama itu merupakan pemberian Sultan Alauddin, raja Gowa, yang merupakan karib keluarga Gallarang Monconglo’E, keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf berasal. Pemberian nama itu sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil menjadi anak angkat raja.
Syekh Yusuf sejak kecil diajar serta dididik secara Islam. Ia diajar mengaji Alquran oleh guru bernama Daeng ri Tasammang sampai tamat. Di usianya ke-15, Syekh Yusuf mencari ilmu di tempat lain, mengunjungi ulama terkenal di Cikoang yang bernama Syekh Jalaluddin al-Aidit, yang mendirikan pengajian pada tahun 1640.
Syekh Yusuf meninggalkan negerinya, Gowa, menuju pusat Islam di Mekah pada tanggal 22 September 1644 dalam usia 18 tahun. Ia sempat singgah di Banten dan sempat belajar pada seorang guru di Banten. Di sana ia bersahabat dengan putra mahkota Kerajaan Banten, Pengeran Surya. Saat ia mengenal ulama masyhur di Aceh, Syekh Nuruddin ar Raniri, melalui karangan-karangannya, pergilah ia ke Aceh dan menemuinya.
Setelah menerima ijazah tarekat Qadiriyah dari Syekh Nuruddin, Syekh Yusuf berusaha ke Timur Tengah. Beliau ke Arab Saudi melalui Srilanka.
Di Arab Saudi, mula-mula Syekh Yusuf mengunjungi negeri Yaman, berguru pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi. Ia dianugerahi ijazah tarekat Naqsyabandi dari gurunya ini.
Perjalanan Syekh Yusuf dilanjutkan ke Zubaid, masih di negeri Yaman, menemui Syekh Maulana Sayed Ali Al-Zahli.. Dari gurunya ini Syekh Yusuf mendapatkan ijazah tarekat Assa’adah Al-Baalawiyah. Setelah tiba musim haji, beliau ke Mekah menunaikan ibadah haji.
Dilanjutkan ke Madinah, berguru pada syekh terkenal masa itu yaitu Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin Al-Kurdi Al-Kaurani. Dari Syekh ini diterimanya ijazah tarekat Syattariyah. Belum juga puas dengan ilmu yang didapat, Syekh Yusuf pergi ke negeri Syam (Damaskus) menemui Syekh Abu Al Barakat Ayyub Al-Khalwati Al-Qurasyi. Gurunya ini memberikan ijazah tarekat Khalwatiyah & Gelar tertinggi, Al-Taj Al-Khalawati Hadiatullah setelah dilihat kemajuan amal syariat dan amal Hakikat yang dialami oleh Syekh Yusuf.
Melihat jenis-jenis alirannya, diperoleh kesan bahwa Syekh Yusuf memiliki pengetahuan yang tinggi, meluas, dan mendalam. Mungkin bobot ilmu seperti itu, disebut dalam lontara versi Gowa berupa ungkapan (dalam bahasa Makassar): tamparang tenaya sandakanna (l.autt yang tak dapat di ukur kedalamannya), langik tenaya birinna (langit yang tak berpinggir), dan kappalak tenaya gulinna (kapal yang tak berkemudi).
Cara-cara hidup utama yang ditekankan oleh Syekh Yusuf dalam pengajarannya kepada murid-muridnya ialah kesucian batin dari segala perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Dorongan berbuat maksiat dipengaruhi oleh kecenderungan mengikuti keinginan hawa nafsu semata-mata, yaitu keinginan memperoleh kemewahan dan kenikmatan dunia. Hawa nafsu itulah yang menjadi sebab utama dari segala perilaku yang buruk. Tahap pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid (salik) adalah mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kemewahan duniawi.
Ajaran Syekh Yusuf mengenai proses awal penyucian batin menempuh cara-cara moderat. Kehidupan dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali. Melainkan hidup ini harus dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib hidup, disiplin diri dan penguasaan diri atas dasar orientasi ke-Tuhan-an yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia.
Hidup, dalam pandangan Syekh Yusuf, bukan hanya untuk menciptakan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Namun, kehidupan ini harus dikandungi cita-cita dan tujuan hidup menuju pencapaian anugerah Tuhan.
Dengan demikian Syekh Yusuf mengajarkan kepada muridnya untuk menemukan kebebasan dalam menempatkan Allah Yang Maha Esa sebagai pusat orientasi dan inti dari cita, karena hal ini akan memberi tujuan hidup itu sendiri.
Terlibat pergerakan Nasional

Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, ia pulang ke kampung halamannya, Gowa. Tapi ia sangat kecewa karena saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Di bawah Belanda, maksiat merajalela. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, ia kembali merantau. Tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa.
Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama. Bahkan ia kemudian dinikahkan dengan anak Sultan, Siti Syarifah. Syekh Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400 orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara.
Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sultan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji beserta Kompeni di pihak lain. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng dengan memimpin sebuah pasukan Makassar.Namun karena kekuatan yang tak sebanding, tahun 1682 Banten menyerah.
Maka mualilah babak baru kehidupan Syekh Yusuf; hidup dalam pembuangan. Ia mula-mula ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta), tapi karena pengaruhnya masih membahayakan pemerintah Kolonial, ia dan keluarga diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684.
Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini ia memulai perjuangan baru, menyebarkan agama Islam. Dalam waktu singkat murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, kebanyakan berasal dari India Selatan. Ia juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi’an, ulama besar yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.
Ia juga bisa leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan murid-muridnya di negeri ini. Kabar dari dan untuk keluarganya ini disampaikan melalui jamaah haji yang dalam perjalan pulang atau pergi ke Tanah Suci selalu singgah ke Srilanka. Ajaran-ajarannya juga disampaikan kepada murid-muridnya melalui jalur ini.
Hal itu merisaukan Belanda. Mereka menganggap Syekh Yusuf tetap merupakan ancaman, sebab dia bisa dengan mudah mempengaruhi pengikutnya untuk tetap memberontak kepada Belanda. Lalu dibuatlah skenario baru; lokasi pembuangannya diperjauh, ke Afrika Selatan.
Menekuni Jalan Dakwah

Bulan Juli 1693 adalah kali pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya menginjakkan kaki di Afrika selatan. Mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet dekat pantai (tempat ini kemudian disebut Madagaskar).
Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam di Afrika Selatan tengah berkembang. Salah satu pelopor penyebaran Islam di Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru (mister teacher).
Tuan Guru lahir di Tidore. Tahun 1780, ia dibuang ke Afrika Selatan karena aktivitasnya menentang penjajah Belanda. Selama 13 tahun ia mendekam sebagai tahanan di Pulau Robben, sebelum akhirnya dipindah ke Cape Town. Kendati hidup sebagai tahanan, aktivitas dakwah pimpinan perlawanan rakyat di Indonesia Timur ini tak pernah surut.
Jalan yang sama ditempuh Syekh Yusuf. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab dia tidak bisa lagibertemu dengan jamaah haji dari Nusantara. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67 tahun.
Ia tinggal di Tanjung Harapan sampai wafat tanggal 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun. Oleh pengikutnya, bangunan bekas tempat tinggalnya dijadikan bangunan peringatan. Sultan Banten dan Raja Gowa meminta kepada Belanda agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan, tapi tak diindahkan. Baru setelah tahun 1704, atas permintaan Sultan Abdul Jalil, Belanda pengabulkan permintaan itu. Tanggal 5 April 1705 kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di Lakiung keesokan harinya.
Syekh Yusuf di Sri Lanka
Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan. Salah satu ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi’an, termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf.
Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, sehingga akhirnya oleh Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.
Syekh Yusuf di Afrika Selatan
Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.
Sebagai seorang ulama syariat, sufi dan khalifah tarikat dan seorang musuh besar Kompeni Belanda, Syekh Yusuf dianggap sebagai `duri dalam daging` oleh pemerintah Kompeni di Hindia Timur. Ia diasingkan ke Srilanka, kemudian dipindahkan ke Afrika Selatan, dan wafat di pengasingan Cape Town (Afrika Selatan) pada tahun 1699. Pada zamannya (abad ke-17), ia dikenal pada empat tempat, yaitu Banten dan Sulawesi Selatan (Indonesia), Srilanka, dan Afrika Selatan yang berjuang mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan perbedaan kulit.
Murid-murid Syekh Yusuf yang menganut tarekat Khalwatiyah terdapat di Banten, Srilanka, Cape Town, dan beberapa negara di sekitarnya. Mayoritas orang-orang Makassar dan Bugis di Sulawesi Selatan masih mengamalkan ajarannya sampai sekarang ini.


Syeh Yusuf Diberi Gelar Pahlawan dari Afsel


Duta besar Afrika Selatan untuk Indonesia, Griffiths Mandlengkosi Memela mengatakan, pemerintahnya akan memberi anugerah gelar pahlawan nasional kepada Syeh Yusuf, ulama Kharismatik asal kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel) yang turut berjuang mengusir penjajah di negara tersebut.
"Kami datang untuk menjajaki kemungkinan yang bisa diundang sekaligus mewakili keturunan Syeh Yusuf pada pemberian penghargaan tertinggi negeri ini kepada seorang pejuang asal Sulawesi Selatan," katanya saat bersilaturahmi dengan Gubernur Sulsel, H M Amin Syam di Gubernuran Makassar, Senin.
Penghargaan tertinggi kepada pejuang yang juga menyebar syiar Islam tersebut akan diberikan pada Rabu, 28 September 2005 di Cape Town bertepatan dengan hari kenegaraan Afrika Selatan.
Pemerintah Afsel, kata Dubes Memela, sangat mendukung dan menyambut baik kerjasama dua provinsi Sulawesi Selatan (Indonesia) dengan provinsi Western Cape (Afsel) yang ditandatangani kedua wakil provinsi tersebut di Afsel beberapa bulan lalu.
"Saya sudah melihat butir-butir naskah kesepahaman-Mou itu, maupun drafnya sehingga diharapkan tidak hanya pada sektor pariwisata dan budaya melainkan pada sektor ekonomi dan investasi," ujarnya seraya menambahkan bahwa rombongan Gubernur Western Cape berjumlah 80 orang termasuk 15 orang pejabat pemerintah provinsi itu, dijadwalkan tiba di Makassar, Kamis 8 September 2005 untuk kunjungan selama empat hari di Sulsel.
Pihaknya juga berharap agar Sulsel yang punya hubungan sejarah dengan negaranya mampu menjadi pembuka hubungan yang lebih luas lagi antara Indonesia dan Afrika Selatan serta Afsel dengan provinsi lain di Indonesia.
Gubernur Sulsel Amin Syam menyatakan, Syeh Yusuf merupakan keturunan raja Gowa yang cukup gigih melawan penjajah serta penyebar syiar agama Islam yang cukup disegani dimana pun dia berada.
Kegigihan dan keberaniaannya itulah yang menjadikan Syeh Yusuf beberapa kali dibuang dan diasingkan penjajah ke luar negeri, termasuk ke Afsel dan beberapa negara di Asia.
Kita berharap dengan terbukanya `pintu` kerjasama kedua provinsi tersebut akan menjadikan hubungan Indonesia - Afrika Selatan lebih dekat lagi, katanya seraya menambahkan, mantan Presiden Afsel Nelson Mandela akan dianugerahi gelar doktor HC dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar pada Dies Natalis perguruan tinggi itu.
Seusai bertemu dengan Gubernur Amin Syam, Dubes Afsel untuk Indonesia, Memela berkunjung ke makam Sultan Hasanuddin dan makam Syeh Yusuf di Katangka kabupaten Gowa, serta bersilaturahmi Bupari Gowa Ichsan Yasin Limpo.

Sumber : 
- Muhammad Sakir Gau/Syech Yusuf Tajul Khalwati Al-Makassari/2009/ 
-http://muhsakir.blogspot.com/replay.2011//

Facebook Twitter Fans Page
Gratis Berlangganan artikel B-digg via mail, join sekarang!