Laman

Rabu, 13 Juli 2011

Sosok Bersahaja Mufidah Yusuf Kalla


Wanita bersuara lembut yang berusaha menjaga sikap untuk selalu tampil setenang mungkin, Mufidah Miad Saad, ini seorang ibu yang setia menopang karir suami, Wakil Presiden Jusuf Kalla. Keberhasilan JK dalam dunia usaha dan dunia politik tak terlepas dari dukungan wanita Minangkabau kelahiran Sibolga 12 Februari 1943, ini.
Bak kata pepatah asam di gunung ikan di laut bertemu dalam kuali, itulah yang terjadi pada pasangan Muhammad Jusuf Kalla dan Mufidah. Sebagai khasnya orang Minang yang berjiwa perantau, begitulah jua keluarga Mufidah (ayah H Buya Mi’ad dan ibu Sitti Baheram serta sebelas orang anak saudara sekandung. Dari Sumatera Barat merantau ke Sibolga, umatera Utara hingga ke Sulawesi Selatan.<a
Di kota Angin Mamiri Makassar, Mufiodah akhirnya bertemu jodoh Jusuf Kalla. Mufidah yang biasa cukup dipanggil dengan Ida saja, adalah gadis muda belia yang untuk pertamakalinya bertemu pandang dengan Jusuf Kalla saat menginjak bangku SMA Negeri III Makassar, Sulawesi Selatan, sebagai siswi baru.
Di masa-masa sekolah inilah awal mula persemaian kisah cinta Mufidah dengan seorang anak muda Muhammad Jusuf Kalla (MJK), pria suku Bugis kelahiran Watampone 15 Mei 1942, putra pengusaha tradisional Bugis Haji Kalla dan Hajjah Athirah pendiri dan pemilik NV Hadji Kalla Trading Company, bersemi. Jusuf Kalla dan Mufidah mulai saling menaruh hati pada tahun 1962 saat Jusuf Kalla duduk di bangku kelas dua dan Ida adalah siswi baru kelas satu SMA Negeri III Makassar. Mufidahlah yang menyebutkan kalau Jusuf Kalla sudah menunjukkan ketertarikan kepadanya sewaktu SMA. Namun Ida menanggapi ketertarikan Kalla dengan bersikap tenang dan biasa-biasa saja, sepertinya tanpa ada gejolak apapun. Walau berakhir happy ending kisah cinta dua anak bangsa Jusuf Kalla-Mufidah memang sepertinya mirip dengan kisah Siti Nurbaya, sebuah cerita klasik dari Minangkabau. Ketika Jusuf Kalla sudah sedang berada di puncak hasrat asmara bahkan hendak melamar, Ida kepada Kalla mengaku terus terang kalau dirinya sudah dijodohkan oleh kedua orangtua kepada pria lain.
Pengakuan langsung itu menjadi konfirmasi final atas kabar perjodohan Mufidah yang sebelumnya telah terembus ke telinga Jusuf Kalla. Kabar atau “mimpi buruk” yang muncul justru di saat Jusuf Kalla hendak melamar Ida. Pria yang dijodohkan ke Mufidah disebut-sebut pula ganteng dan sedang menempuh pendidikan di Amerika Serikat.
Namun, nyali Jusuf Kalla tak surut. Dan, akhirnya mereka menikah. Buah kasih mereka telah melahirkan lima orang anak, yakni Muchlisah Jusuf, Muswirah Jusuf, Imelda Jusuf, Solichin Jusuf, dan Chaerani Jusuf, serta tujuh orang cucu.Penari Serampang 12Ketenangan dan selalu bersikap biasa, sejak gadis belia hingga sudah menjadi nenek tujuh orang cucu adalah ciri khas pembawaan Mufidah, wanita yang di usia senja 61 tahun masih saja mengguratkan tanda-tanda kecantikan dan kesegaran. Sebagai misal, walau nyonya rumah di sebuah keluarga kaya raya, yang berdasar laporan KPKN Jusuf Kalla memiliki kekayaan Rp 134,2 miliar, penampilan Mufidah tampak biasa-biasa saja. Sehari-hari di rumah, misalnya, ia cukup mengenakan setelan busana muslimah yang sangat bersahaja. “Ya biasa-biasa saja. Sejak bapak mundur dari kabinet, saya memilih tinggal di rumah bersama satu cucu atau ikut bapak keluar daerah jika menginap. Soal kegiatan saya, sebut saja saya menjadi ibu rumah tangga,” kata Mufidah, tersenyum kepada Indo Pos bercerita perihal kegiatan hariannya berikut status barunya sebagai Ibu Rumah Tangga. Ibu Rumah Tangga biasa sederhana yang bukan lagi dikenal Nyonya Menteri namun malah naik menjadi Nyonya Wakil Presiden karena kebersahajaannya. Tutur kata Mufidah terkesan ramah dan akrab. Sama seperti sang suami Jusuf Kalla, yang konglomerat dari Indonesia Timur yang juga sangat bersahaja dan sederhana sekali sebab jarang sekali mengenakan pakaian jas lengkap, kecuali untuk acara resmi yang sangat penting itupun terkadang paling-paling cukup mengenakan baju batik saja. Keseharian Jusuf Kalla lebih suka mengenakan baju lengan pendek tanpa dasi, atau jika ingin lebih sederhana cukup kenakan baju koko berlengan pendek.Jusuf Kalla menyemai bibit kasih sayangnya kepada Mufidah dengan sesekali datang bertandang ke rumah Ida. Ia datang bersama kawan-kawan sesama mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Hasanudin (Unhas) Makassar. Tujuannya “bukan” untuk bertemu Ida melainkan asyik bermain halma dan mengobrol dengan sang “Camer” alias calon mertua. Mufidah suatu ketika harus menempuh ujian akhir SMA di Medan sebab bersamaan waktunya dengan penyelengaraan sebuah kejuaraan tari di Medan. Ida yang pandai menarikan tarian Melayu Serampang Duabelas, demikian pula tarian Minang dan Aceh, dipercaya mewakili Propinsi Sulawesi Selatan mengikuti kejuaraan tari di Medan. Bukti bahwa Mufidah seorang penari handal tercermin pada putri bungsunya, Chaerani, yang mewarisi bakat penari. Di Medan Mufidah berhasil tampil sebagai juara tiga. Cinta jarak jauh Makassar-Medan diisi Jusuf Kalla dengan kerap menanyakan dan mencari tahu kabar tentang Ida, sambil sesering mungkin berkirim kartu pos.Kembali ke Makassar Mufidah berkesempatan bekerja di bank BNI 1946 atas permintaan ibu dan koneksi ayahnya dengan direktur utama bank yang kini bernama Bank BNI itu. Dengan bekerja Ida menyimpan hasrat lama kuliah di Universitas Hasanudin, tempat dimana Jusuf Kalla kuliah dan aktif sebagai aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Walau gagal masuk Unhas sekampus dengan Kalla Ida tak ingin melunturkan niat besarnya menempuh pendidikan tinggi. Ia lalu masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Selepas bekerja sebagai teller bank Ida rajin kuliah sore.Mengetahui Mufidah bekerja dan sambuil kuliah ada dua hal yang segera dilakukan Jusuf Kalla. Yakni, menabung di BNI 1946 dan melamar menjadi asisten dosen di UMI Makassar. Tujuannya tak lain ingin selalu bertemu pujaan kekasih hati. Seringkali bahkan terjadi setiap hari, dari bangkunya bekerja sebagai teller bank, “Dari jauh saya sudah lihat Bapak datang. Ia langsung ke tempat saya dan menabung. Tiap hari menabung,” kenang Ida, penuh tawa mengenang peristiwa puluhan tahun silam itu saat berbicara kepada Suara Pembaruan. Dan, pada peristiwa berbeda sebagai mahasiswi UMI Makassar yang diajar oleh Jusuf Kalla, pada suatu ketika Ida lupa membawa pulpen dan sang asisten dosen langsung saja menawarinya sebuah pulpen berwarna keemasan. Ida menerima dengan perasaan senang namun malu-malu.Diuji berkali-kaliBaik teman-teman Jusuf Kalla maupun teman-teman Mufidah sama-sama sudah mengetahui bahwa ada sesuatu antara kedua sejoli itu. Namun terhadap Jusuf Kalla Ida selalu bersikap biasa-biasa. Ida lalu dijuluki “jinak-jinak merpati”. Isi hati Ida pernah diuji berkali-kali oleh teman-teman Jusuf Kalla. Misalnya, pada suatu ketika Ida diminta untuk memilih kartu bertuliskan “ARA”, kartu nama kelompok belajar Jusuf Kalla. Tak mengerti apa maksudnya yang sesungguhnya, Ida mau saja mengambil kartu itu. Ida lalu diberitahu bahwa kartu yang berhasil diambilnya yang bertuliskan “ARA”, itu berarti tanda jadi hubungan mereka berdua. Jusuf Kalla dan empat orang sahabatnya bersorak kegirangan lalu merayakannya berkeliling kota dengan dokar. Walau sudah diuji demikian dan terbukti berhasil mengetahu isi hati Mufidah, sikap Ida masih saja sama tak berubah sedikitpun. Demikian pula dalam keseharian tak pernah diisi dengan berpacaran, misalnya. Hingga tiba pada ujian selanjutnya, Jusuf Kalla memberanikan diri sering memperlihatkan diri berboncengan dengan seorang teman wanita sekampus Unhas yang memang ada menaruh hati pada Kalla. Ida kemudian mengetahui kejadian itu dari tetangga. Tak pernah terjadi sebelumnya Mufidah segera saja menelepon Jusuf Kalla untuk meminta datang ke rumah. “Saya bilang ke Bapak, saya berterima kasih ke Bapak. Selama ini, saya berat mengatakannya, maklum saya ini orang Minang, dan ayah-ibu saya berat melepas saya untuk orang Bugis. Jadikan sajalah yang dibonceng di kampus itu,” kenang Ida, mengawali hendak berkata pisah pada Jusuf Kalla.Mufidah lalu menyebutkan merasa bersyukur Jusuf Kalla bisa menemukan pengantinnya, meminta agar hubungan mereka tetap terjaga seperti saudara, pintu rumah Ida selalu terbuka untuk Jusuf Kalla, dan jangan sampai Jusuf Kalla melupakan Ida. Akhirnya tibalah waktunya Ida mengulurkan tangan bersalaman untuk yang terakhir kali.
Tentu saja Jusuf Kalla menolak bersalaman dan menggagas bahwa Ida telah salah paham. “Saya tidak suka sama orang itu, dan saya betul-betul sudah salah. Saya cuma ingin memanas-manasi Ida,” kata Ida, menirukan ucapan Kalla. Ketika itu Ida merasakan cemburu yang sesungguhnya namun tak sedikitpun mau memperlihatkannya. Ia tetap saja tenang seperti biasa. Jusuf Kalla berlalu dengan lunglai disaksikan oleh seluruh saudara Ida. Mereka pun menaruh rasa iba terhadap pria yang sesungguhnya sudah mereka kenal baik dan akrab. Teman-teman Jusuf Kalla ikut menyaksikan kesedihan di wajah sohib dekatnya itu. Mereka lalu menghabiskan malam dengan duduk-duduk di tepi Pantai Losari tanpa perlu bicara sebab semua telah kehilangan selera humor. Kesedihan Jusuf Kalla semakin lengkap saat pulang ke rumah di subuh hari ditemuinya seorang adiknya sedang memutarkan gramofon yang mendendangkan lagu “Patah Hati” dari Rachmat Kartolo. DijodohkanJusuf Kalla sesungguhnya tidaklah sungguh-sungguh patah hati. Ia menemui Paman Mufidah bertanya kemungkinan melamar Ida. Paman itu malah menyarankan agar Kalla langsung melamar ke orangtua Ida. Namun justru pada saat itulah Jusuf Kalla merasakan pukulan berat kedatangan “mimpi buruk” yang sangat menakutkan. Jusuf Kalla mengetahui kalau Ida ternyata sudah dijodohkan dengan seorang pria lain asal Minang, yang sedang menempuh pendidikan di Amerika. Kalla panik dan segera ingin mendengar kesungguhan kabar langsung dari mulut Ida.Jusuf Kalla menemui Mufidah yang sudah dipromosikan menjadi Wakil Pimpinan BNI 1946 Cabang Sarinah, Makassar. “Saya memang dijodohkan dan orangnya gagah sekali. Ia sekarang bersekolah di Amerika,” kata Ida terus terang tetap dengan nada tenang dan biasa-biasa saja. “Jadi, kamu terima tidak? Ia gagah dan saya tidak?”“Saya tidak terima perjodohan itu.” “Lalu, bagaimana saya ini? Kamu terima saya ya?,” Jusuf Kalla mendesak. “Kita lihat sajalah nanti,” jawab Ida pelan. Beberapa hari kemudian Jusuf Kalla memberanikan diri segera melamar Mufidah. Lamaran Kalla tak begitu saja ditolak apalagi diterima oleh Buya Mi’ad dan Sitti Baheram, orangtua Ida, sebab mereka telah menyiapkan jodoh untuk putri tunggalnya. Mengingat Buya Mi’ad dan Sitti Baheram sudah lama merantau dan memilki pikiran yang terbuka dan modern mereka sepakat menyerahkan persoalan sepenuhnya kepada Ida. Namun sebagaimana tipikal wanita Minang kebanyakan yang sangat menghormati orangtua, Ida yang putri tunggal dari sebelas bersaudara balik menyerahkan pengambilan keputusan kepada Emak dan Ayahnya. Dengan hanya sedikit beretorika, kalau seandainya lamaran Kalla diterima ya alhamdulillah, dan seandainya tidak juga tidak apa-apa. “Saya bilang, terserah Emak dan Ayah. Kalau seandainya diterima, alhamdulillah. Kalau seandainya tidak, ya tidak apa-apa juga. Orangtua saya berpikir, ‘oh, Ida mau’. Dan lamaran itu pun diterima,” kata Mufidah. Sekretaris Pribadi Retorika itulah yang berhasil ditangkap kedua orangtua Ida, ‘oh, Ida mau’, sehingga lamaran Kalla diterima. Keduanya bertunangan tahun 1966 lalu menikah setahun kemudian menunggu hingga tuntas masa kuliah. Dua minggu menjalani masa bulan madu Mufidah yang semestinya harus sudah bekerja sebagai Wakil Pimpinan Bank BNI 1946, urung pergi ke kantor sebab Kalla yang seharusnya mengantar tak mau beranjak pergi. Kalla ingin Ida berada di rumah pada setiap kali Kalla pulang kerja. Ida pun berhenti bekerja. Jusuf Kalla yang kala itu sudah terkemuka seorang seorang politisi muda Golkar, mantan aktivis KAMMI, anggota DPRD Sulawesi Selatan, pendiri Sekber Golkar Sulawesi Selatan.Walau karir politik Jusuf Kalla sedang menanjak namun untuk urusan bisnis keluarga suaminya itu justru diultimatum oleh ayah mertuanya untuk memutuskan pilihan, apakah mau meneruskan usaha NV Hadji Kalla Trading Company, atau tidak. Saat itu Mufidah sedang mengandung anak kedua. NV Hadji Kalla sejak tahun 1965 mulai mengalami kesulitan setelah Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan sanering, berupa pemangkasan nilai mata uang rupiah seribu kali lebih rendah, misal dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Jusuf Kalla memilih meneruskan usaha keluarga NV Hadji Kalla. Di tangan Jusuf Kalla usaha NV Hadji Kalla berkembang dari sebelumnya bergerak di bidang hasil bumi menanjak ke usaha distributor mobil. Mufidah tergolong berperan besar di awal-awal kebangkitan NV Hadji Kalla ini. Ida yang ketika kuliah menekuni bidang akuntan, menjadikan ilmunya itu sebagai modal di bidang keuangan. Ida berperan sebagai sekretaris pribadi Jusuf Kalla merangkap mengelola keuangan perusahaan. Tahun 1969 perusahaan keluarga NV Hadji Kalla terbangkitkan di bidang transportasi dengan modal awal sepuluh unit kendaraan. “Saat itu, saya masih bekerja sebagai juru keuangan perusahaan,” ujar Ida. Penopang suamiKini NV Hadji Kalla sudah lebih dikenal sebagai sebuah konglomerasi usaha dari Kawasan Timur Indonesia bernama Kalla Group, merambah beragam bidang usaha seperti jasa transportasi, telekomunikasi, otomotif, properti, kontraktor bangunan, perkapalan, jembatan, tambak udang, perikanan, kelapa sawit, dan lain-lain. Ketika Jusuf Kalla diangkat menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan di era Gus Dur satu per satu pengelolaan unit usaha diwariskan kepada anak-anak. Mufidah fokuskan diri menopang karir politik sang suami dengan menjadi Ibu Rumah Tangga saja. Jusuf Kalla yang mundur dari Kabinet Megawati memilih berpasangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Wakil Presiden. Pasangan inipun terpilih menjadi orang nomor satu dan nomor dua di bumi Republik Indonesia.Sukses pasangan SBY-JK adalah juga sukses topangan Kristiani Herrawati Yudhoyono dan Mufidah Jusuf Kalla. Seringkali Ida bersama Jusuf Kalla semasa sebagai calon wakil presiden berkunjung ke berbagai kota di tanah air. Jika perjalanan satu hari saja pergi dan pulang biasanya Ida tak perlu diikutkan dalam rombongan agar tidak merasa capek. Namun jika kunjungan lebih dari satu hari Ida pasti diikutkan. “Bapak bilang, nanti saya capek ikut dia. Sebab, kalau tidak menginap, pergi jam delapan pagi, pulang jam delapan malam. Padahal, secapek apa pun saya selalu siap mendampingi, kata Ida. Frekuensi kunjungan ke daerah mencapai puncaknya saat menjelang dan pada saat kampanye Pemilu Presiden 2004. Topangan Mufidah bukan cuma itu. Rumah mereka yang terletak di Jalan Brawijaya Raya Nomor Enam, Jakarta Selatan, kerapkali kedatangan tamu perseorangan atau rombongan terdiri kolega atau tim sukses Jusuf Kalla. Ida selalu menyiapkan segalanya untuk menjamu tamu-tamu itu. Ida sudah bertekad untuk mendampingi Jusuf Kalla sebagai cawapres di rumah ataupun di luar rumah. Mufidah merasa bangga setiap beban berat suaminya, apakah itu urusan bisnis dan politik, orang rumah tak perlu kena getahnya. Ida sudah paham tabiat Jusuf Kalla yang tak pernah mau membawa-bawa urusan kantor dan luar rumah ke rumah seberat apapun tanggungjawab suaminya di urusan itu. Segala urusan luar rumah harus selalu diselesaikan di luar rumah. Tak sekalipun boleh mampir ke rumah. Rumah diperuntukkan sepenuhnya untuk keluarga. Sikap hidup yang menjadi dasar dan legitimasi untuk menanamkan prinsip anti KKN terhadap seluruh anggota keluarga.“Bahkan, bicara soal pekerjaannya pun di rumah sangat jarang. Sebab, kalau ditanya, dia selalu bilang besok saja. Saya bingung,” kata Ida, yang di rumah tinggal bersama anak keduanya Muswira. Anak pertama mereka, Muchlisa alias Lisa berdomisili di Balikpapan, Kalimantan Timur yang melanjutkan manajerial lembaga pendidikan Athirah yang dulu dikelola Mufidah. Sementara, anak ketiga dan keempat Imelda dan Solichin berdomisili di Makassar. Si bungsu Chaerani pewaris bakat menari Mufidah, usai menyelesaikan studi di Amerika Serikat kembali berada di Tanah Air.Sikap hidup sederhana, bersahaja, berusaha untuk selalu tenang, bersuara lembut, tak menampakkan diri sebagai sosok keluarga pengusaha yang kaya raya, agaknya sudah menjadi ciri khas Mufidah yang tak dibuat-buat. Mengerti benar suaminya akan menjadi orang kedua di Bumi Nusantara, Ida justru berharap agar suaminya bisa memenuhi semua janji-janji politik yang pernah dilontarkan suami dan pasangannya Susilo Bambang Yudhoyono. Ida tentu ingat apa saja yang pernah dijanjikan orang kesatu dan kedua Indonesia itu. Selain berharap janji itu jangan sampai melesat, Ida bahkan berdoa cita-cita suaminya menyejahterakan rakyat, mewujudkan keadilan dan keamanan bagi negeri, bisa terpenuhi.Jika pun tak terpenuhi Mufidah telah memutuskan akan menjadi orang pertama yang mengingatkan dan menagih kepada Kalla. Ida memang percaya penuh atas kegigihan dan keikhlasan suaminya dalam bekerja. “Saya yakin, bapak tidak mencari kedudukan. Kalau hanya kedudukan, buat apa? Sejak awal, niat bapak memang untuk ibadah,” kata Ida pasti.Mufidah juga mengerti area bermain suaminya adalah area politik yang penuh resiko. Sebagai misal, walau sudah menjadi kader Golkar selama 39 tahun, terlama dibanding kader-kader Golkar lainnya namun harus menjalani proses penonaktifan sebagai anggota Dewan Penasehat DPP Partai Golkar, Ida merasakan sangat penting kehadirannya selalu di sisi Jusuf Kalla. Kalau ada fitnah dari pihak lain terhadap Kalla, misalnya, Ida bisa segera menenangkan sekaligus mengingatkan untuk bersabar.Ida menopang suami juga dengan iman. Seperti, mendoakan perjalanan karir politik Jusuf Kalla dengan ikut majelis pengajian, wirid, serta zikir secara berjamaah di kediaman mereka. Ida selalu berzikir didampingi empat dari lima anaknya Muchlisah, Muswirah, Solichin, dan Chaerani. Demikian pula dua cucu dari anak pertamanya, Ahmad Fikri dan Masyitah selalu ikut dalam kebersamaan keluarga Jusuf Kalla di hari-hari terakhir menjelang hari pencoblosan 20 September 2004. Jusuf Kalla dikenal sangat akrab dan berbahagia sekali jika sedang bersama cucu-cucu.Malam menjelang hari pencoblosan 20 September 2004 Mufidah mengaku tak pernah tertidur. Bersama seorang ustad ia berzikir di sebuah majelis zikir. Di hari pencoblosan Ida yang berlatar Muhammadiyah memutuskan berpuasa padahal tak ikut makan sahur. Niat berpuasa terjadi malam harinya. Jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan suaminya pemenang Pemilu Presiden, Ida penolong suami yang sepadan ini berniat membayar nazar yang pernah diucapkan sebelumnya yakni berpuasa tiga hari. ►ti-haposan*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Nama:Mufidah Jusuf Kalla
Lahir:Sibolga, 12 Februari 1943
Agama:Islam
Pekerjaan:Ibu Rumah Tangga
Suami:Muhammad Jusuf Kalla
Anak:
1. Muchlisah Jusuf
2. Muswirah Jusuf
3. Imelda Jusuf
4. Solichin Jusuf
5. Chaerani Jusuf
Cucu:Tujuh orang
Orangtua:
Ayah H Buya Mi’ad dan Ibu Sitti Baheram
Saudara Kandung:Sebelas orang
Pendidikan:
SMA Negeri III Makassarn Fakultasn Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar
Pengalaman Kerja: Teller Bank BNI 1946 Cabang Sarinah,n Makassar Wakil Pimpinan Bank BNI 1946 Cabang Sarinah, Makassarn
Kepalan Bagian Keuangan NV Hadji Kalla Trading Company
Hobi:Menari
Alamat Rumah:Jalan Brawijaya Raya No. 6 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

Sumber:
- Berbagai sumber, antara lain Suara Pembaruan dan Indo Pos
-http://muhsakirmsg.blogspot.com/2011/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Komentar Untuk Perbaikan Postingan Selanjutnya !