BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
AIDS
(acquired immunodeficiency syndrome) merupakan penyakit global yang menjadi
masalah di seluruh dunia. Setiap tahunnya, tanggal 1 Desember diperingati
sebagai hari HIV/AIDS se-dunia. Setiap tahun, kampanye pencegahan HIV/AIDS
biasanya dibarengi dengan pembagian kondom gratis.
Menurut
laporan WHO pada Desember 2002, lebih dari 20 juta jiwa telah meninggal karena
AIDS. Dan sekarang diperkirakan penderita AIDS berjumlah lebih dari 42 juta.
Jumlah ini terus bertambah dengan kecepatan 15.000 pasien per hari. Jumlah
pasien di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara diperkirakan sekitar 5,6 juta.
AIDS
diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia. Pada Januari
2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan
kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni
1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan
dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3
juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah
anak-anak. Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga
memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia
di sana.
Hukuman
sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan
penderita penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman sosial tersebut
juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat
dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).
Di Indonesia
sendiri, berdasarkan data Ditjen PPM & PLP Depkes, sampai dengan November
2003 dilaporkan bahwa jumlah pasien AIDS dan pengidap HIV adalah 3.924 orang.
Bahkan pada tahun 2006, ditemukan tidak kurang dari 2800 kasus.
Dari data
yang beredar didapatkan hasil bahwa penularan yang paling mempengaruhi
peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS adalah meningkatnya angka seks bebas di
kalangan masyarakat terutama remaja yang baru berkembang.
Berdasarkan
hal-hal di atas maka penulis mengambil judul “Penularan HIV melalui Hubungan
Seksual” sebagai judul makalah.
1.2
Tujuan
Tujuan dari
makalah ini adalah untuk mengetahui penularan virus HIV/AIDS melalui hubungan
seksual
1.3
Manfaat
Makalah ini
bertujuan menambah wawasan tentang bagaimana penularan HIV/AIDS melalui
hubungan seksual.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
AIDS
Acquired
Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat
AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena
menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV.
Human
Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah
kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan
terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan
yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini
belum benar-benar bisa disembuhkan.
2.2
HIV
HIV adalah
retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia,
seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofag, dan sel dendritik. HIV merusak
sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan
agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T
CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (µL)
darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi
yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten
klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang
diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah serta adanya
infeksi tertentu.
2.3
Materi Genetik HIV
HIV memiliki
diameter 100-150 nm dan berbentuk sferis (spherical) hingga oval karena bentuk
selubung yang menyelimuti partikel virus (virion). Selubung virus berasal dari
membran sel inang yang sebagian besar tersusun dari lipida. Di dalam selubung
terdapat bagian yang disebut protein matriks.
Bagian
internal dari HIV terdiri dari dua komponen utama, yaitu genom dan kapsid.
Genom adalah materi genetik pada bagian inti virus yang berupa dua kopi utas
tunggal RNA. Sedangkan, kapsid adalah protein yang membungkus dan melindungi
genom.
Berbeda
dengan sebagian besar retrovirus yang hanya memiliki tiga gen (gag, pol, dan
env), HIV memiliki enam gen tambahan (vif, vpu, vpr, tat, ref, dan nef).
Gen-gen tersebut disandikan oleh RNA virus yang berukuran 9 kb. Kesembilan gen
tersebut dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan fungsinya, yaitu gen
penyandi protein struktural (Gag, Pol, Env), protein regulator (Tat, Rev), dan
gen aksesoris (Vpu hanya pada HIV-1, Vpx hanya pada HIV-2; Vpr, Vif, Nef).
2.4
Siklus Hidup HIV
Seperti
virus lain pada umumnya, HIV hanya dapat bereplikasi dengan memanfaatkan sel
inang. Siklus hidup HIV diawali dengan penempelan partikel virus (virion)
dengan reseptor pada permukaan sel inang, di antaranya adalah CD4, CXCR5, dan
CXCR5. Sel-sel yang menjadi target HIV adalah sel dendritik, sel T, dan
makrofaga. Sel-sel tersebut terdapat pada permukaan lapisan kulit dalam
(mukosa) penis, vagina, dan oral yang biasanya menjadi tempat awal infeksi HIV.
Selain itu, HIV juga dapat langsung masuk ke aliran darah dan masuk serta
bereplikasi di noda limpa.
Setelah
menempel, selubung virus akan melebur (fusi) dengan membran sel sehingga isi
partikel virus akan terlepas di dalam sel. Selanjutnya, enzim transkriptase
balik yang dimiliki HIV akan mengubah genom virus yang berupa RNA menjadi DNA.
Kemudian, DNA virus akan dibawa ke inti sel manusia sehingga dapat menyisip
atau terintegrasi dengan DNA manusia. DNA virus yang menyisip di DNA manusia
disebut sebagai provirus dan dapat bertahan cukup lama di dalam sel. Saat sel
teraktivasi, enzim-enzim tertentu yang dimiliki sel inang akan memproses
provirus sama dengan DNA manusia, yaitu diubah menjadi mRNA. Kemudian, mRNA
akan dibawa keluar dari inti sel dan menjadi cetakan untuk membuat protein dan
enzim HIV. Sebagian RNA dari provirus yang merupakan genom RNA virus. Bagian
genom RNA tersebut akan dirakit dengan protein dan enzim hingga menjadi virus
utuh. Pada tahap perakitan ini, enzim protease virus berperan penting untuk
memotong protein panjang menjadi bagian pendek yang menyusun inti virus.
Apabila HIV utuh telah matang, maka virus tersebut dapat keluar dari sel inang
dan menginfeksi sel berikutnya. Proses pengeluaran virus tersebut melalui
pertunasan (budding), di mana virus akan mendapatkan selubung dari membran
permukaan sel inang.
2.5
Penularan Penyakit HIV
HIV hanya
dapat hidup di dalam tubuh manusia yang hidup dan hanya bertahan beberapa jam
saja di luar tubuh.
HIV tidak
dapat menular melalui air ludah, air mata, muntahan, kotoran manusia dan air
kencing, walaupun jumlah virus yang sangat kecil terdapat di cairan ini. HIV
tidak ditemukan di keringat.
HIV tidak
dapat menembus kulit yang utuh dan tidak menyebar melalui sentuhan dengan orang
yang terinfeksi HIV, atau sesuatu yang dipakai oleh orang terinfeksi HIV;
saling penggunaan perabot makan atau minum; atau penggunaan toilet atau air
mandi bergantian.
HIV/AIDS
hanya dapat ditularkan melalui beberapa cara sebagai berikut :
2.5.1
Penularan Melalui Hubungan Seksual
Penularan
(transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan
vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau
membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung
lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko
hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks
oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks
oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan
risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering
terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.
Penyakit
menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan
gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin,
dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan
makrofaga) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika
Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat
kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin
seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga
meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular
seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang
menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.
Transmisi
HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan
pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada
berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma
yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada
air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV
plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV. Wanita lebih
rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi
mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual.
Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang
lebih mematikan.
2.5.2
Penularan Melalui Darah
Alur
penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita
hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan
menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang
terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen), tidak hanya
merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan hepatitis
C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua
infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat
Cina, dan Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan
jarum yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150.
Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi
risiko itu.
Pekerja
fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga
dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi
pada orang yang memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan
universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia
karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO
memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan
melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu,
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam
masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal
untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.
Resiko
penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di
negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun
demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap
darah yang aman dan “antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui
transfusi darah yang terinfeksi”.
2.5.3
Penularan Masa Perinatal
Transmisi
HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa
perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila
tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan
persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses
terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat
penularannya hanya sebesar 1%. Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko
infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban
virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko penularan
sebesar 4%.
2.6
Sistem Tahapan Infeksi
Pada bulan
September tahun 2005 World Health Organization (WHO) mengelompokkan tahapan
infeksi dan kondisi AIDS untuk pasien dengan HIV-1 sebagai berikut :
·
Stadium I: infeksi HIV asimtomatik
dan tidak dikategorikan sebagai AIDS
·
Stadium II: termasuk manifestasi
membran mukosa kecil dan radang saluran pernafasan atas yang berulang
·
Stadium III: termasuk diare kronik
yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah,
dan tuberkulosis.
·
Stadium IV: termasuk toksoplasmosis
otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi.
Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.
BAB III
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
3.1
Pemecahan Masalah
Penyebab
utama banyaknya kasus HIV/AIDS adalah heteroseksual atau hubungan seks bebas
dan penggunaan narkoba suntik (Injection Drug Use/IDU). Dari data yang ada
hampir 90% penyebaran virus HIV/AIDS disebabkan kedua perilaku tsb.
Maraknya
pergaulan bebas (pornografi dan pornoaksi) di kalangan muda-mudi ditambah
dengan kemajuan teknologi semakin mempermudah para muda-mudi untuk mengakses
hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan serba bebas. Tak jarang pacaran yang
terjalin terasa hambar jika belum dibumbui oleh hubungan layaknya hubungan
suami istri atas landasan cinta dan suka sama suka.
Memang
internet memiliki dampak positif bagi kemajuan bangsa. Tapi di sisi lain,
internet juga mampu menghancurkan suatu bangsa jika digunakan untuk kepentingan
negatif. Hampir 100% remaja bahkan anak-anak yang dikategorikan masih di bawah
umur sudah melihat media pornografi seperti dari vcd, internet, tabloid porno
dll.
Pada
prinsipnya, pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah penularan virus AIDS.
Karena penularan AIDS terbanyak adalah melalui hubungan seksual maka penularan
AIDS bisa dicegah dengan tidak berganti-ganti pasangan seksual.
Secara
ringkas, pencegahan dapat dilakukan dengan formula A-B-C yaitu :
·
A adalah abstinensia, artinya tidak melakukan
hubungan seks sebelum menikah.
·
B adalah be faithful, artinya jika
sudah menikah hanya berhubungan seks dengan pasangannya saja.
·
C adalah condom, artinya jika memang
cara A dan B tidak bisa dipatuhi maka harus digunakan alat pencegahan dengan
menggunakan kondom.
Stigma (cap
buruk) sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan pada gilirannya
mendorong munculnya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) bagi orang yang dengan
HIV dan AIDS dan keluarganya. Stigma dan diskriminasi memperparah epidemi
HIV dan AIDS. Mereka menghambat usaha pencegahan dan perawatan dengan
memelihara kebisuan dan penyangkalan tentang HIV dan AIDS seperti juga
mendorong keterpinggiran orang yang hidup dengan HIV dan AIDS dan mereka yang
rentan terhadap infeksi HIV.
Diskriminasi
terjadi ketika pandangan negatif mendorong orang atau lembaga untuk
memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka
akan status HIV seseorang. Contoh-contoh diskriminasi meliputi para staf rumah
sakit atau penjara yang menolak memberikan pelayanan kesehatan kepada orang
yang hidup dengan HIV dan AIDS; atasan yang memberhentikan pegawainya
berdasarkan status atau prasangka akan status HIV mereka; atau
keluarga/masyarakat yang menolak mereka yang hidup, atau dipercayai hidup,
dengan HIV dan AIDS. Tindakan diskriminasi semacam itu adalah sebuah bentuk
pelanggaran HAM.
Stigma dan
diskriminasi yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan efek psikologis berat
tentang bagaimana orang yang hidup dengan HIV dan AIDS melihat diri mereka
sendiri.
Stigma dan
diskriminasi terhadap orang yang hidup dengan HIV dan AIDS disebabkan karena
kurangnya informasi yang benar tentang cara penularan HIV, adanya ketakutan
terhadap HIV dan AIDS, dan fakta AIDS sebagai penyakit mematikan.
3.2
Peran Masyarakat Dalam Penanggulangan HIV/AIDS
Masyarakat
sebagai pengendali kehidupan sosial memiliki fungsi strategis dalam perencanaan
dan penanggulangan HIV/AIDS. Dari anggota masyarakat terkecil (keluarga) hingga
berbagai organisasi/lembaga masyarakat harus ikut berperan aktif dalam
menangani masalah ini.
Peran
strategis masyarakat dalam penanggulangan HIV/AIDS antara lain :
·
Partisipasi aktif para tokoh
masyarakat yang dianggap sebagai panutan masyarakat ikut andil dalam
menjalankan program-program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Sebagai
teladan masyarakat, maka mereka harus menjadi penggerak pertama untuk
menanggulangi HIV/AIDS dan turut menciptakan lingkungan yang kondusif
setidaknya di lingkungan sekitarnya.
·
Memberdayakan lembaga keagamaan dan
adat seoptimal mungkin di tengah masyarakat dengan cara lebih giat mendakwahkan
syiar agama dan akhlakul karimah (akhlak terpuji). Mereka adalah para tokoh
agama yang senantiasa memberikan pemahaman agama kepada masyarakat dan
memotivasi ODHA untuk terus mendekatkan diri kepada Sang Pencipta serta
senantiasa melakukan yang terbaik selama hidupnya.
·
Mengoptimalkan peran Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) agar selalu memberikan yang terbaik bagi masyarakat khususnya
mengenai penanggulangan HIV/AIDS.
·
Memberdayakan peran lembaga
pendidikan (sekolah/perguruan tinggi) sebagai tempat membina anak didiknya
menjadi manusia yang intelektual hendaknya tetap mementingkan nilai moral
agama. Manusia yang berkualitas adalah manusia yang mampu memadukan antara
IPTEK (Ilmu Pengetahuan) dan IMTAK (Iman dan Takwa).
·
Mengoptimalkan peran media massa
baik cetak maupun elektronik mampu membentuk karakter pemikiran masyarakat.
Penyebaran informasi tentang HIV/AIDS dapat diekspos lebih luas dan cepat bila
dibandingkan dengan cara manual (face to face). Informasi mendalam tentang
penanggulangan HIV/AIDS akan sampai ke tangan masyarakat lebih sempurna melalui
media massa karena masyarakat selalu menonton tayangan televisi dan membaca
koran/tabloid.
3.3
Peran Pemerintah Dalam Penanggulangan HIV/AIDS
Pada
negara-negara yang sangat terpengaruh, HIV telah mengurangi harapan hidup
sebanyak lebih dari 20 tahun, memperlambat perkembangan ekonomi, dan
memperburuk kemiskinan rumah tangga.
Di Afrika
Sub-Sahara sendiri, hampir 12 juta anak yang berumur di bawah 18 tahun menjadi
yatim piatu karena epidemi ini.
Di Asia,
yang tingkat infeksinya lebih rendah dari Afrika, HIV menyebabkan kehilangan
produktivitas yang lebih besar daripada penyakit lainnya, dan kemungkinan besar
akan mendorong 6 juta keluarga lagi ke jurang kemiskinan.
Pemerintah
sebagai pihak yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara diharapkan
dapat mengambil kebijakan yang dapat membuat seluruh masyarakat mendapatkan hak
yang sama sebagai manusia terutama bagi para penderita HIV/AIDS yang merasa
dikucilkan dari masyarakat karena penyakit yang dideritanya.
Upaya
nyata yang telah dilakukan oleh pihak pemerintah dalam menanggulangi HIV/AIDS
salah satunya adalah dengan menurunkan biaya obat HIV.
Pada tahun
2000, para pemimpin dunia menyepakati Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) yang
merefleksikan resolusi yang baru. Tujuan Pembangunan Milenium 6 menetapkan
bahwa, selambat-lambatnya tahun 2015, dunia akan menghentikan dan mulai
membalikkan epidemi HIV yang mendunia. Dengan membuat tanggapan HIV sebagai
salah satu prioritas internasional yang penting untuk abad ke-21, para pemimpin
dunia mengakui pentingnya tanggapan atas HIV bagi kesehatan dan kesejahteraan
di masa mendatang dari planet kita yang kian saling terhubung.
Untuk wilayah
Indonesia pada khususnya, Pemerintah telah mendirikan Komisi Penanggulangan
Aids Nasional (KPA) pada tahun 1994 dengan fokus mencegah penyebaran HIV,
menanggapi kebutuhan orang yang hidup dengan HIV/ AIDS, dan mengkoordinasikan
kegiatan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), sektor swasta dan
masyarakat.
Strategi
AIDS Nasional untuk tahun 2003–2007 menekankan peran pencegahan sebagai inti
dari program HIV/AIDS di Indonesia, di samping menyadari adanya kebutuhan yang
mendesak untuk meningkatkan pengobatan, perawatan dan layanan dukungan.
Strategi itu menekankan pentingnya melaksanakan pengawasan yang tepat terhadap
HIV/AIDS dan infeksi menular seksual (IMS); menjalankan riset operasional;
menciptakan lingkungan yang kondusif melalui perundang-undangan, advokasi,
pembangunan kapasitas, dan upaya-upaya anti diskriminasi; serta mempromosikan
keberlanjutan.
3.4
Peran Keluarga Dalam Penanggulangan HIV/AIDS
Keluarga
sebagai anggota masyarakat yang paling kecil memiliki peranan yang amat sangat
penting dalam menanggulangi infeksi HIV/AIDS.
Keluarga
memegang peran utama dalam menjadi pendidik moral terutama orang tua karena
orang tua adalah guru pertama bagi anak-anaknya yang mengajarkan etika dan
moral.
Orang
tua harus peka terhadap problematika yang dihadapi anaknya dan mampu memberikan
solusi terbaik baginya khususnya bagi orang tua yang memiliki anak yang
mengidap HIV/AIDS. Orang tua yang memiliki anak pengidap HIV/AIDS diharapkan
selalu memberikan motivasi positif dan mengevaluasi diri terhadap kehidupan
keluarganya karena bisa jadi awal keburukan anaknya berasal dari kondisi
keluarganya dan senantiasa membantu anaknya setiap saat.
3.5
Pencegahan Penyakit
Tiga jalur
utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah
·
Melalui hubungan seksual
Selama
hubungan seksual, hanya kondom pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi
kemungkinan terinfeksi HIV dan penyakit seksual lainnya serta kemungkinan
hamil. Bukti terbaik saat ini menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim
mengurangi risiko penularan HIV sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang,
walaupun manfaat ini lebih besar jika kondom digunakan dengan benar dalam
setiap kesempatan. Kondom laki-laki berbahan lateks, jika digunakan dengan
benar tanpa pelumas berbahan dasar minyak, adalah satu-satunya teknologi yang
paling efektif saat ini untuk mengurangi transmisi HIV secara seksual dan
penyakit menular seksual lainnya. Pihak produsen kondom menganjurkan bahwa
pelumas berbahan minyak seperti vaselin, mentega, dan lemak babi tidak
digunakan dengan kondom lateks karena bahan-bahan tersebut dapat melarutkan
lateks dan membuat kondom berlubang. Jika diperlukan, pihak produsen
menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air. Pelumas berbahan dasar
minyak digunakan dengan kondom poliuretan.
Kondom
wanita adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan,
yang memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak.
Kondom wanita lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung
terbuka keras berbentuk cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina.
Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap di dalam
vagina — untuk memasukkan kondom wanita, cincin ini harus ditekan. Kendalanya
ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan harganya tidak
terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa
dengan tersedianya kondom wanita, hubungan seksual dengan pelindung secara
keseluruhan meningkat relatif terhadap hubungan seksual tanpa pelindung sehingga
kondom wanita merupakan strategi pencegahan HIV yang penting.
Penelitian
terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan
penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan yang belum
terinfeksi adalah di bawah 1% per tahun. Strategi pencegahan telah dikenal
dengan baik di negara-negara maju. Namun, penelitian atas perilaku dan
epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan keberadaan kelompok
minoritas anak muda yang tetap melakukan kegiatan berisiko tinggi meskipun
telah mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga mengabaikan risiko yang mereka
hadapi atas infeksi HIV. Namun demikian, transmisi HIV antarpengguna narkoba
telah menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah menjadi cukup langka di
negara-negara maju.
Pada bulan
Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji acak terkendali
mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan risiko infeksi HIV pada pria
heteroseksual Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini akan
digalakkan di banyak negara yang terinfeksi HIV paling parah, walaupun
penerapannya akan berhadapan dengan sejumlah isu sehubungan masalah
kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat. Beberapa ahli mengkhawatirkan
bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada laki-laki bersunat, dapat
meningkatkan perilaku seksual berisiko sehingga mengurangi dampak dari usaha
pencegahan ini.
Pemerintah
Amerika Serikat dan berbagai organisasi kesehatan menganjurkan Pendekatan ABC
untuk menurunkan risiko terkena HIV melalui hubungan seksual.
·
Persentuhan (paparan) dengan cairan
atau jaringan tubuh yang terinfeksi.
Pekerja
kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung
tangan lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci tangan, dapat membantu
mencegah infeksi HIV.
Semua organisasi
pencegahan AIDS menyarankan pengguna narkoba untuk tidak berbagi jarum dan
bahan lainnya yang diperlukan untuk mempersiapkan dan mengambil narkoba
(termasuk alat suntik, kapas bola, sendok, air pengencer obat, sedotan, dan
lain-lain). Orang perlu menggunakan jarum yang baru dan disterilisasi untuk
tiap suntikan. Informasi tentang membersihkan jarum menggunakan pemutih
disediakan oleh fasilitas kesehatan dan program penukaran jarum. Di sejumlah
negara maju, jarum bersih terdapat gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum
atau tempat penyuntikan yang aman. Banyak negara telah melegalkan kepemilikan
jarum dan mengijinkan pembelian perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa
perlu resep dokter.
·
Dari ibu ke janin atau bayi selama
periode sekitar kelahiran (periode perinatal).
Penelitian
menunjukkan bahwa obat antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan
formula mengurangi peluang penularan HIV dari ibu ke anak (mother-to-child
transmission, MTCT). Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat
dikerjakan dengan mudah, terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang
terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak mereka. Namun demikian, jika
hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan
dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera
mungkin.
Pada tahun
2005, sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui
penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika. Dari
semua anak yang diduga kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal
di Afrika Sub Sahara.
Walaupun HIV
dapat ditemukan pada air liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi, namun
tidak terdapat catatan kasus infeksi dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan
demikian risiko infeksinya secara umum dapat diabaikan.
BAB IV
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Semua
organisasi pencegahan AIDS menyarankan pengguna narkoba untuk tidak berbagi
jarum dan bahan lainnya yang diperlukan untuk mempersiapkan dan mengambil
narkoba (termasuk alat suntik, kapas bola, sendok, air pengencer obat, sedotan,
dan lain-lain).
Orang perlu
menggunakan jarum yang baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi
tentang membersihkan jarum menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas
kesehatan dan program penukaran jarum. Di sejumlah negara maju, jarum bersih
terdapat gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum atau tempat penyuntikan
yang aman. Banyak negara telah melegalkan kepemilikan jarum dan mengijinkan
pembelian perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa perlu resep dokter.
4.2. Saran
Pemerintah seharusnya
bekerjasama dengan berbagai organisasi
kesehatan menganjurkan Pendekatan ABC untuk menurunkan risiko terkena HIV
melalui hubungan seksual.
·
Persentuhan (paparan) dengan cairan
atau jaringan tubuh yang terinfeksi.
Pekerja
kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung
tangan lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci tangan, dapat membantu
mencegah infeksi HIV.
DAFTAR
PUSTAKA
- Divisions of
HIV/AIDS Prevention
(2003). "HIV and Its
Transmission".
Centers for Disease Control &
Prevention.
Diakses pada 23 Mei 2006.
- Gao, F., Bailes, E., Robertson, D. L.,
Chen, Y., Rodenburg, C. M., Michael, S. F., Cummins, L. B., Arthur, L. O.,
Peeters, M., Shaw, G. M., Sharp, P. M. and Hahn, B. H. (1999). "Origin of
HIV-1 in the Chimpanzee Pan troglodytes troglodytes". Nature 397
(6718): 436–441. PubMed DOI:10.1038/17130.
- UNAIDS (2006). "Overview of
the global AIDS epidemic"
(PDF). 2006 Report on the global AIDS epidemic. Diakses pada 8 Juni
2006.
- Palella, F. J. Jr, Delaney, K. M.,
Moorman, A. C., Loveless, M. O., Fuhrer, J., Satten, G. A., Aschman and D. J.,
Holmberg, S. D. (1998). "Declining morbidity and mortality among patients
with advanced human immunodeficiency virus infection. HIV Outpatient Study
Investigators". N. Engl. J. Med 338 (13): 853–860. PubMed.
- Holmes, C. B., Losina, E., Walensky, R.
P., Yazdanpanah, Y., Freedberg, K. A. (2003). "Review of human
immunodeficiency virus type 1-related opportunistic infections in sub-Saharan
Africa". Clin. Infect. Dis. 36 (5): 656–662. PubMed.
- Dahulu
pernah dinamakan Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), dan sekarang
singkatannya masih digunakan tetapi merupakan kependekan dari Pneumocystis
pneumonia.
- Feldman, C. (2005). "Pneumonia
associated with HIV infection". Curr. Opin. Infect. Dis. 18
(2): 165–170. PubMed.
- The gau’ 2011; Makalah Epidemologi Kesehatan ;
Penularan HIV/Aids Melalui Hubungan Seksual; http://muhsakirmsg.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentar Untuk Perbaikan Postingan Selanjutnya !