Memang ada pendapat
bahwa sebenarnya Indonesia tidak memerlukan undang-undang tentang advokat,
namun saya berpendapat bahwa UU No. 18/2003 tentang Advokat (5 April 2003)
adalah suatu kemajuan besar dan hal yang positif bagi pengembangan dan kemajuan
advokat Indonesia. Negara-negara ASEAN tetangga kita seperti: Malaysia (Legal
Profession Act, 1976), Filipina (supreme Court Revised Rules of Court, 1986),
Singapore (Legal Profession [Amandement] Act, No. 41 of 1993), dan Thailand
(Advocate Act BE 2528 of 1985) sudah lama mempunyai peraturan yang mengatur
advokat di negara masing-masing. Aturan-aturan mengenai advokat itu tidak
dimaksudkan mengurangi atau menghambat kemandirian profesi, yang punya
kewajiban mulia atau terpandang ini (mobile officium). Sebaliknya aturan-aturan
dalam UU No. 18/2003 harus dibaca dan diartikan, bahwa seorang advokat yang
bernaung di bawah Undang-undang Advokat ini wajib menjalankan peranannya
sebagai seorang advokat profesional dalam kerangka supremasi hukum dan
atura-aturan etika profesi (within the rules of law and standards of
professional ethics).
Dalam kaitan dengan judul orasi ini, perlu dahulu saya kemukakan apa yang saya maksud dengan etika profesi. Tanpa perlu terlibat dengan definisi, maka dapat dikatakan bahwa aturan-aturan tentang etika profesi advokat ini dapat terdiri dari sejumlah asas (canons), aturan tentang tanggung jawab dan standar kerja profesi (professional responsibilities and standards of work), serta aturan penegakan disiplin (disciplinary proceedings). Dalam pembukaannya Kode Etik Advokat Indonesia, menyatakan:
Dalam kaitan dengan judul orasi ini, perlu dahulu saya kemukakan apa yang saya maksud dengan etika profesi. Tanpa perlu terlibat dengan definisi, maka dapat dikatakan bahwa aturan-aturan tentang etika profesi advokat ini dapat terdiri dari sejumlah asas (canons), aturan tentang tanggung jawab dan standar kerja profesi (professional responsibilities and standards of work), serta aturan penegakan disiplin (disciplinary proceedings). Dalam pembukaannya Kode Etik Advokat Indonesia, menyatakan:
“Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau masyarakat, dan terutama kepada dirinya sendiri” (Kode Etik yang disahkan 23 Mei 2002).
Harkristuti
mengaitkan etike profesi dengan kinerja suatu profesi yang mengandung “social
values and responsibilities”, dan karena itu menyamakannya dengan akhlak atau
moral (tentang apa yang benar atau tidak, dan apa yang salah atau buruk). Saya
sendiri sependapat untuk melihat etika profesi advokat sebagai bagian dari ilmu
tentang akhlak (moral science) yang mengatur kewajiban para anggota profesi
advokat terhadap masyarakat, pengadilan, sejawat profesi, dan para kliennya.
Karena luasnya kode etik profesi advokat ini, maka hanya beberapa asas yang saya anggap penting dapat saya sampaikan di sini. Dipilihnya asas tersebut tentu sangat subyektif dan terkait pada penafsiran saya tentang judul orasi yang ditugaskan kepada saya. Apa yang akan saya lakukan adalah mencoba memperjelas pemahaman kita tentang beberapa asas (aturan) dalam KEAI, dengan mengambil perbandingan atau contoh dari luar negeri (a.l. dari American Bar Associaton).
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Masyarakat
Karena luasnya kode etik profesi advokat ini, maka hanya beberapa asas yang saya anggap penting dapat saya sampaikan di sini. Dipilihnya asas tersebut tentu sangat subyektif dan terkait pada penafsiran saya tentang judul orasi yang ditugaskan kepada saya. Apa yang akan saya lakukan adalah mencoba memperjelas pemahaman kita tentang beberapa asas (aturan) dalam KEAI, dengan mengambil perbandingan atau contoh dari luar negeri (a.l. dari American Bar Associaton).
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Masyarakat
Pembukaan Kode Etik Advokat Indonesia 2002 (Selanjutnya KEAI) menyatakan bahwa advokat adalah suatu profesi terhormat (officium mobile). Kata “mobile officium” mengandung arti adanya kewajiban yang mulia atau yang terpandang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Serupa dengan ungkapan yang kita kenal “noblesse oblige”, yaitu kewajiban perilaku yang terhormat (honorable), murah-hati (generous), dan bertanggung jawab (responsible) yang dimiliki oleh mereka yang ingin dimuliakan. Hal ini berarti bahwa seorang anggota profesi advokat, tidak saja harus berperilaku jujur dan bermoral tinggi, tetapi harus juga mendapat kepercayaan publik, bahwa advokat tersebut akan selalu berperilaku demikian.
Dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 2 dan 3 UU Advokat, maka seorang sarjana hukum dapat diangkat sebagai seorang advokat dan akan menjadi anggota organisasi advokat (admission to the bar). Dengan diangkatnya seseorang menjadi advokat, maka ia telah diberi suatu kewajiban mulia melaksanakan pekerjaan terhormat (mobile officium), dengan hak eksklusif: (a) menyatakan dirinya pada publik bahwa ia seorang advokat, (b) dengan begitu berhak memberikan nasihat hukum dan mewakili kliennya, dan (c) menghadap di muka sidang pengadilan dalam proses perkara kliennya. Akan tetapi, jangan dilupakan, bahwa hak dan kewenangan istimewa ini juga menimbulkan kewajiban advokat kepada masyarakat, yaitu: (a) menjaga agar mereka yang menjadi anggota profesi advokat selalu mempunyai kompetensi pengetahuan profesi untuk itu, dan mempunyai integritas melaksanakan profesi terhormat ini, serta (b) oleh karena itu bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti tidak layak menjalankan profesi terhormat ini (to expose the abuses of which they know that certain of their brethren are quilty).
Kewajiban advokat kepada masyarakat tersebut di atas, dalam asas-asas etika (canons of ethics) American Bar Association (1954; selanjutnya ABA) termasuk dalam asas mengenai “Menjunjung Kehormatan Profesi” (upholding the honor of the profession), dimana dikatakan (terjemahan bebas) bahwa advokat itu harus selalu berusaha menjunjung kehormatan dan menjaga wibawa profesi dan berusaha untuk tidak saja menyempurnakan hukum namun juga penyelenggaraan sistem peradilannya (the administration of justice).
Bagian dari kewajiban advokat kepada masyarakat, adalah telah memberi bantuan jasa hukum kepada mereka yang secara ekonomi tidak mampu (miskin). Dalam KEAI Pasal 3 dinyatakan bahwa seorang advokat “tidak dapat menolak dengan alasan ... kedudukan sosial” orang yang memerlukan jasa hukum tersebut, dan juga di Pasal 4 kalimat: “mengurus perkara cuma-cuma” telah tersirat kewajiban ini. Dan asas ini dipertegas lagi dalam Pasal 7 KEAI alinea 8: “... kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi ornag yang tidak mampu”. Asas etika ini dalam ABA dikenal sebagai “Kewajiban Mewakili Orang Miskin” (duty to represent the indigent). Meskipun di Indonesia telah ada lembaga-lembaga yang membantu kelompok ekonomi lemah ini, khususnya dengan nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH atau yang serupa) dan Biro Bantuan Hukum (BBH atau yang serupa), namun kewajiban advokat atau kantor advokat memberi jasa hukum kepada klien miskin, tetap harus diutamakan oleh profesi terhormat ini. Mengurus perkara “cuma-cuma” tidak saja untuk perkara pidana (criminal legal aid) tetapi juga untuk perkara perdata (civil legal aid). Dengan adanya di Indonesia lingkungan peradilan tatausaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer, maka tentunya bantuan hukum ini harus juga mencakup perkara-perkara dalam bidang peradilan tersebut. Problematik yang mungkin akan ditemukan dalam menegakkan asas etika ini adalam pengertian “miskin”. Sebagai saran ingin diajukan di sini agar dalam organisasi profesi advokat juga terdapat bagian yang mengatur tentang bantuan hukum yang bersifat Pro Bono dan Public Interest.
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Pengadilan
Seorang advokat (counsel) adalah seorang “pejabat pengadilan” (officer of the court) apabila dia melakukan tugasnya di pengadilan. Oleh karena itu seorang advokat harus mendukung kewenangan (authority) pengadilan dan menjaga kewibawaan (dignity) sidang. Untuk memungkinkan keadaan ini, maka advokat harus patuh pada aturan-aturan sopan santun (decorum) yang berlaku dalam melaksanakan tugasnya dan menunjukkan sikap penghargaan profesional (professional respect) kepada hakim, advokat lawan (atau jaksa/penuntut umum), dan para saksi. Kadang-kadang hal ini tidak mudah, dua contoh saya ajukan di sini:
(a) Advokat yang baik berkewajiban untuk protes secara kuat, apabila dia berpendapat bahwa pandangan atau pendapat (majelis) hakim keliru dalam menerapkan hukum acara (misalnya mengenai pembuktian atau saksi), namun demikian begitu (majelis) hakim telah memberi keputusan, maka advokat harus menerimanya. Tentu dia tetap berhak untuk mempergunakan upaya hukum yang tersedia, misalnya mengajukan banding.
(b) Ada kemungkinan seorang advokat mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang jauh lebih dibanding (majelis) hakim. Sehingga sering sukar baginya untuk menahan diri melihat sikap dan putusan (majelis) hakim yang dianggapnya keliru. Tetapi juga di sini seorang advokat harus menjaga disiplin dirinya dan menahan diri untuk dapat tetap menjaga sopan santun sidang. Putusan (majelis) hakim harus ditaati, bagaimanapun dirasakan keliru dan tidak adil. Cara mengatasinya adalah hanya melalui upaya hukum yang tersedia.
Apabila seorang advokat tidak dapat mengendalikan dirinya dalam sidang, maka dia dapat ditegur secara keras oleh (majelis) hakim. Di negara-negara dengan “common law system” advokat ini dapat dituduh melakukan “contempt of court” (pelecehan pengadilan). Apakah keadaan yang diuraikan di atas termasuk dalam ketentuan KEAI, Pasal 3 alinea 8 “ ... harus bersikap sopan terhadap semua pihak, namun ...?” Kiranya Dewan Kehormatan Advokat akan menghadapi pertanyaan ini di kemudian hari.
“Contempt of court” di negara-negara Anglo-Saxon juga dipergunakan terhadap advokat yang mempergunakan media cetak atau media lainnya untuk memberikan pendapat tentang kasusnya, sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijzde). Alasannya adalah bahwa ucapan advokat bersangkutan dapat menganggu jalannya peradilan (interfere with a fair trial and prejudice the due administration of justice – Canon 20 ABA). Dalam Pasal 8 KEAI alinea 6 memang ada asas (ketentuan) yang tidak membenarkan advokat mempergunakan media massa untuk mencari publisitas. Tetapi contoh di atas untuk “contempt of court” adalah berbeda. Kesimpulan saya adalah bahwa KEAI belum mengatur kemungkinan adanya pelecehan terhadap pengadilan yang dilakukan seorang advokat dengan memperngaruhi pengadilan melalui media massa (obstruction of justice).
Dalam hal kewajiban advokat kepada pengadilan, ABA canon 22 menyatakan bahwa perilaku advokat di muka sidang pengadilan dan dengan para teman sejawatnya harus bercirikan “keterbukaan” (candor, frankness) dan “kejujuran” (fairness). Inti dari asas ini adalah melarang advokat berperilaku curang (mislead, deceive)terhadap (majelis) hakim dan advokat lawannya. Memang kewajiban advokat mempunyai dua sisi: dia berkewajiban untuk loyal (setia) pada kliennya, tetapi juga wajib beritikad baik dan terhormat dalam berhubungan dengan pengadilan. Yang pertama adalah “the duty of fidelity” kepada kliennya dan ini belum ada dalam Pasal 4 KEAI tentang “hubungan (advokat) dengan klien”. Kewajiban kepada pengadilan tersebut di atas adalah “the duty of good faith” dan “the duty of honorable dealing”. Menurut pendapat saya KEAI juga harus menyediakan suatu bab khusus tentang hubungan advokat dengan pengadilan. Bab baru ini harus berbeda dengan bab VI KEAI yang mengatur tentang “cara bertindak menangani perkara”.
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Sejawat Profesi
Bab IV KEAI mengatur asas-asas tentang hubungan antar teman sejawat advokat. Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam kegiatan menjalankan profesi sebagai suatu usaha, maka persaingan adalah normal. Namun persaingan (competition) ini harus dilandasi oleh “ ... sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling mempercayai” (KEAI Pasal 5 alinea 1). Apalagi dalam persaingan melindungi dan mempertahankan kepentingan klien, sering antara para advokat, atau advokat dan jaksa/penuntut umum, terjadi “pertentangan” (contest). Sering pula advokat terbawa oleh “rasa-marah” (ill-feeling) antar klien mereka. Kejadian terakhir ini harus dicegah, permusuhan yang mungkin ada di antara klien-klien kedua belah pihak tidak boleh mempengaruhi para advokat di dalam perilakunya. Suatu ungkapan mengatan “Do as adversaries do in law: strive mightily, but eat and drink as friends”.
Alinea 4 dari Pasal 5 KEAI merujuk lepada penarikan atau perebutan klien. Dalam bahasa ABA ini dinamakan “encroaching” atau “trespassing”, secara paksa masuk dalam hak orang lain (teman sejawat advokat). Secara gambalng dikatakan adanya “obligation to refrain from deliberately stealing each other’s clients”. Bagaimana dalam praktik nanti Dewan Kehormatan KEAI akan mendefinisikan “stealing of clients” ini? Bagaimana akan ditafsirkan “menarik atau merebut klien” itu? Kita harus menyadari bahwa adalah hak klien untuk menentukan siapa yang akan memberinya layanan hukum; siapa yang akan mewakilinya; atau siapa advokatnya (it is for the client to decide who shall represent him).
Masalah lain dalam hubungan antar advokat ini adalah tentang penggantian advokat. Advokat lama berkewajiban untuk menjelaskan pada klien segala sesuatu yang perlu diketahuinya tentang perkara bersangkutan. Di sini perlu diperhatikan apa yang diatur dalam Pasal 4 alinea 2 KEAI tentang pemberian keterangan oleh advokat yang dapat menyesatkan kliennya. Advokat baru sebaiknya menghubungi advokat lama dan mendiskusikan masalah perkara bersangkutan dan perkembangannya terakhir. Yang perlu diperhatikan advokat baru adalah, bahwa klien telah benar-benar mencabut kuasanya kepada advokat lama dan klien juga telah memenuhi kewajibannya pada advokat lama (lihat alinea 5 dan 6, Pasal 5 KEAI).
Hal yang tidak boleh dilakukan seorang advokat adalah berkomunikasi atau menegosiasi maslah perkara, langsung dengan seseorang yang telah mempunyai advokat, tanpa kehadiran advokat orang ini. Asas ini tercantum dalam Canon 9 ABA. Namun demikian, asas ini tidak berlaku untuk mewawancarai saksi (-saksi) dari pihak lawan dalam berperkara (lihat alinea 5 dan 6, Pasal 7 KEAI).
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Klien
Advokat adalah suatu profesi terhormat (officium mobile) dan karena itu mendapat kepercayaan penuh dari klien yang diwakilinya. Hubungan kepercayaan ini terungkap dari kalimat “the lawyer as a fiduciary” dan adanya “the duty of fidelity” para advokat terhadap kliennya. Akibat dari hubungan kepercayaan dan kewajiban untuk loyal pada kliennya ini, maka berlakulah asas tentang kewajiban advokat memegang rahasia jabatan (lihat Pasal 4 alinea 8 KEAI).
Seorang advokat wajib berusaha memperoleh pengetahuan yang sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya tentang kasus kliennya, sebelum memberikan nasihat dan bantuan hukum. Dia wajib memberikan pendapatnya secara terus terang (candid) tentang untung ruginya (merus) perkara yang akan dilitigasi dan kemungkinan hasilnya. Dalam canon 8 ABA ini dinamakan “duty to give candid advice”. Sedang dalam KEAI diperingatkan agar advokat “tidak ... memberikan keterangan yang menyesatkan” dan “tidak ... menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang” (Pasal 4 alinea 2 dan 3).
Salah satu tugas utama dari seorang advokat adalah menjaga agar dirinya tidak menerima kasus dari klien yang menimbulkan “pertentangan atau konflik kepentingan” (conflicting interest). Terutama dalam kantor hukum yang mempekerjakan sejumlah besar advokat, maka sebelum menerima sebuah perkara, nama calon klien dan lawan calon klien serta uraian singkat kasusnya perlu diedarkan kepada para advokat sekantor. Ketentuan tentang hal ini, yaitu “duty not to represent conflicting interests” belum ada dalam KEAI. Adapun a.l. alasan perlunya ketentuan seperti ini, adalah asas yang telah disebut di atas “the lawyer as a fiduciary” dan “the duty of fidelity”. Kepercayaan klien pada advokat mungkin telah menyebabkan klien memberi advokatnya informasi konfidensial atau pribadi. Kewajiban untuk loyal kepada klien berakibat bahwa advokat dilarang (forbids) menerima perkara yang akan merugikan kepentingan kliennya (forbids the acceptance in matters adversaly affecting any interest of the client).
Mungkin terjadi keadaan, dimana dua (atau lebih) klien lama suatu kantor advokat mempunyai kepentingan dalam perkara yang sama dan kepentingan ini saling bertentangan. Asas pertama yang harus diperhatikan adalah “tidak mewakili kepentingan yang bertentangan (conflicting interests), kecuali dengan persetujuan semua pihak yang berkepentingan (the consent of all concerned)”. Sedangkan asas kedua adalah bahwa “kecuali semua pihak memberi persetujuan, maka hal ini berarti tidak boleh mewakili siapapun dari mereka (he may represent no one of them)”.
Pasal 4 alinea 8 KEAI mengatur tentang kewajiban advokat memegang rahasia jabatan dan “ ... wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antar advokat dan klien”. Pertanyaan yang mungkin harus dijawab oleh Dewan Kehormatan adalah: (a) apakah ketentuan ini berlaku juga bila mempertimbangkan pengaduan tentang “conflicting interests”, dan (b) apakah kewajiban “not to disclose or abuse professional confidence” tetap berlaku setelah klien meninggal dunia?
Masih dalam konteks “rahasia jabatan” (professional confidential information), apakah alinea 8 di atas itu mutlak? Bagaimana dengan informasi bahwa klien akan melakukan kejahatan? Menurut saya, advokat dalam hal ini dapat memberikan informasi “secukupnya” (as may be necessary) untuk mencegah terjadinya kejahatan ataupun melindungi calon korban. Pertanyaan yang lain adalah, bagaimana dengan informasi konfidensial klien yang mempunyai implikasi terhadap keamanan umum (public safety) atau keamanan negara (state security)? Di sini asas “menjaga rahasia jabatan” juga tidaklah mutlak.
Pendapat publik sering keliru menafsirkan kewajiban advokat menerima klien, Pasal3 alinea 1 KEAI memberi hak kepada advokat untuk menolak menerima perkara seorang klien, kecuali atas dasar agama, politik, atau status sosial. Ini dinamakan “the right to decline employment” (canon 31 ABA). Sedangkan dalam alinea 2, dikatakan bahwa tujuan advokat menerima perkara klien adalah terutama “ ... tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan”. Sedangkan dalam Pasal 4 alinea 9 KEAI tidak dibenarkan seorang advokat melepaskan tugas yang diberikan oleh kliennya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien. Ketiga ketentuan di atas harus dibaca bersama. Dalam kasus dimana klien oleh publik telah “dianggap” bersalah, maka berlaku asas “the right of the lawyer to undertake the defense of the person accused of crime, regardless of his personal opinion as to the guilt of the accused” (canon 5 ABA). Dalam hal kemudian advokat ingin mengundurkan diri, maka hal itu harus dilakukan dengan “good cause” (alasan yang wajar). Dikatakan a.l. oleh canon 44 ABA: “the lawyer should non throw up the unfinished task to the detriment of his client, except for reasons of honor or self-resfect”. Apa yang dimaksud dengan ini adalah misalnya: klien memaksa agar advokat melakukan sesuatu yang tidak adil (unjust) atau “immoral” dalam penanganan kasusnya. Apabila dia akan mengundurkan diri, maka advokat harus memberikan kepada klien cukup waktu untuk memilih advokat baru.
Sejauhmana seorang advokat boleh memperjuangkan kepentingan kliennya juga sering disalahtafsirkan oleh publik. Hal yang sangat merugikan dan merusak kehormatan advokat adalah pendapat yang sangat keliru: “it is the duty of the lawyer to do what ever may enable him to succeed in winning his clients cause”. Pendapat yang keliru ini bertentangan dengan sumpah atau janji advokat dalam Pasal 4 ayat (2) UU Advokat, yang a.l. mengatakan bahwa dia (advokat) akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan, serta tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan, atau pejabat lainnya agar memenangkan perkara kliennya. Hal ini dikatakan lebih jelas dalam canon 15 ABA, a.l.: “ ... the lawyer owes entire devotion to the interest of the client ... and the exertion of his utmost learning and ability. But it is ... to be borne in mind that the great trust o fthe lawyer is to be performed within and not without the bounds of law. The office of the attorney does not permit ... for any client, violation of law or any manner of fraud ... he must obey his own conscience and not that of his client”.
Asas terakhir yang saya kutip di atas, adalah bagaimana kita harus menafsirkan dan menjalankan profesi advokat seperti yang diwajibkan oleh asas KEAI, Pasal 3 alinea 7: “Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium mobile)”.
Etika
Profesi dalam Kode Etik
Sebagaimana telah dijelaskan, yang akan dikaji disini adalah etika profesi dibidang hukum, yang terbatas pada etika profesi polisi, etika profesi jaksa, etika profesi hakim, etika profesi advokat, dan etika profesi notaris. Sehubungan dengan etika profesi tercermin dalam Kode Etik masing-masing profesi, demikian pula etika profesi dilingkungan profesi bidang hukum dapat dilihat pada Kode Etiknya. Oleh karena itu focus perhatian kita tujukan pada Kode Etik Polisi., Kode Etik Jaksa, Kode Etik Hakim, Kode Etik Advokat, dan Kode etik notaris. Ini semua merupakan Kode Etik Profesi Hukum yang disebut juga Professional Legal Ethic.
Perlu dipahami pengertian kode etik itu sendiri sebelum membicarakan setiap kode etik masing-masing profesi. Kode berarti tulisan, tanda-tanda, kata-kata yang disepakati untuk maksud-maksud tertentu. Sedangkan arti kata Etik sebagaimana sudah dijelaskan dimuka. Arti Kode Etik adalah norma-norma dan asas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu. sebagai landasan ukuran tingkah laku (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Disini dapat dipahami kode etik itu berlaku untuk kelompok tertentu, seperti kelompok profesi Polisi, Jaksa Hakim, dan sebagainya, Dan fungsinya untuk mengukur tingkah laku ber kaitan dengan profesinya, bagaimana pelaksanaan profesinya itu baik atau jelek, benar atau salah, sudah yang seharusnya atau tidak.
Apa pengertian kode etik menurut istilah, diajukan penjelasan dari Ig. wursanto, Soebjakto sebagaimana dikutip oleh Ign. Ridwan Widyadharma (1991).
Kode Etik merupakan
aturan-aturan susila, atau sikap akhlak yang ditetapkan bersama dan ditaati
bersama oleh para anggota yang tergabung dalam suatu organisasi (organisasi
profesi). Oleh karena itu kode etik profesi merupakan suatu bentuk persetujuan
bersama, yang timbul secara murni dari diri pribadi para anggotanya.
Jadi Kode etik merupakan serangkaian ketentuan
dan peraturan yang dise-pakati bersama guna mengatur tingkah laku para anggota
organisasi. Sedangkarn Soebjakto mengemukakan, bahwa etika setiap profesi
tercermin dari Kode etiknya. Kode etik tersebut berupa suatu ikatan, suatu
aturan (tata), atau norma yang harus diindahkan (kaidah) yang berisi
petunjuk-petunjuk kepada para anggota organisasinya, tentang larangan-larangan
yaitu apa yang tidak boleh diperbuat atau dilak.ukan oleh mereka, tidak saja
dalam menjalankan profesinya, tetapi kadang-kadang juga menyangkut tingkah laku
mereka pada umumnya dalam masyarakat. Adapun yang menjadi tujuan diadakannya
kode etik profesi adalah :
1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi
2. Untuk menjaga atau memelihara kesejahteraan para anggotanya dengan mengadakan larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang akan merugikan kesejahteraan materiil para anggotanya.
Etika Profesi, Ilmu Pengetahuan, dan Hukum
Manifestasi konkrit dari suatu kode etik adalah terlaksananya pedoman atau tuntunan tingkah laku yang sudah digariskan suatu kode etik pada profesi. Pelaksanaan suatu profesi yang merupakan karya pelayanan masyarakat, dengan begitu menjadi satu dengan pergaulan hidup masyarakat. Ini rnembawa akibat pelaksanaan etika profesi dalam kode etik tersebut terikat dengan kebudayaan yang berkembang didalam masyarakat.
Kebudayaaan tersebut dalam wujud idiil merupakan keseluruhan ideide, nilai-nilai yang memberikan arah mengendalikan dan mengatur tata kelakuan manusia dalam masyarakat. Perwujudannya ini termasuk yang berupa etika pada umumnya. oleh karena itu etika profesi tidak boleh bertentangan dengan etika pada umumnya, atau etika pada umumnya yang menyangkut profesi mengkristalisasikan diri ke dalam etika profesi (kode etik). Di sarnping itu ke¬budayaan mernpunyai unsur-unsur, diantaranya ilmu pengetahuan. Berdasarkan ini : ilmu pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan, maka penerapan dan perkembangan ilmu penegtahuan terikat dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
Hal tersebut di atas dikaitkan dengan pelaksanaan suatu profesi yang dikehendaki oleh etika profesi mensyaratkan adanya penerapan ilrnu tertentu untuk menyelesaikan / rnemecahkan persoalan-persoalan masyarakat, maka penerapan ilmu Itupun terikat dengan nilai-nilai budaya masyarakat. Jadi pemanfaatan ilmu pengetahuan dalam pelaksanaan profesi harus tidak bertentangan dengan nilai-nilai (etika) dalam kerangka kebudayaan masyarakat, agar profesi yang bersangkutan mendatangkan kemasyakatan masyarakatnya.
Walaupaun dalam ilmu
dalam profesi tertentu memungkinkan, hal ini tidak harus dilaksanakan apabila
etika membatasinya, misalnya; untuk keperluan i1mu da1am pengobatan baru harus
diujicobakan yang paling tepat dilakuakan terhadap manusia, sudah tentu ini
tidak etis bila manusia dijadikan kelinci percotaaan. Dibidang hukum misal;
penyidikan dilakuakn polisi, dalam ilmu kepolisian dituntut keberhasilan
mengungkap setiap kejahatan, dikenal berbagai teknik dalam pemeriksaan untuk
memperoleh keterangan faktanya, maka digunakan cara pemaksanan bahkan
penyiksaan. Tentu hal ini secara etis tidak dapat diterima.
Etika profesi pada dasarnya mengandung nilai-nilai yang memberikan tuntunan tingka laku, demikian juga hukum. Etika profesi dan hukum sebenarnya sama-sama bisa dilihat sebagai bagian dari kebudayaan.
Lebih lanjut apabila
dibandingkan, hukum mempunyai tujuan agar didalam suatu masyarakat terdapat
ketertiban karena hukum menghendaki agar tingkah laku menusia sesuai dengan
aturan hukum yang diterapkan. Sedangkan etika mengejar agar sikap batin manuisa
berada dalam kehendak batiniah yang baik. disini yang dituju bukan terpenuhinya
sikap perbuatan lahiriah akan tetapi sifat batin manuisa yang bersumber pada
hati nurani, karena itu diharapkan terciptanya manuisa berbudi luhur.
Dapat dipertegas
lagi antara hukum dan etika profesi mempunyai persamaan dan perbedaan.
Persamaannya dua-duanya memiliki sifat normatif dan mengandung norma-norma,
norma-norrna etik, srta bersifat mengikat. Disamping itu mempunyai tujuan
sosial yang sama, yaitu agar manusia berbuat baik sesuai dengan norma
masyarakat, dan bagai siapa yang melanggar akan dikenai sanksi. Adapun
perbedaannya, mengenai sanksi da¬lam etika progesi hanya herlaku bagi angota golongan
fungsional tertentu / anggota suatu profesi. Sanksi hukum berlaku untuk semua
orang dalam suatu wilayah tertentu, semua warga negara / masyarakat.
Apabila terjadi pelanggaran dalam etika
profesi ditangani oleh perangkat dalam organisasi profesi yang bersangkutan,
misalnya oleh Majelis Kehormatan. Pelanggaran dalam bidang hukum diselesaikan
oleh lembaga peradilan / pengadilan.Etika mempunyai hubungan dengan hukum, hal
ini dapat dilihat dengan adanya peraturan-peraturan mengenai profesi pada
umumnya mengandung hak-hak yang fundamental dan mempunyai aturan-aturan
mengenai tingkah laku dalam melaksanakan profesinya. Dan ini terwujud dalam
Kode Etik Profesi sebagai keharusan, kewajiban.
Dengan demikian
ketentuan dalam kode etik dapat dikualifikasikan sebagai normatieve etiek yang
mempunyai kaitannya dengan hukum, dan mengandung ketentuan-ketentuan mengenai :
1. Kewajiban pada diri sendiri,
2. Kewajiban pada masyarakat umum,
3. Kewajiban kerekanan,
4. Kewajiban pada orang ataupun profesi yang dilayani.
1. Kewajiban pada diri sendiri,
2. Kewajiban pada masyarakat umum,
3. Kewajiban kerekanan,
4. Kewajiban pada orang ataupun profesi yang dilayani.
Adanya hubungan antara hukum dan etik, seperti mengenai ketentuan etik profesi yang mengharuskan profesi tertentu menyimpan rahasia. Kewajiban menyimpan rahasia ini ada ketentuannya dalam hukum (Pasal 170 KUHAP) yang disebut dengan istilah verschonings recht, dan membocorkan rahasia tersebut merupakan tindak pidana (Pasal 322 KUHP).
Etika profesi dapat dikatakan sebagai perangkat hukum khusus, dengan mendasarkan pada beberapa kenyataan, sepertis 1) pada kasus Adnan Buyung yang diadili atas dasar kode etik advokat mengenai contempt of court, 2) dalam kasus pelanggaran kode etik kedokteran ikut berperannya Majelis Kode Etik Kedokteran, 3) dalam kasus Ad¬vokat Pamuji, S.H. pertimbangan Keputusan MA Reg. No. 02/K/Rup/1987, antara lain dinyatakan : “selama seseorang menyandang sebutan sebagai penasihat hukum, maka terhadapnya diberlakukan hukum umum, juga norma-norma hukum khusus yang tidak tertulis termasuk dengan profesinya” 4) dalam proses peradilan, surat keterangan dokter diakui oleh hakim dalam pemeriksaan karena mengingat kode etik kedokteran.
Hubungan etika profesi dengan hukum juga nampak, apabila terjadi pelanggaran etika profesi yang dapat dikategorikan sebagai tindakan malpraktik yang dilakukan para pemegang profesi. Yang disebut malpraktik dapat difinisikan sebagai professional misconduct or unreaso¬nable lacal of skill., failure of one rendering professi¬onal services to excercise that degree of skill and learning commonly applied under all circumtancres in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury., loss., or damage to the recipient of these services or to those entitled to rely upon them (Black-Muladi 1992).
Ada yang menyebutkan pula bahwa malpraktik pada hakikatnya merupakan perbuatan seseorang yang memiliki suatu profesi akan tetapi menjalankan profesinya itu secara salah, yaitu praktik yang buruk bahkan praktik jahat dari profesinya yang bertentangan dengan tuntutan tanggung-jawab profesinya.
Dengan adanya tindakan pemegang profesi sebagai malpraktik membawa konsekuensi penanganan / penindakan berdasarkan disiplin organisasi profesinya maupun hukum. Dalam hal penindakan menurut hukum meliputi baik dari segi hukum perdata, hukum pidana, maupun hukum administrasi.
Etika Profesi dan Cita Ketuhanan Yang Maha Esa
Pelaksanaan etika profesi menyangkut masalah hati nurani, maka diperlukan integritas moral dari para pemegang profesi. Untuk itu diperlukan penghayatan dan pengamalan agama. Demikian juga masalah etika berkaitan dengan pandangan hidup dan persoalan-persoalan kesusilaan. Pandangan hidup ini dalam kerangka Bangsa Indonesia tidak dapat terlepas dengan Falsafah Pancasila, sehingga sila-¬sila Pancasila harus menaungi tuntunan yang ditentukan dalam etika profesi. Oleh sebab itu pelaksanaan etika profesi merupakan realisasi tingkah laku fungsional profesi yang berketuhanan, berperikemanusiaan, bersemangat persatuan, berkerakyatan dan berkeadilan. Pendek kata unsur agamis menjadi masukan pelaksanaan etika profesi terutama, yang mendasar menyangkut cita Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sistem peradilan pidana dikaitkan dengan agama, perlu kita telaah ketentuan dalam UU No. 14 Tahun 1970, yang menghendaki peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 4). Kemudian hasil putusannya pun disyaratkan mencantumkan tulisan yang berbunyi Demi Keadilan Berdasar Ketuhan Yang Maha Esa (Pasal 197 KUHAP). Hal ini mempunyai hubungan, sebagai landasannya yakni Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Mana Esa, dan Negara menjamin Kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Disini rnemperlihatkan bahwa dalam penegakan hukum, diperlukan masukan-masukan yang bersifat agamis, agar tujuan untuk mencapai kejujuran, keadilan, penghargaan martabat manusia dapat terwujud,
O1eh sebab itu, sehagaimana dikemukakan Bismar Siregar, bahwa membicarakan etika, budaya, dan hukum selalu dikaitkan dengan Pancasila, utamanya sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga dapat dikatakan etika, budaya, dan hukum kita adalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Siregar, 1990 : 10).
Selanjutnya
dijelaskan hal tersebut dapat dihubungkan dengan pengamalan Pancasila, yang
konsekuensi dari adanya sila pertama perwujudannya adalah iman, yang tidak lain
sebagai tauhid, dan merupakan hubungan antara manusia dengan Tuhannya.
Sila-sila dari Pancasila yang keempat lainnya pun, pengamalannya berdasarkan
sila pertama dalam rangka hubungan antar sesama manusia.
Dengan demikian
berbicara tentang Pancasila tidak mungkin berbicara hanya berdasarkan
Pan¬casila, melainkan harus dikaitkan dengan tauhid, yang bagi orang beragama
bukan merupakan keanehan, karena itulah awal imannya, kalau terdapat rasa
keganjilan dan keanehan, mungkin bagi mereka yang be1urn menempatkan agarna
sebagaimana mestinya. Ini diartikan apa pun yang dilakukannya tidak terlepas
sebagai umat yang beragama.
Dalam mekanisme penegakan hukum, para aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, disamping diatur oleh aturan-aturan hukum khususnya Hukum Acara Pidana, juga harus menaati etika profesi. Dalam hal Ini diketenqahkan oleh Soebjakto, bahwa pada hakikatnya etika setiap profesi tercermin dalam kode etiknya. Kode etik ini berupa suatu ikatan, suatu aturan (tata), atau norma yang harus diindahkan (kaidah) yang berisi petunjuk-petunjuk bagi para anggota organisasinya, tantang larangan-larangan yaitu apa yang tidak boleh diperbuat atau dilakukan oleh mereka, tidak saja dalam menjalankan profesinya, tetapi kadang-kadang juga menyangkut tingkah laku mereka pada umumnya dalam masyarakat (Widyadharma, 1991 : 38).
Etika profesi sangat
berkaitan dengan integritas moral, karena kesadaran moral merupakan faktor
penentu agar tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila. Ini akan
membawa akibat timbulnya kesadaran untuk menaati norma-norma yang diharapkan
sesuai dengan tuntutan profesi.
Etika profesi tersebut dikaitkan dengan apa yang te lah disampaikan Bismar Siregar, maka etika profesi pun tidak dapat dilepaskan dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai manifestasi iman yang merupakan esensi sikap keagamaan.
Etika profesi tersebut dikaitkan dengan apa yang te lah disampaikan Bismar Siregar, maka etika profesi pun tidak dapat dilepaskan dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai manifestasi iman yang merupakan esensi sikap keagamaan.
Hal ini dapat diperoleh dengan mengkaji
beberapa Kode etik profesi dari aparat penegak hukum masing-masing, baik
penasihat hukum atau advokat, hakim, jaksa, maupun kepolisian.
Dalam Kode Etik Advokat Indonesia dapat ditemukan ketentuan mengenai Kepribadian Advokat, yang dinyatakan bahwa Advokat Indonesia adalah warga negara yang bertagwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan dalam melakukan tugasnya menjunjung tinggi hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta sumpah jabatannya (Pasal 1 ayat 1.1 ).
Dalam Kode Etik Advokat Indonesia dapat ditemukan ketentuan mengenai Kepribadian Advokat, yang dinyatakan bahwa Advokat Indonesia adalah warga negara yang bertagwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan dalam melakukan tugasnya menjunjung tinggi hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta sumpah jabatannya (Pasal 1 ayat 1.1 ).
Kode Etik Hakim terdapat dalam Keputusan Rapat Kerja Para Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri No. 2 Tahun 1966 Tentang Kode Kehormatan Hakim Dan Majelis Kehormatan Hakim. Dalam keputusan tersebut dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa hakim mempunyai tugas yang luhur menegakkan hukum dan keadilan atas dasar Kebenaran dan kejujuran dengan bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan ditetapkan pula mengenai sifat-sifat hakim yakni hakim harus bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 2a).
Berkaitan dengan Kode Etik bagi para aparat kejaksaan dikenal adanya Doktrin Adhyaksa Tri Krama Adhyaksa Jaksa Agung Repub1ik Indonesia (Surat Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomer : Kep-052/JA/8/1979). Dalam Penjelasan Keputusan tersebut dinyatakan, bahwa yang semuanya itu tugas dan wewenang Jaksa dilandasi oleh peraturan perundang-undangan dan dalam pelaksanaannya dijiwai dengan sikap mental bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia berjiwa Pancasila, dan taat kepada UUD 1945 serta Satya, Adhy, Wicaksana, yang bertujuan untuk keselamatan dan kesejahteraan lahir dan batin bagi Bangsa dan Negara Indonesia, Satya, Adhy, dan Wicaksana itulah yang disebut sebagai Tri Krama Adhyaksa (BAB III).
Makna dari Satya
adalah kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada sesama manusia. Adhy
berarti kesempurnaan dalam bertugas yang berunsur utama pemilikan rasa
tanggung-jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keluarga, dan sesama manusia.
Sedangkan wicaksana mengandung arti bijaksaha dalam tutur kata dan tingkah
laku, khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangan.
Para aparat penegak hukum berperan penting dalam menegakkan kaidah-kaidah hukum pidana, karena dalam kenyataan kadang kala masyarakat mengidentikkan aparat dengan hukum, Sebenarnya dibalik kaidah-kaidah hukum pida¬na itu terkandung konsep-konsep, ide-ide, dan nilai-nilai, yang ini merupakan konkritisasi dari sistem nilai budaya yang bersifat lebih umum / abstrak, yang termasuk dalam budaya hukum yang telah diuraikan dimuka. Sistem nilai budaya dikatakan bersifat lebih abstrak, sebagaimana dikemukakan Koentjaraningrat, disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga sesuatu masyarakat tentanq apa yang dianggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu. pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat (Koentjaraningrat, 1985 : 190).
Sistem nilai budaya tersebut akan menampakkan dalam bentuk yang beraneka-ragam sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Ini tergantung pada gerak saling mempengaruhi antara unsur-unsur budaya, seperti : kesenian, organisasi sosial, ekonomi, agama, manakah yang lebih kuat. Selanjutnya sistem nilai budaya tersebut melalui proses seleksi dengan mempertimbangkan unsur-unsurnya tersebut menjadi nilai-nilai yang dianut oleh kelompok sesuatu masyarakat menjadi pandangan hidup, yang sifatnya lebih konkret. Sehubungan dengan agama, maka dapat kita temukan pandangan hidup suatu masyarakat yang pengaruh agamamya nampak lebih dominan, seperti; masyarakat di Bali : banyak dipengaruhi Agama Hindu, Masyarakat diwilayah Indonesia Timur (Manado) yang dominan adalah pengaruh Agama Kristen, adapun masyarakat Aceh dipengaruhi Agama Islam. Pandangan hidup yang dipengaruhi agama ini akan menciptakan pula sistem nilai budaya yang unsur agamanya Rental, dan ini perlu dipertimbangkan dalam kaidah hukum (aspek subtansial) dan penegakannya (aspek struktural). Apabila tidak, maka akan menimbulkan kegoncangan-kegoncangan bu¬daya karena hukum pun merupa- kan manifestasi dari budaya. Kalau hal ini terjadi hukum tidak akan diterima dalam kerangka budaya masyarakat atau tidak mengakar, dan sudah barang tentu tidak akan mempunyai kekuatan berlaku dalam kenyataannya, walaupun sudah dinyatakan berlaku secara formal.
Seperti telah diuraikan bahwa hukum merupakan konsep-konsep, ide-ide yang masih bersifat abstrak (tetapi yang lebih abstrak lagi adalah sistem nilai budaya), karena be1urn diterapkan pada kasus-kasus konkrit tertentu, dan itu perlu penegakannya. Satjipto Rahardjo menekankan bahwa penegakan hukum tidak lain merupakan penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang bersifat abstrak, sehingga dapat dikatakan penegakan hukum adalah suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide yang abstrak tersebut ke dalam wujud yang nyata. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupa¬kan hakikat penegakan hukum Rahardjo, tanpa tahun : 15). Ide-ide tersebut merupakan nilai-nilai yang tercermin dalam norma-norma hukum, maka secara konsepsional sebagai pengertian penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam norma-norma hukum yang mantab mengejawantah dalam sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan perdamaian pergaulan hidup (Soekanto, 1983 : 2).
Pentingnya budaya
hukum dikaitkan dengan penegakan hukum pidana, maka perlu dicari alternatif
pendekatan yang tidak hanya formal. Disini relevan diajukan pernyataan Satjipto
Rahardjo (1991 : 16), seyogyanya Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum itu
tidak hanya berbicara melalui bahasa perundang-undangan, melainkan juga bahasa
kebudayaan. Isyarat yang dapat ditangkap disini adalah memanfaatkan suatu
pendekatan dalam penegakan hukum yaitu pendekatan kebudayaan. Kebudayaan disini
yang berlandaskan Pancasila, yang berarti kebudayaan atas dasar Sila-sila
Pancasila, utamanya Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian kebudayaan yang
dimaksudkan tidak lain kebudayaan yang tidak meninggal-kan dan justru
mencerminkan nilai-nilai agama.
Sumber :
Wikipedia
The
Gau’ 2010 ; Etika Profesi Advokat ; http://muhsakirmsg.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentar Untuk Perbaikan Postingan Selanjutnya !