Laman

Rabu, 06 Maret 2013

Pengeluaran Feses Secara Normal


Pengeluaran Feses Secara Normal
Banyak faktor yang mempengaruhi proses eliminasi fekal. Pengetahuan tentang faktor-faktor ini memungkinkan perawat melakukan tindakan antisipasi yang diperlukan untuk mempertahankan pola eliminasi normal. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi eliminas tersebut yakni :

1.                  Usia
Perubahan dalam tahap perkembangan yang mempengaruhi status eliminasi terjadi di sepanjang kehidupan. Seorang bayi memiliki lambung yang kecil dan lebih sedikit menyekresi enzim pencernaaan. Beberapa makanan, seperti zat pati yang kompleks, ditoleransi dengan buruk. Makanan melewati saluran pencernaan dengan kurangnya perkembangan neuromuscular. Perkembangan ini biasanya tidak terjadi sampai usia 2 sampai 3 tahun. Pertumbuhan usus besar terjadi sangat pesat selama masa remaja. Sekresi HCl meningkat, khususnya pada anak laki-laki. Anak remaja biasanya mengonsumsi makanan dalam jumlah lebih besar.
Sistem GI pada lansia sering mengalami perubahan sehingga merusak proses pencernaan dan eliminasi (Lueckenotte, 1994). Beberapa perubahan pada saluran GI, yang berlangsung seiring dengan proses penuaan. Beberapa lansia mungkin tidak lagi memiliki gigi sehingga mereka tidak mampu mengunyah makanan dengan baik. Makanan, yang memasuki saluran GI, hanya dikunyah sebagian dan tidak dapat dicerna karena jumlah enzim pencernaan di dalam saliva dan volume asam lambung menurun seiring dengan proses penuaan. Ketidakmampuan untuk mencerna makanan yang mengandung lemak mencerminkan terjadinya kehilangan enzim lipase.
Lansia yang dirawat di rumah sakit terutama berisiko mengalami perubahan fungsi usus. Dalam suatu penelitian ditemukan bahwa terdapat 91% insiden diare atau konstipasi dalam populasi lansia yang berjumlah 33 orang, yang di rawat di rumah sakit, dengan usia rata-rata 76 tahun (Ross, 1990).
Selain itu, gerakan [eristaltik menurun seiring dengan peningkatan usia dan melambatnya pengosongan esophagus yang melambat dapat menimbulkan rasa tidak nyaman di bagian epigaster abdomen. Materi pengabsorpsian pada mukosa usus beubah, menyebabkan protein, vitamin, dan mineral berkurang. Lansia juga kehilangan tonus otot pada otot dasar perineum dan sfingter anus. Walaupun integritas sfingter eksterna tetap utuh, lansia mungkin mengalami kesulitan dalam mengontrol pengeluaran feses. Beberapa lansia kurang menyadari kebutuhannya untuk berdefekasi akibat melambatnya impuls saraf sehingga mereka cenderung mengalami konstipasi.

2.                  Diet
Asupan makanan setiap hari secara teratur membantu mempertahankan pola peristaltic yang teratur di dalam kolon. Makanan yang dikonsumsi individu mempengaruhi eliminasi. Serat, residu makanan yang tidak dapat dicerna, memungkinkan terbentuknya masa dalam materi feses. Makanan pembentuk masa mengabsorbsi cairan sehingga meningkatkan feses. Dinding usus teregang, menciptakan gerakan peristaltic dan menimbulkan reflex defekasi. Usus bayi yang belum matang biasanya tidak dapat mentoleransi makanan berserat sampai usianya mencapai beberapa bulan. Dengan menstimulasi peristaltic, masa makanan berjalan dengan cepat melalui usus, mempertahankan feses tetap lunak.
Makan-makanan berikut mengandung serat dalam jumlah tinggi (masa) :
1.      Buah-buahan mentah (apel, jeruk)
2.      Buah-buahan yang diolah (prum, apikrot)
3.      Sayur-sayuran (bayam, kangkung, kubis)
4.      Sayur-sayuran mentah (seledri, mentimun)
5.      Gandum utuh (sereal, roti)
Mengonsumsi makanan tinggi serat meningkatkan kemungkinan normalnya pola eliminasi jika factor lain juga normal. Makanan yang menghasilkan gas, seperti bawang, kembang kol, dan buncis juga menstimulasi peristaltic. Gas yang dihasilkan membuat dinding usus berdistensi, meningkatkan motilitas kolon. Beberapa makanan pedas dapat meningkatkan peristaltic, tetapi juga dapat menyebabkan pencernaan tidak berlangsung dan feses menjadi encer.
Beberapa jenis makanan, seperti susu dan produk-produk susu, sulit atau tidak mungkin dicerna oleh beberapa individu. Hal ini disebabkan oleh intoleransi laktosa. Laktosa, suatu bentuk karbohidrat sederhana yang ditemukan di dalam susu, secara normal dipecah oleh enzim lactase. Intoleransi terhadap makanan tertentu dapoat mengakibatkan diare, distensi gas, dank ram.

3.                  Asupan Cairan
Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang menyebabkan kehilangan cairan (seperti muntah) mempengrauhi karakter feses. Asupan cairan yang menurun memperlambat pergerakan makanan yang melalui usus. Orang dewasa harus minum 6 sampai 8 gelas (1400 sampai 2000ml) cairan stiap hari. Minuman ringan yang hangat dan jus buah memperlunak feses dan meningkatkan peristaltic. Konsumsi susu dalam jumlah besar dapat memperlambat peristaltic pada beberapa induvidu dan menyebabkan konstipasi.

4.                  Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik meningkatkan peristaltic, sementara imobilisasai menekan motilitas kolon. Ambulasi dini setelah klien menderita suatu penyakit dianjurkan untuk meningkatkan dipertahankannya eliminasi normal.
Upaya mempertahankan tonus otot rangka, yang digunakan selama proses defekasi, merupakan hal yang penting. Melemahnya otot-otot dasar panggul dan abdomen merusak kemampuan individu untuk mengontrol sfingter eksterna. Tonus otot dapat melemah atau hilang akibat penyakit yang berlangsung dalam jangka waktu lama atau penyakit neurologis yang merusak transmisi saraf.

5.                  Faktor Psikologis
Fungsi dari hamper semua system tubuh dapat mengalami gangguan akibat stress emosional yang lama. Apabila individu mengalami kecemasan, ketakutan, atau marah, muncul respon stress, yang memungkinkan tubuh membuat pertahanan. Untuk menyediakan nutrisi dibutuhkan dalam upaya pertahanan tersebut, proses pencernaan dipercepat dan peristaltic meningkat. Efek samping peristaltic yang meningkat antara lain diare dan distensi gas. Apabila individu mengalami depresi, system saraf otonom memperlambat impuls saraf dan peristaltic dapat menurun. Sejumlah penyakit pada saluran GI dapat dikaitkan dengan stress. Penyakit ini meliputi colitis ulseratif, ulkus lambung, dan penyakit Crohn. Upaya penelitian berulang yang dilakuakn sejak lama telah gagal membuktikan mitos bahwa penyebab klien mengalami penyakit tersebut adalah karena meiliki kondisi psikopatologis. Namun, ansietas dan depresi mungkin merupakan akibat dari masalah kronik tersebut (Cooke, 1991).

6.                  Kebiasaan Pribadi
Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi usus. Jadwal kerja yang sibuk dapat mengganggu kebiasaan dan mengakibatkan perubahan, seperti konstipasi. Individu harus mencari waktu terbauk untuk melaksanakan eliminasinya. Refleks gastrokolik adalah reflex yang paling mudah distimulasi untuk menimbulkan defekasi setelah sarapan.
Klien yang dirawat di rumah sakit jarang dapat mempertahankan privasi saat melakukan defekasi. Fasilitas kamar mandi seringkali digunakan bersama-sama dengan teman sekamarnya, yang kebiasaan higienenya mungkin cukup berbeda. Penyakit yang diderita klien sering membatasi aktivitas fisiknya dan ia membutuhkan pispot atau commode yang ditempatkan di samping tempat tidurnya. Pemandangan, suara, dan bau yang dihubungkan dengan kondisi tempat fasilitas toilet digunakan bersama-bersama atau saat menggunakan pispot sering menimbulkan rasa malu. Rasa malu membuat klien mengabaikan kebutuhannya untuk berdefekasi, yang dapat memulai siklus rasa tidak nyaman yang hebat.

7.                  Posisi Selama Defekasi
Posisi jongkok merupakan posisi yang normal saat melakukan defekasi. Toilet modern dirancang untuk memfasilitasi posisi ini, sehingga memungkinkan individu untuk duduk tegak kearah depan, mengeluarkan tekanan intaabdomen dan mengontraksi otot-otot pahanya. Namun, klien lansia atau individu yang menderita penyakit sendi, seperti arthritis, mungkin tidak mampu bangkit dari temapat duduk toilet yang rendah. Alat untuk meninggikan tempat duduk di toilet memapukan klien untuk bangun dari posisi duduk di toilet tanpa bantuan. Klien yang menggunakan alat tersebut dan individu yang berpostur pendek, mungkin membutuhkan pijakan kaki yang memungkinkan ia menekuk pinggulnya dengan benar.
Untuk klien imobilisasi di tempat tidur, defekasi seringkali dirasakan sulit. Posisi telentang tidak memungkinkan klien mengontraksi otot-otot yang digunakan selama defekasi. Membantu klien ke posisi duduk yang lebih normal pada pispot akan menibfkatkan kemampuan defekasi.

8.                  Nyeri
Dalam kondidi noramal, kegiatan defekasi tidak menimbulkan nyeri. Namun, pada sejumlah kondisi, termasuk hemoroid, bedah rectum, fistula rectum, bedah abdomen, dan melaho\irkan anak dapat menimbulkan rasa tidak nyaman ketika defekasi. Pada kondisi-kondisi seperti ini, klien seringkali mansupresi keinginanya untuk berdefekasi guna menghindari rasa nyeri yang mungkin akan timbul. Konstipasi merupakan masalah umum pada klien yang merasa nyeri selama defekasi.

9.                  Kehamilan
Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan dan ukuran fetus, tekanan diberikan pada rectum. Obstruksi sementara akibat keberadaan fetus mengganggu pengeluaran feses. Konstipasi adalah masalah umum ang muncul pada trimester terakhir. Wanita hamil yang sering mengedan selama defekasi dapat menyebabkan terbentuknya hemoroid yang permanen.

10.              Pembedahan dan Anestesi
Agens anestesi, yang dugunakan selama proses pembedahan, membuat gerakan peristaltic berhenti untuk sementara waktu. Klien yang menerima aneatesia local atau regional beresiko lebih kecil untuk mengalami perubahan eliminasi karena aktivitas usus hanya dipengaruhi sedikit atau bahkan tidak dipengaruhi sama sekali.
Pembedahan yang melibatkan manipulasi usus secara langsung, sementara akan menghentikan gerakan peristaltic. Kondisi inj disebut ileus paralitik yang biasanya berlangsung sekitar 24 samapi 48 jam.

11.              Obat-obatan
Obat-obat untuk meningkatkan defekasi telah tersedia yakni, Laksatif dan katartik melunakkan feses dan meingkatkan peristaltic. Walaupun sama, kerja laksatif lebih ringan daripada katartik. Penggunaan katartik dalam jangka waktu lama menyebabkan usus besar kehilangan tonus ototnya dan menjadi kurang responsive terhadap stimulasi yang diberikan oleh laksatif. Penggunaan laksatif yang berlebihan juga dapat menyebabkan diare berat yang dapat menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit.
Obatobatan seperti disiklomin HCl (Bentyl) menekan gerakan peristaltic dan mengobati diare. Obat analgestik narkotik menekan gerakan peristaltic. Opiat umumna menyebabkan konstipasi. Obat-obatan antikolinergik, seperti atropine atau glikopirolat (Robinal), menghambat sekresi asam lambung dan menekan motilitas saluran GI. Walaupun bermanfaat dalam mengobati gangguan usus, yakni hiperaktivitas usus, agens antikolinegik dapat menyebabkan konstipasi.

12.              Pemeriksaan Diagnostik
Pemerikasaan diagnostic, yang melibatkan visualisasi struktur saluran GI, sering memerlukan dikosongkannya isi di bagian usus. Klien tidak diijinkan untuk makan atau minum setelah tengah malam jika esoknya akan dilakukan pemeriksaan, seperti pemeriksaan yang menggunakan barium enema, endoskopi saluran GI bagian bawah, atau serangkaian pemeriksaan saluran GI bagian atas.
Prosedur pemeriksaan menggunakan barium menimbulkan masalah tambahan. Barium mengeras jka dibiarkan di dalam saluran GI. Hal ini dapat menyebabkan konstipasi atau impaksi usus. Seorang pasien harus menerima katartik untuk meningkatkan eleminasi barium setelah prosedur dilakukan. Klien yang mengalami kegagalan dalam mengevakuasi semua barium, mungkin usus klien perlu dibersihkan dengan menggunakan enema.

The Gau’ 2012 : www.muhsakirmsg.blogspot.com/ Pengeluaran Feses Secara Normal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Komentar Untuk Perbaikan Postingan Selanjutnya !