Laman

Rabu, 06 Maret 2013

Eliminasi Urine ( BAK) Dan Fekal (BAB)


Eliminasi Urine( BAK)
Fisiologi Eliminasi Urine
Eliminasi urine tergantung pada fungsi ginjal , ureter, kandung kemih, dan uretra. Ginjal menyaring produk limbah dari darah untuk membentuk urine. Ureter mentransportasi urine dari ginjal ke kandung kemih. Kandung kemih menyimpan urine sampai timbul keingan untuk berkemih. Urine keluar dari tubuh melalui uretra. Semua organ sistem perkemihan harus utuh dan berfungsi supaya urine berhasil dikeluarkan dengan baik.
Anatomi saluran perkemihan
a. Ginjal
Bentuknya seperti biji kacang, jumlahnya ada dua di kiri dan kanan. Terletak di kedua sisi medula spinalis, dibalik rongga peritoneum. Berwarna coklat agak kemerahan. Dalam keadaan normal, ginja kiri lebih tinggi 1,5 sampai 2 cm dari ginjal kanan karena posisi anatomi hati. Setiap ginjal secara khas berukuran 12 cm x 7 cm dan memiliki berat 120 sampai 150 gram.
Darah sampai ke ginjal melalui arteri renalis, arteri renalis masuk ginjal melalui hilum. Setiap ginjal berisi 1 juta Nefron yang merupakan unit fungsional ginjal, membentuk urine. Nefron tersusun atas Glomelurus, Kapsula Bowman, Tubulus Proksimal, Ansa Henle, Tubulus Distal, dan Tubulus Pengumpul.
Ginjal menghasilkan beberapa hormon penting untuk memproduksi sel darah merah (SDM), pengaturan tekanan darah, dan mineralisasi tulang. Sehingga ginjal bertanggung jawab untuk mempertahankan volume normal SDM. Ginjal memproduksi eritropoietin, sebuah hormon yang terutama dilepaskan dari sel-sel glomelurus khusus yang dapat merasakan adanya penurunan oksigenasi sel darah merah (hipoksia lokal). Fungsi eritropoietin di dalam sumsum tulang untuk menstimulasi eritropoiesis (produksi dan pematangan SDM) dengan mengubah sel induk tertentu menjadi ertitroblas(McCance dan Huether, 1994). Renin adalah hormon lain yang di produksi oleh ginjal. Fungsi utama hormon ini adalah untuk mengatur aliran darah pada waktu terjadinya iskemia ginjal (penurunan suplai darah.
Ginjal juga berperan penting dalam pengaturan kalsium dan fosfat. Selain itu ginjal juga bertugas mempertahankan homeostatis cairan tubuh melalui beberapa cara :
ü  Pengaturan volume cairan
ü  Pengaturan jumlah elektrolit tubuh
ü  Pengaturan keseimbangan asam basa tubuh
ü  Ekskresi sisa-sisa metabolisme
ü  Reabsorpsi bahan yang bersifat vital untuk tubuh
ü  Fungsi hormonal dan metabolisme
b. Ureter
Ureter adalah tabung yang berasal dari ginjal dan bermuara di kandung kemih. Panjangnya sekitar 25 cm dan diameternya 1,25 cm. Bagian atas ureter berdilatasi dan melekat pada hilus ginjal, sedangkan bagian bawahnya memasuki kandung kemih pada sudut posterior dasar kandung kemih.
Urine di dorong melewati ureter dengan gelombang peristaltis yang terjadi sekitar 1-4 kali per menit. Pada pertemuan antara ureter dan kandung kemih, terdapat lipatan membran mukosa yang bertindak sebagai katup guna mencegah refluks urine kembali ke ureter sehingga mencegah penyebaran infeksi dari kandung kemih ke atas.
Dinding ureter dibentuk dari tiga lapisan jaringan. Lapisan bagian dalam merupakan membran mukosa yang berlanjut sampai lapisan pelvis renalis dan kandung kemih. Lapisan tengah terdiri dari serabut otot polos yang mentransfor urine melalui ureter dengan gerakan peristaltis yang distimulasi oleh distensi urine di kandung kemih. Lapisan luar ureter adalah jaringan penyambung fibrosa yang menyokong ureter.
Ureter masuk ke dalam dinding posterior kandung kemih dengan posisi miring. Pengaturan ini dalam kondisi normal mencegah refklus urine dari kandung kemih ke dalam ureter selama mikturisi (proses berkemih) dengan menekan ureter pada sambungan ureterovesikalis (sambungan ureter dengan kandung kemih).
c. Kandung Kemih
Kandung kemih (vesika urinaria) adalah kantung maskular tempat urine bermuara dari ureter. Kandung kemih merupakan suatu organ cekung yang berdistensi dan tersusun atas jaringan otot serta merupakan wadah tempat urine dan merupakan organ eksresi.
Ketika kosong atau setengah terisi, kandung kemih terletak di belakang simfisis pubis. Pada pria, kandung kemih terletak diantara kelenjar prostat dan rektum; pada wanita, kandung kemih terletak antara uterus dan vagina. Dinding kandung kemih sangat elastis sehingga mampu menahan renggangan yang sangat besar. Saat penuh, kandung kemih bisa melebihi simfisis pubis, bahkan bisa setinggi umbilikus.
Dinding kandung kemih memiliki empat lapisan : Lapisan mukosa di dalam, sebuah lapisan submukosa pada jaringan penyambung, sebuah lapisan otot, dan sebuah lapisan otot, dan sebuah lapisan serosa di bagian luar.
Lapisan otot memiliki berkas-berkas serabut otot yang membentuk otot detrusor. Serabut saraf parasimpatis menstimulasi otot detrusor selama proses perkemihan. Sfingter uretra interna, yang tersusun atas kumpulan otot yang berbentuk seperti cincin, berada pada dasar kandung kemih tempat sfingter tersebut bergabung dengan uretra. Sfingter mencegah urine keluar dari kandung kemih dan berada dibawah kontrol volunter (kontrol otot yang disadari).
d. Uretra
Uretra membentang dari kandung kemih sampai meatus uretra. Panjang uretra pada pria sekitar 20 cm dan membentang dari kandung kemih sampai ujung penis. Uretra pria terdiri atas tiga bagian, yaitu uretra pars prostatika, uretra pars membranosa, dan uretra pars spongiosa.
Uretra pada wanita memiliki panjang sekitar 4 sampai 6,5 cm. Panjang uretra yang pendek pada wanita menjadi faktor predisposisi untuk mengalami infeksi. Bakteri dapat dengan mudah masuk ke dalam uretra dari perineum, sehingga wanita lebih rentan mengalami infeksi saluran kemih.
Pada wanita meatus urinarius (lubang) terletak diantara labia minora, di atas vagina dan di bawah klitoris. Pada pria meatus terletak pada ujung distal penis.
a. Ciri-ciri urine normal
ü  Jumlah dalam 24 jam ± 1.500 cc, bergantung pada banyaknya asupan cairan
ü  Berwarna orange bening, pucat, tanpa endapan
ü  Berbau tajam
ü  Sedikit asam ( pH rata-rata 6)
b. Proses pembentukan urine
Ada tiga proses dasar yang berperan dalam pembentukan urine : filtrasi glomelurus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus.
1.        Filtrat Glomerulus. Proses ini terjadi karena permukaan aferen lebih besar dari permukaan eferen sehingga terjadi penyerapan darah. Saat darah melalui glomerulus, terjadi filtrasi plasma bebas-protein menembus membran kapiler glomerulus ke dalam kapsula Bowman. Filtrat yang lolos tersebut terdiri atas air, glukosa, natrium, klorida, sulfat, dan bikarbonat yang kemudian diteruskan ke tubulus ginjal.
2.        Reabsorpsi Tubulus. Pada tubulus bagian atas, terjadi penyerapan kembali sebagian besar zat-zat penting, seperti glukosa, natrium, klorida, sulfat, dan ion bikarbonat. Proses tersebut berlangsung secara pasif yang dikenal dengan istilah reabsorpsi obligator. Apabila diperlukan, tubulus bawah akan menyerap kembali natrium dan ion bikarbonat melalui proses aktif yang dikenal dengan istilah reabsorpsi fakultatif. Zat-zat yang direabsorpsi tersebut diangkut oleh kapiler peritubulus ke vena dan kemudian ke jantung untuk kembali diedarkan.
3.        Sekresi Tubulus. Mekanisme ini merupakan cara kedua bagi darah untuk masuk ke dalam tubulus di samping melalui filtrat glomerulus. Melalui sekresi tubulus, zat-zat tertentu pada plasma yang tidak berhasil disaring di kapiler tubulus dapat lebih dieliminasi.
Faktor yang memengaruhi eliminasi urine
1.    Pertumbuhan dan perkembangan. Jumlah urine yang diekskresikan dapat dipengaruhi oleh usia dan berat badan seseorang. Normalnya, bayi dan anak-anak mengekskresikan 400-500ml urine setiap harinya. Sedangkan orang dewasa mengekskresikan 1500-1600ml urine per hari. Dengan kata lain, bayi yang beratnya 10% orang dewasa mampu mengekskresikan urine 33% lebih banyak dari orang dewasa. Seiring penuaan, lansia juga mengalami perubahan pada fungsi ginjal dan kandung kemihnya sehingga mengakibatkan perubahan pola eliminasi urine(mis. Nokturia, sering berkemih, residu urine). Sedangkan ibu hamil dapat mengalami peningkatan keinginan miksi akibat adanya penekanan pada kandung kemih.
2.    Asupan cairan. Kebiasaan mengonsumsi jenis makanan atau minuman tertentu (mis., teh, kopi, coklat, alkohol) dapat menyebabkan peningkatan ekskresi urine karena dapat menghambat hormon antidiuretik (ADH).
3.    Kebiasaan/gaya hidup. Gaya hidup ada kaitannya dengan kebiasaan seseorang ketika berkemih. Sebagai contoh, seseorang yang terbiasa buang air kecil di sungai atau di alam bebas akan mengalami kesulitan ketika harus berkemih di toilet atau menggunakan pispot pada saat sakit.
4.    Faktor psikologis. Kondisi stress dan kecemasan dapat menyebabkan peningkatan stimulus berkemih, di samping stimulus buang air besar (diare) sebagai upaya kompensasi.
5.    Aktivitas dan tonus otot. Eliminasi urine membutuhkan kerja (kontraksi) otot-otot kandung kemih, abdomen, dan pelvis. Jika terjadi gangguan pada kemampuan tonus otot, dorongan akan berkemih juga akan berkurang. Aktivitas dapat meningkatkan kemampuan metabolisme dan produksi urine secara optimal.
6.    Kondisi patologis. Kondisi sakit seperti demam dapat menyebabkan penurunan produksi urine akibat banyaknya cairan yang dikeluarkan melalui penguapan kulit. Kondisi inflamasi dan iritasi organ kemih dapat menyebabkan retensi urine.
7.    Medikasi. Penggunaan obat-obat tertentu (mis., diuretik) dapat meningkatkan haluaran urine, sedangkan penggunaan antikolirgenik dapat menyebabkan retensi urine.
8.    Prosedur pembedahan. Tindakan pembedahan menyebabkan stress yang akan memicu sindrom adaptasi umum. Kelenjar hipofisis anterior akan melepaskan hormon ADH sehingga meningkatkan reabsorpsi air dan menurunkan haluaran urine. Selain itu, respon stress juga meningkatkan kadar aldosteron yang mengakibatkan penurunan haluarab urine.
9.    Pemeriksaan diagnostik. Prosedur pemeriksaan saluran perkemihan, seperti pielogram intravena dan urogram, tidak membolehkan pasien mengonsumsi cairan per oral sehingga akan memengaruhi haluaran urine. Selain itu, pemeriksaan diagnostik yang bertujuan melihat langsung struktur perkemihan (mis., sitoskopi) dapat menyebabkan edema pada outlet uretra dan spasme pada sfingter kandung kemih. Ini menyebabkan klien sering mengalami retensi urine dan mengeluarkan urine berwarna merah muda akibat adanya perdarahan.

Eliminasi fekal ( BAB)
Eliminasi fekal adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh berupa bowel (feses). Pengeluaran feses yang sering, dalam jumlah besar dan karakteristiknya normal biasanya berbanding lurus dengan rendahnya insiden kanker kolorektal (Robinson & Weigley, 1989). Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang.
Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi. Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk fungsi tubuh yang normal. Perubahan pada eliminasi dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan bagian tubuh yang lain. Karena fungsi usus tergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola eliminasi dan kebiasaan masing-masing orang berbeda.
Klien sering meminta pertolongan dari perawat untuk memelihara kebiasaan eliminasi yang normal. Keadaan sakit dapat menghindari mereka sesuai dengan program yang teratur. Mereka menjadi tidak mempunyai kemampuan fisik untuk menggunakan fasilitas toilet yang normal ; lingkungan rumah bisa menghadirkan hambatan untuk klien dengan perubahan mobilitas, perubahan kebutuhan peralatan kamar mandi. Untuk menangani masalah eliminasi klien, perawata harus mengerti proses eliminasi yang normal dan faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi Eliminasi produk sisa pencernaan yang teratur merupakan aspek penting untuk fungsi normal tubuh. Perubahan eliminasi dapat menyebabkan masalah pada sistem gastrointestinal dan system tubuh lainnya.

PENCERNAAN NORMAL DAN ELIMINASI
Saluran gastrointestiral ( GI ) merupakan serangkaian organ muscular berongga yang dilapisi oleh membrane mukosa ( selaput lendir ). Tujuan kerja organ ini ialah mengabsorpsi cairan dan nutrisi, menyiapkan makanan untuk diabsorpsi dan digunakan oleh sel – sel tubuh, serta menyediakan tempat penyimpanan fese sementara. Fungsi utama system GI adalah membuat keseimbangan cairan. GI juga menerima banyak sekresi dari organ – organ, seperti kandung empedu dan pancreas. Setiap kondisi yang secara serius mengganggu absorpsi atau sekresi normal cairan GI, dapat menyebabkan ketidakseimbangan cairan.

Faktor eliminasi fekal:
1. Usia 
Perubahan dalam tahapan perkembangan dalam mempengaruhi status eliminasi terjadi disepanjang kehidupan. Seorang bayi memiliki lambung yang kecil dan lebih sedikit menyekresi enzim pencernaan. Beberapa makanan, seperti zat pati yang kompleks, ditoleransi dengan buruk. Bayi tidak mampu mengontrol defekasi karana kurangnya perkembangan neuromuskolar. Perkembangan ini biasanya tidak terjadi sampai 2 sampai 3 tahun. Pertumbuhan usus besar terjadi sangat pesat selama masa remaja. Sekresi HCL meningkat khususnya pada anak laki-laki. Anak remaja biasanya mengkonsumsi makana dalam jumlah lebih besar. Sistem GI pada lansia sering mengalami perubahan sehingga merusak proses pencernaan dan eliminasi.
Beberapa lansia mungkin tidak lagi memiliki gigi sehingga mereka tidak mampu mengunyah makanan dengan baik. Makanan yang memasuki saluran GI hanya dikunyah sebagian dan tidak dapat dicerna karena jumlah enzim pencernaan didalam saliva dan volume asam lambung menurun seiring dengan proseas penuaan. Ketidakmampuan untuk mencerna makanan yang mengandung lemak mencerminkan terjadinya kehilangan enzim limpase. 
2. Diet
Asupan makanan setiap hari secara teratur membantu mempertahankan pola peristaltic yang teratur di dalam kolon. Makanan yang dikonsumsi individu mempengaruhi eliminasi. Serat, residu makanan yang tidak dapat dicerna, memungkinkan terbentuknya masa dalam materi feses. Makanan pembentuk masa mengabsorbsi cairan sehingga meningkatkan masa feses. Dinding usus teregang, menciptakan gerakan peristaltic dan menimbulkan reflex defekasi. Usus bayi yang belum matang biasanya tidak dapat mentoleransi makanan berserat sampai usianya mencapai beberapa bulan. Dengan menstimulasi peristaltic, masa makanan berjalan dengan cepat melalui usus, mempertahankan feses tetap lunak. Makanan-makanan berikut mengandung serat dalam jumlah tinggi (masa).
i. Buah-buahan mentah (apel,jeruk)
ii. Buah-buahan yang diolah (prum,apricot)
iii. Sayur-sayuran (bayam,kangkung,kubis)
iv. Sayur-sayuran mentah (seledri,mentimun)
v. Gandum utuh (sereal, roti)
Mengkonsumsi makanan tinggi serat meningkatkan kemungkinan normalnya pola eliminasi jika factor lain juga normal. Makanan yang menghasilkan gas, seperti bawang, kembang kol, dan buncis juga menstimulasi peristaltic. Gas yang dihasilkan membuat dinding usus berdistensi , meningkatkan motilitas kolon. Beberapa makanan pedas dapat meningkatkan peristaltic , tetapi juga dapat menyebabkan pencernaan tidak berlangsung dan feses menjadi encer.
Beberapa jenis makanan, seperti susu dan produk-produk susu, sulit atau tidak mungkin dicerna oleh beberapa individu. Hal ini disebabkan oleh intoleransi laktosa. Laktosa, suatu bentuk karbohidrat sederhana yang ditemukan di dalam susu, secara normal dipecah oleh enzim lactase. Intoleransi terhadap makana tertentu dapat mengakibatkan diare, distensi gas, dank ram. 
3. Asupan Cairan
Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang menyebabkan kehilangan cairan (seperti muntah) mempengaruhi karakter feses. Cairan mengencerkan isi usus, memudahkannya bergerak melalui kolon. Asupan cairan yang menurun memperlambat pergerakan makanan yang melalui usus. Orang dewasa harus minum 6 sampai 8 gelas (1400 sampai 2000ml) cairan setiap hari. Minuman ringan yang hangat dan jus buah memperlunak feses dan meningkatkan peristaltic. Konsumsi susu dalam jumlah besar dapat memperlambat peristaltic pada beberapa individu dan menyebabkan konstipasi.
4. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik meninkatkan peristaltic, sementara imobilisasi menekan motilitas kolon. Ambulasi dini setelah klien menderita suatu penyakit dianjurkan untuk meningkatkan dipertahankannya eliminasi normal
Upaya mempertahankan tonus otot rangka, yang digunakan selama proses defekasi, merupakan hal yang penting. Melemahnya otot-otot dasar panggul dan abdomen merusak kemampuan individu untuk meningkatkan tekanan intraabdomen dan untuk mengontrol sfingter eksterna. Tonus otot dapat melemah atau hilang akibat penyakit yang berlangsung dalam jangka waktu lama atau penyakit neurologis yang merusak transmisi saraf.
5. Faktor Psikologis
Fungsi dari hampir semua sistem tubuh dapat mengalami gangguan akibat stress emosional yang lama. Apabila individu mengalami kecemasan, ketakutan, atau marah, muncul respons stress, yang memungkinkan tubuh membuat pertahanan. Untuk menyediakan nutrisi yang dibutuhkan dalam upaya pertahanan tersebut, proses pencernaan dipercepat dan peristaltic meningkat. Efek samping peristaltic yang meningkat antara lain diare dan distensi gas. Apabila individu mengalami depresi, sistem saraf otonom memperlambat impuls saraf dan peristaltic dapat menurun.
Sejumlah penyakit pada saluran GI dapat dikaitkan dengan stress. Penyakit ini meliputi colitis ulseratif, ulkus lambung, dan penyakit crohn. Upaya penelitian berulang yang dilakukan sejak lama telah gagal membuktikan mitos bahwa penyebab klien mengalami penyakit tersebut adalah karena memiliki kondisi psikopatologis. Namu, ansietas dan depresi mungkin merupakan akibat dari masalah kronik tersebut (cooke,1991)
6. Kebiasaan pribadi
Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi usus. Kebanyakan individu merasa lebih mudah melakukan defekasi dikamar mandi mereka sendiri pada waktu yang paling efektif dan paling nyaman bagi mereka. Jadwal kerja yang sibuk dapat mengganggu kebiasaan dan mengakibatkan perubahan seperti konstipasi. Individu harus mencari waktu terbaik untuk melaksanakan eliminasinya. Reflex gastrokolik adalah reflex yang paling mudah distimulasi untuk menimbulkan defekasi setelah sarapan.
7. Posisi Selama Defekasi
Posisi jongkok merupakan posisi yang normal saat melakukan defekasi. Toilet modern dirancang untuk memfasilitasi posisi ini, sehingga memungkinkan individu untuk duduk tegak ke arah depan, mengeluarkan tekanan intraabdomen dan mengontraksi otot-otot pahanya. Namun, klien lansia atau individu yang menderita penyakit sendi, seperti artritis, mungkin tidak mampu bangkit dari tempat duduk tpilet memampukan klienuntuk bangun dari posisi duduk di toilet tanpa bantuan. Klien yang mengguanakan alat tersebut dan individu yang berposter pendek, mungkin membutuhkan pijakan kaki yang memungkinkan ia menekluk pinggulnya dengan benar.
Untuk klien imobilisasi di tempat tidur, defekasi seringkali dirasakan sulit. Posisi telentang tidak memungkinkan klien mengontraksi otot-otot yang digunakan selama defekasi. Membantu klien ke posisi duduk yang lebih normal pada pispot. Akan meningkatkan kemampuan defekasi.
8. Nyeri
Dalam kondisi normal, kegiatan defekasi tidak menimbulkan nyeri. Namun, pada sejumlah kondisi, termasukhemoroid, bedah rectum, fistula rectum, bedah abdomen, dan melahirkan anak dapat menimbulkan rasa tidak nyaman ketika defekasi. Pada kondisi-kondisi seperti ini, klien seringkali mensupresi keinginanya untuk berdefekasi guna menghindari rasa nyeri yang mungkin akan timbul. Konstipasi merupakan masalah umum pada klien yang merasa nyeri selama defekasi.
9. Kehamilan
Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan dan ukuran fetus, tekanan diberikan pada rectum. Obsetruksi semenmtara akibat keberadaan fectus mengganggu pengeluaran feses. Konstipasi adalah masalah umum yang muncul pada trimester terakhir. Wanita hamilselama defekasi dapat menyebabkan terbentukannya hemoroid yang permanen.

10. Pembedahan dan Anestesia
Agen anestesi yang digunakan selama proses pembedahan, membuat gerakan peristaltic berhenti untuk sementara waktu. Agens anestesi yang dihirup menghambat impuls saraf parasimpatis ke otot usus. Kerja anestesi tersebut memperlambat atau menghentikan gelombang peristaltic. Klien yang menerima anestesi local atau regional beresiko lebih kecil untuk mengalami perubahan eliminasi karena aktivitas usus hanya dipengaruhi sedikitt atau bahkan tidak dipengaruhi sama sekali.
Pembedahan yang melibatkan manipulasi usus secara langsung, sementara akan menghentikan gerakan peristaltic. Kondisi ini disebut ileus paralitik yang biasanya berlangsung sekitar 24 sampai 48 jam. Apabila klien tetap tidak aktif atau tidak dapat makan setelah pembedahan, kembalinya fungsi normal usus dapat terhambat lebih lanjut.
11. Obat-obatan
Obat-obatan untuk meningkatkan defekasi telah tersedia . laksatif dan katartik melunakkan feses dan meningkatkan peristaltic. Waupun sama, kerja laksatif lebih ringan dari pada katartik. Apabila digunakan dengan benar , laktasif dan katartik mempertahankan pola eliminasi normal dengan aman. Namun, penggunaan katartik dalam jangka waktu lama menyebabkan usus besar kehilangan tonus ototnya dan menjadi kurang responsive terhadap stimulasi yang diberikan oleh laksatif . penggunaan laksatif yang berlebihan juga dapat menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Minyak mineral, sebuah laksatif umum, menurunkan absorpsi vitamin yang larut dalam lemak. Laksatif dapat mempengaruhi kemajuan kerja obat lain dengan mengubah waktu transit(missal waktu obat berada di saluran GI).
Obat-obatan seperti disiklomin HCL (Bentyl) menekan gerakan peristaltic dan mengobati diare. Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat mengganggu eliminasi. Obat analgesic narkotik menekan gerakan peristaltic. Opiat umumnya menyebabkan konstipasi. Obat-obatan antikolinergik, seperti atropin, atau glikopirolat (robinul), menghambat sekresi asam lambung dan menekan motilitas saluran GI. Walupun bermanfaat dalam mengobati gangguan usus, yakni hiperaktivitas usus, agens antikolinegik dapat menyebabkan konstipasi, banyak antibiotik menyebabkan diare dengan menggangu flora bakteri normal didalam saluran GI. Apabila diare dan kram abdomen yang terkait dengan diare semakin parah, obat-obatan yang diberikan kepada klien mungkin perlu diubah. Intervensi keperawatan dapat digunakan untuk diare osmotic, yang disebabkan oleh obat-obatan hiperosmolar telah diuraikan oleh Fruto(1994)
12. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik, yang melibatkan visualisasi struktur saluran GI, sering memerlukan dikosongkannya isi dibagian usus. Klien tidak diizinkan untuk makan atau minum setelah tengah malam jika esoknya akan dilakukan pemeriksaan, seperti pemeriksaan yang menggunakan barium enema, endoskopi saluran GI bagian bawah atau serangkaian pemereksaan saluran GI bagian atas. Pada kasus penggunaan barium enema atau endoskopi, klien biasanya meneri,ma katartik dan enema. Pengosongan usus dapat mengganggu eliminasi sampai klien dapat makan dengan normal. 
Prosedur pemeriksaan menggunakan barium menimbulkan masalah tambahan. Barium mengeras jika dibiarkan di dalam saluran GI. Hal ini dapat menyebabkan konstipasi atau impaksi usus. Seorang klien harus menerima katartik untuk meningkatkan eliminasi barium setelah prosedur dilakukan. Klien yang mengalami kegagalan dalam mengevakuasi semua barium, mungkin usus klien perlu dibersihkan dengan menggunakan enema. 









Prosedur  Menggunakan Pispot / Urinal
Pengertian
Membantu pasien yang hendak buang air besar dan atau buang air kecil (wanita) di atas tempat tidur
Tujuan Menggunakan Pispot
a.         Membantu pasien dalam upaya memenuhi kebutuhan eliminasi
b.         Mengurangi pergerakan pasien
c.         Mengetahui adanya kelainan feces maupun urine secara visual
Persiapan
a. Persiapan pasien
1.         Mengucapkan salam terapeutik
2.         Memperkenalkan diri
3.         Menjelaskan pada klien dan keluarga tentang prosedur dan tujuan  tindakan yang akan dilaksanakan.
4.         Penjelasan yang disampaikan dimengerti klien/keluarganya
5.         Selama komunikasi digunakan bahasa yang jelas, sistematis serta tidak mengancam.
6.         Klien/keluarga diberi kesempatan bertanya untuk klarifikasi
7.         Privasi  klien selama komunikasi dihargai.
8.         Memperlihatkan kesabaran, penuh empati, sopan, dan perhatian serta respek selama berkomunikasi dan melakukan tindakan
9.         Membuat kontrak (waktu, tempat dan tindakan yang akan dilakukan)
b. Persiapan alat
1.         Pispot
2.         Air dalam botol
3.         Kapas cebok/toilet tissue dalam tempatnya
4.         Sarung tangan bersih, masker dan celemek
5.         Bengkok
6.         Selimut/kain penutup
7.         Perlak dan alasnya
8.         Sampiran
9.         Bel bila tersedia
Prosedur Menggunakan Pispot
a.         Pintu ditutup atau pasang sampiran
b.         Pasang perlak dan alasnya
c.         Cuci tangan, pasang celemek, masker, sarung tangan bersih dan berdiri disisi klien
d.        Pakaian bagian bawah klien ditanggalkan kemudian bagian badan yang terbuka ditutup dengan selimut atau kain penutup yang tersedia
e.         Klien dianjurkan menekuk lututnya dan mengangkat bokong (jika perlu dibantu oleh perawat lain)
f.          Pispot diatur sampai terletak dibawah bokong klien, jika klien tidak dapat melakukannya sendiri, perawat membantu dengan mengangkat bokong klien menggunakan tangan kanan dan tangan kiri mengatur pispot sampai terpasang tepat dan nyaman
g.         Bila klien sudah selesai, kakinya direnggangkan dan selimut dibuka. Anus dan daerah genitalia dibersihkan dengan kapas cebok (tangan kanan menyiram dan tangan kiri membersihkan). Kapas cebok dibuang kedalam pispot. Angkat pispot dan tutup kembali
h.         Bila klien ingin membersihkan sendiri, perawat membantu menyiramkan air
i.           Keringkan bokong klien dengan pengalas
j.           Klien dirapihkan
k.         Alat dirapihkan
l.           Pintu dan sampiran dibuka
m.       Mencuci tangan
n.         Hasil Evaluasi
1.    Pasien tidak merasa lelah dengan pergerakan yang minimal
2.    Pasien merasa nyaman
o.   Melaksanakan dokumentasi :
1.    Catat tindakan yang dilakukan dan hasil serta respon klien pada lembar catatan klien
2.    Catat tgl dan jam melakukan tindakan dan nama perawat yang melakukan dan tanda tangan/paraf pada lembar catatan klien
PROSEDUR PENGGUNAAN URINAL
            Tujuan :
·         Membantu memenuhi eliminasi urine
·         Menampung urine
·         Mengurangi gerakan pasien
            Dilakukan pada pasien :
·         Bedrest atau tidak dapat melakukan sendiri
            Persiapan pasien :
·         Pasien diberi tahu tentang tujuan dan prosedur
·         Psaien dibaringkan dalam posisi sesuai tindakan dan nyaman
            Persiapan alat :
·         Urinal
·         Pengalas
·         Kapas cebok
·         Handscoon (k/p)

Sumber :
The Gau' 2010 : www.muhsakirmsg.blogspot.com/ Eleminasi Urine dan Fekal

1 komentar:

Silahkan Tinggalkan Komentar Untuk Perbaikan Postingan Selanjutnya !