Laman

Selasa, 05 Maret 2013

PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PARIWISATA


PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PARIWISATA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Perencanaan merupakan sebuah proses pengembangan dan pengkoordinasian secara menyeluruh dari apa yang sudah ada sekarang untuk menjadi lebih baik agar dapat  mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Dalam hal perencanaan pembangunan kawawasan pariwisata, proses pengembangan dan pengkoordinasian tersebut menyangkut masa depan dari suatu destinasi pariwisata. Proses perencanaan menggambarkan lingkungan yang meliputi elemen-elemen : politik, fisik, sosial, budaya dan ekonomi, sebagai komponen atau elemen yang saling berhubungan dan saling tergantung, yang memerlukan berbagai pertimbangan.

1.2.       Rumusan Masalah
Dalam proses sebuah perencanaan kawasan pariwisata, elemen-elemen yang disebut diatas merupakan hal penting yang harus dipertimbangkan agar mewujudkan pembangunan kawasan pariwisata yang berkelanjutan dan mencapai sasaran kesejahtraan masyarakat sebagai tujuan dari sebuah pembangunan. Untuk menyikapi fenomena yang terjadi pada pariwisata sebagai sebuah destinasi baru dimana arah kebijakan pengembangannya hanya semata-mata mengejar pertumbuhan pendapatan (ekonomi makro).
Pada proses awal perencanaan sebuah kawasan pariwisata baru, pembangunan fasilitas-fasilitas pendukung seperti infrastruktur dan amenity coremerupakan sebuah hal yang mutlak untuk dilakukan, terlebih dengan potensi alam dan kebudayaan yang menjadi daya tarik kawasan pariwisata yang secara signifikan akan merangsang minat wisatawan untuk berkunjung. Namun disisi lain, elemen lain yang tidak dapat dikesampingkan adalah keterlibatan masyarakat yang merupakan bagian dari stakeholder dan juga sebagi pihak yang akan merasakan dampak langsung pengembangan kawasan tersebut baik dampak postitf maupun negative yang akan ditimbulkan.
1.3.       Tujuan Penulisan
Pada BAB berikutnya, akan dipaparkan beberapa teori perencanaan pengembangan kawasan pariwisata dari beberapa ahli yang diharapkan dapat menjadi acuan arah pengembangan kawasan pariwisata yang seharusnya diterapkan.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.       Perencanaan Pariwisata oleh Inskeep & Gunn
Sebelum memulai pelaksanaan pengembangan kawasan wisata sebagai sebuah kawasan pariwisata baru, sangat penting diawal untuk semua stakeholder yang terkait memahami pengertian, maksud dan tujuan perencanaan pariwisata itu sendiri agar arah pengembangannya nanti dapat terkontrol dan sesuai dengan tujuan bersama yaitu Pro Growth, Pro Poor dan Pro Job. Dibawah ini adalah definisi perencanaan pariwisata oleh Inskeep & Gunn.
Inskeep mendefinisikan perencanaan sebagai “mengorganisasikan masa depan untuk meraih tujuan tertentu.” (hal. 26) Pendekatan yang komprehensif dan menyeluruh dibutuhkan bukan saja karena keseluruhan aspek (dalam perencanaan pariwisata) saling terkait, melainkan pula terhubung dengan lingkungan alamiah dan area sosial. Dengan segera, pemikiran Inskeep merubah kecenderungan para perencana pariwisata dalam memandang alam dan komunitas. Kedua hal itu kini dipandang sebagai subjek, bukan objek yang bisa dieksplorasi maupun dieksploitasi. Ide inilah yang kemudian diresapi oleh Inskeep dalam berbagai penjelasan selanjutnya terhadap cara serta proses bagaimana melakukan perencanaan pariwisata dalam lingkup nasional dan regional, serta dalam menganalisis perencanaan, memformulasikan kebijakan, mendesain pembangunan, mempertimbangkan dampak, maupun menstrategikan dan mengimplementasikan tourism plan.
Inskeep & Gunn (1994), mengemukakan bahwa suatu kawasan wisata  yang baik dan berhasil  bila secara optimal didasarkan kepada  empat aspek yaitu :
1.      Mempertahankan kelestarian lingkungannya
2.      Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut
3.      Menjamin kepuasan pengunjung
4.      Meningkatkan keterpaduan dan  unity pembangunan  masyarakat di sekitar   kawasan dan zone pengembangannya.
Sehingga melalui konsep perencanaan pariwisata yang dijelaskan oleh Gunn dan Inskeeps dapat di terik kesimpulan bahwa dalam melakukan sebuah perencanaan suatu objek wisata, diperlukan adanya fokus yang lebih menyeluruh pada aspek lain selain sumber daya (atraksi) yang ada daerah sehingga pembangunan dan pengembangan objek pariwisata di suatu daerah selain untuk menggerakan roda ekonomi, diharapkan dapat berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup dan meningkatkan kesejahtraan masyarakat disekitarnya melalui keterlibatan secara langsung dalam sebuah pembangunan dan pengembangan pariwisata tersebut (Community Involvement).

2.2.       Konsep “Tourism Area Life Cycle of Evolution” oleh Butler
Seperti halnya diawal, setelah memahami latar belakang sebuah perencanaan kawasan pariwisata, stakeholder termasuk pemerintah dan masyarakat diharapkan mampu untuk memahami konsep dari Tourism Area Life Cycle of Evolutiondimana konsep ini sangat penting untuk mengantisipasi penurunan kualitas kawasan karena eksploitasi yang berlebihan yang dilakukan.
Berikut adalah penjelasannya;
Seperti yang dikatakan oleh Butler 1980 dalam  http://tourismbali.wordpress.com/,  bahwa terdapat enam tingkatan atau tahapan dalam pembangunan pariwisata. Ke enam tahapan tersebut adalah :
A. Tahap Penemuan (Exploration)
Potensi pariwisata berada pada tahapan identifikasi dan menunjukkan destinasi memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi daya tarik atau destinasi wisata karena didukung oleh keindahan alam yang masih alami, daya tarik wisata alamiah masih sangat asli, pada sisi lainnya telah ada kunjungan wisatawan dalam jumlah kecil dan mereka masih leluasa dapat bertemu dan berkomunikasi serta berinteraksi dengan penduduk local. Karakteristik ini cukup untuk dijadikan alasan pengembangan sebuah kawasan menjadi sebuah destinasi atau daya tarik wisata.

B. Tahap Pelibatan (Involvement)
Pada tahap pelibatan, masyarakat local mengambil inisiatif dengan menyediakan berbagai pelayanan jasa untuk para wisatawan yang mulai menunjukkan tanda-tanda peningkatan dalam beberapa periode,. Masyarakat dan pemerintah local sudah mulai melakukan sosialiasi atau periklanan dalam skala terbatas, pada musim atau bulan atau hari-hari tertentu misalnya pada liburan sekolah terjadi kunjungan wisatawan dalam jumlah besar, dalam kondisi ini pemerintah local mengambil inisiatif untuk membangun infrastruktur pariwisata namun masih dalam skala dan jumlah yang terbatas.
C. Tahap Pengembangan (Development)
Pada tahapan ini, telah terjadi kunjungan wisatawan dalam jumlah besar dan pemerintah sudah berani mengundang investor nasional atau internatsional untuk menanamkan modal di kawasan wisataw yang akan dikembangkan. Perusahaan asing (MNC) Multinational companytelah beroperasi dan cenderung mengantikan perusahan local yang telah ada, artinya usaha kecil yang  dikelola oleh penduduk local mulai tersisih hal ini terjadi karena adanya tuntutan wisatawan global yang mengharapkan standar mutu yang lebih baik. Organisasi pariwisata mulai terbentuk dan menjalankan fungsinya khususnya fungsi promotif yang dilakukan bersama-sama dengan pemerintah sehingga investor asing mulai tertarik dan memilih destinasi yang ada sebagai tujuan investasinya.
D. Tahap Konsolidasi (Consolidation)
Pada tahap ini, sector pariwisata menunjukkan dominasi dalam struktur ekonomi pada suatu kawasan dan ada kecenderungan dominasi jaringan international semakin kuat memegang peranannya pada kawasan wisata atau destinasi tersebut. Kunjungan wisatawan masih menunjukkan peningkatan yang cukup positif namun telah terjadi persaingan harga diantara perusahaan sejenis pada industri pariwisata pada kawasan tersebut. Peranan pemerintah local mulai semakin berkurang sehingga diperlukan konsolidasi untuk melakukan re-organisasional, dan balancing peran dan tugas antara sector pemerintah dan swasta. Hubungan antara swasta (MNC dan Nasional) dan pemerintah daerah semakin meningkat baik hubungan Government to Government (G2G), Business to Business (B2B), dan Business to government (B2G).
E. Tahap Stagnasi (Stagnation)
Pada tahapan ini, angka kunjungan tertinggi telah tercapai dan beberapa periode menunjukkan angka yang cenderung stagnan. Walaupun angka kunjungan masih relative tinggi namun destinasi sebenarnya tidak menarik lagi bagi wisatawan. Wisatawan yang masih datang adalah mereka yang termasuk repeater guest atau mereka yang tergolong wisatawan yang loyal dengan berbagai alasan. Program-program promosi dilakukan dengan sangat intensif namun usaha untuk mendatangkan wisatawan atau pelanggan baru sangat sulit terjadi.  Pengelolaan destinasi melampui daya dukung sehingga terjadi hal-hal negatif tentang destinasi seperti kerusakan lingkungan, maraknya tindakan kriminal, persaingan harga yang tidak sehat pada industry pariwisata, dan telah terjadi degradasi budaya masyarakat lokal.
F. Tahap Penurunan atau Peremajaan (Decline/Rejuvenation)
Setelah terjadi Stagnasi, ada  dua kemungkinan bisa terjadi pada kelangsungan sebuah destinasi. Jika tidak dilakukan usaha-usaha keluar dari tahap stagnasi, besar kemungkinan destinasi ditinggalkan oleh wisatawan dan mereka akan memilih destinasi lainnya yang dianggap lebih menarik. Destinasi hanya dikunjungi oleh wisatawan domestik saja itupun hanya ramai pada akhir pekan dan hari liburan saja. Banyak fasilitas wisata berubah fungsi menjadi fasilitas selain pariwisata. Jika Ingin Melanjutkan pariwisata?, perlu dilakukan pertimbangan dengan mengubah pemanfaatan destinasi, mencoba menyasar pasar baru, mereposisi attraksi wisata ke bentuk lainnya yang lebih menarik. Jika Manajemen Destinasi memiliki modal yang cukup?, atau ada pihak swasta yang tertarik untuk melakukan penyehatan seperti membangun atraksi man-made, usaha seperti itu dapat dilakukan, namun semua usaha belum menjamin terjadinya peremajaan.
2.3.       Daya Dukung (Carrying Capacity) dan Kedudukannya Dalam Proses Perencanaan oleh MacLeod & Cooper
Untuk menghindari decline atau penurunan kualitas yang telah dijelaskan pada teori Butler diatas, teori daya dukung atau harus dipahami oleh pemegang kebijakan dan masyarakat untuk menghindari kerusakana yang terjadi karena eksploitasi yang berlebihan baik eksploitasi pada sumber daya alam dan ranah sosial budaya masyakat sebagai tuan rumah.
Daya dukung mengacu pada kemampuan sebuah sistem untuk mendukung suatu aktivitas pada derajat (level) tertentu (MacLeod and Cooper, 2005). daya dukung lingkungan didefinisikan sebagai jumlah optimum individu suatu speseis yang dapat didukung kebutuhan hidupnya oleh satu kawasan tertentu pada periode perkembangan spesis secara maksimum. Sementara menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, daya dukung dimaksudkan sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk dapat mendukung peri kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya di dalam suatu ekosistem.
Konsep daya dukung menurut MacLeod and Cooper (2005) dikategorikan atas : daya dukung fisik, daya dukung ekologi, daya dukung sosial dan daya dukung ekonomi.
·      Daya dukung fisik; Didasarkan pada batas spasial sebuah areal dengan  memperhatikan berapa materi (unit) yang dapat ditampung dalam areal tersebut.
·      Daya dukung ekologi: secara sederhana adalah berapa ukuran populasi pada suatu ekosistem agar ekosistem tersebut dapat berkelanjutan, batas kepadatan populasi yang melebihi daya dukung dapat menyebabkan laju tingkat kematian spesies menjadi lebih besar dibandingkan angka kelahiran. Pada prakteknya, hubungan antar spesies amatlah kompleks dan angka kelahiran maupun kematian rata-rata dapat menyeimbangkan kepadatan populasi pada suatu tempat.
·      Daya dukung sosial : intinya adalah ukuran yang dapat ditoleransi pada suatu tempat yang dikerumuni orang banyak.
·      Daya dukung ekonomi: dapat digambarkan sebagai tingkat dimana suatu area dapat diubah sebelum aktivitas ekonomi terjadi sebelum mendapat pengaruh yang merugikan.
Sehingga, melalui konsep daya dukung yang dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa daya dukung (Carrying Capacity) memegang peranan dan kedudukan yang vital dalam mengontrol arah pengembangan perencanaan suatu obyek pariwisata sehingga aktifitas pariwisata yang dibangun tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan dengan menganalisis daya dukung yang tersedia di suatu obyek wisata untuk memenuhi permintaan/aktifitas kepariwisataan tersebut baik itu wisatawan (demand) ataupun sumber daya manusia dan alam (supply)
2.4.       Keterkaitan 5 Pilar Pengembangan
Berikut dibawah ini merupakan salah satu inti keterkaitan 5 pilar pengembangan yang harus dicermati dalam membangun kawasan pariwisata. Proses perencanaan pengembangan kawasan pariwisata diawali dengan melakukan analisis faktor internal dan eksternal suatu kawasan. Faktor internal adalah sesuatu yang dapat diprediksi dan diatur sesuai tujuannya, hal yang berada didalamnya yaitu Supply (Tourist Attraction, Accessibility, Amenity, Ancillary, Community Involvement) Sedangkan factor eksternal adalah Demand (Tingkat kunjungan wisatawan) yang datang kesuatu kawasan pariwisata.
1. Hubungan Demand dengan Tourist Attraction
Tourist attraction  adalah segala atraksi yang mernarik untuk dilihat  dan dikunjungi sehingga sangat besar pengaruhnya dalam mempengaruhi demand (tourist) untuk berkunjung kesuatu destinasi pariwisata.
2. Hubungan Demand dengan Accessibility
Akses adalah suatu hal yang sangat penting dan vital dalam mempengaruhi kunjungan wisatawan (demand) ke suatu objek/destinasi pariwisata. Tidak dapat dipungkiri, dalam pengembangan sebuah destinasi pariwisata demand saling mempengaruhi dalam pembangunan akses menuju objek wisata tersebut. Jika suatu daerah memiliki potensi pariwisata, maka harus disediakan aksesibilitas yang memadai sehingga daerah tersebut dapat dikunjungi demand atau tourist.
3. Hubungan Demand dengan Amenities
Amenities merupakan hal yang pentingnya dalam pengembangan kawasan pariwisata.  Amenities dapat berbentuk fasilitas-fasilitas penunjang seperti hotel, transportasi, restaurant, spa, dan yang lainnya. Jika di suatu daerah tidak terdapat amenities yang mencukupi, maka demand tidak akan betah berkunjung di tempat tersebut. Amenities ini sangat dipengaruhi oleh permintaan dan harapan konsumen, Fasilitas-fasilitas inilah yang menyebabkan demand merasa betah dan nyaman berada di suatu destinasi pariwisata. Jika amenities tidak berkualitas dan mencukupi, maka demandtidak akan tertarik untuk mengunjungi daerah tersebut.
Begitu pula sebaliknya, jika tidak ada demand maka amenities tidak akan berkembang karena tidak ada pemasukan atau keuntungan. Namun sebaliknya, jika pembangunan amenity core tersebut dilakukan terlalu eksploratif seperti yang terjadi ,  maka pengembangan tersebut akan jauh dari konsep sustainability yang berbasis berkelanjutan dan pro kerakyatan.
4. Hubungan Demand dengan Ancillaries
Ancillaries adalah hal-hal pendukung sebuah pariwisata, seperti misalnya ketersediaantourist information centre dan peraturan-peraturan mengenai objek wisata tersebut. Adanya hal-hal pendukung ini disebabkan oleh demand yang berkunjung ke suatu tempat karena hal-hal tersebut dibutuhkan oleh demand dan dirasa dapat menghasilkan keuntungan, kenyamanan dan keamanan dalam berkunjung.
5. Hubungan Demand dengan Community Involvement
Community involvement adalah keterlibatan atau dukungan masyarakat dalam kegiatan pariwisata. Community involvement ini sangat mempengaruhi kunjungan demand. Masyarakat harus dapat mendukung jalannya kegiatan pariwisata ini. Jika masyarakat tidak mendukung atau melakukan tindakan-tindakan anarkis seperti pencurian, perampokan, pengeboman, pembunuhan, maka demand tidak akan berani mengunjungi daerah tersebut. Sebaliknya, jika masyarakat bersikap baik dan ramah terhadap tamu, maka tourist akan betah tinggal di daerah tersebut. Sehingga peran keterlibatan masyarakat adalah sangat menentukan keberlanjutan sebuah kawasan wisatanya sendiri, terlebih dengan potensi kebudayaan yang mengundang minat wisatawan mancanegara untuk berkunjung maka telah sepantasnya masyakat dapat menikmati hasil pariwisata itu sendiri.

2.5.       Perencanaan Kawasan Wisata yang Berkelanjutan Oleh Verseci dalam A.Yoeti
Perencanaan pembangunan pariwisata berkelanjutan dilakukan dengan mengelola sumber daya pariwisata (Tourism Resources) yang tersebar diseluruh wilayah tanah air. Sebelum suatu rencana akan dilakukan, untuk pembangunan pariwisata berkelanjutan mutlak kiranya terlebih dahulu dilakukan pendekatan pada pemuka adat setempat (A.Yoeti, 2008:253) dalam kasus ini adalah masyarakat, perlu dilakukan penjelasan dengan melakukan sosialisasi manfaat dan keuntungan proyek bagi penduduk setempat dan para stakeholder agar terwujudnya sebuah pengembangan kawasan pariwisata yang berkelanjutan dan pro community. Verseci dalam A.Yoeti (2008 : 253) perencanaan strategis pembangunan pariwisata berkelanjutan memberikan kerangka kerja sebagai berikut (http://freebahankulaih.blogspot.com);
Keterangan :
1.      Future Generation, yaitu generasi yang akan datang yang perlu diperhatikan kecukupan sumber daya untuk memperoleh kehidupan yang berimbang
2.      Tourism Resources, yaitu sumber daya pariwisata yang dikelola dengan memperhatikan keempat factor lainnya : future generation, equity, partnership, dan carrying capacity
3.      Equity, yaitu sikap perencana dan pengelola yang dituntut selalu memperhatikan unsur keadilan untuk mencapai pembangunan yang berkesinambungan di waktu yang akan datang.
4.      Carrying Capacity, yaitu kemampuan suatu kawasan untuk menampung kunjungan wisatawan dan semua permasalahan yang terjadi sebagai akibat kunjungan wisatawan ini.
5.      Partnership, yaitu kemitraan yang perlu diciptakan antara generasi sekarang dengan generasi yang akan datang.



BAB III
PENUTUP
3.1.    Kesimpulan
Melalui pemaparan kosep dan teori pada BAB sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bawasannya sebuah perencanaan pengembangan kawasan pariwisata merupakan suatu proses awal yang vital untuk mencapai sasaran pengembangan yang memiliki tujuan yang positif kearah kesejahtraan dan keberlanjutan.
Arah pengembangan suatu kawasan pariwisata harus dikaji secara komprehensif dan berbasis pada pengembangan dan keterlibatan masyarakat lokal CBT (Community Based Tourism) yang merupakan salah satu pilar utama untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mempertimbangkan aspek lainnya yaitu sosial budaya dan lingkungan. Selain hal tersebut, kosep daya dukung suatu kawasan pariwisata harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya eksploitasi atau kerusakan yang bersifat tangible maupun intangible oleh sebuah aktifitas pariwisata.

3.2.    Saran
Begitupula dalam menyikapi fenomena dimana terjadi sebuah pengembangan kawasan pariwisata yang tidak berbasis pada konsep keberlanjutan dengan secara eksploratif melakukan pembangunan “amenity core” atau fasilitas pariwisata tanpa mempertimbangkan carrying capacity atau daya dukung kawasan tersebut. Sehingga dengan arah pengembangan tersebut dikhawatirkan kawasan pariwisata akan menjadi sebuah kawasan wisata yang kehilangan karakterisitk yang sebelumnya menjadi atraksi utama yang memotivasi wisatawan untuk datang.
Selain itu, dengan pembangunan amenity core yang berlebihan dan tentunya lebih dikuasai oleh pemodal asing dikhawatirkan pendapatan ekonomi yang dihasilkan dikawasan tersebut tidak memiliki multiplier effect kepada masyarakat sekitar kawasan wisata dan tujuan pengembangan kawasan yang berujung pada kesejahtraan masyarakat lokal tidak akan pernah terwujud.

Daftar Pustaka

·         http://tourismbali.wordpress.com/ oleh I Gusti Bagus Rai Utama
·         Bayu Wisnawa, I Made (2012)  http://freebahankulaih.blogspot.com/2010_08_01_archive.html
·         Daud,Pahlano,JR. (2009). Pariwisata dan Perubahan Lingkungan.http://mukhtar-api.blogspot.com/2009/06/pariwisata-dan-perubahan-lingkungan.html
·         Paturusi, Samsul A. (2001). Perencanaan Tata Ruang Kawasan Pariwisata, Materi kuliah Perencanaan Kawasan Pariwisata Program Magister (S2) Kajian Pariwisata, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar.
·         Yoeti,Oka.A.(2008) Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Pradnya Paramita : Jakarta
·         The Gau’ 2012 : www.muhsakirmsg.blogspot.com/

1 komentar:

Silahkan Tinggalkan Komentar Untuk Perbaikan Postingan Selanjutnya !