Jumat, 15 Februari 2013

Makalah Pembentukan Karakter Bangsa



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang
Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia, sebagai falsafah, ideologi, dan alat pemersatu bangsa Indonesia. Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk. Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa dan negara Indonesia? Kondisi ini dapat terjadi karena perjalanan sejarah dan kompleksitas keberadaan bangsa Indonesia seperti keragaman suku, agama, bahasa daerah, pulau, adat istiadat, kebiasaan budaya, serta warna kulit jauh berbeda satu sama lain tetapi mutlak harus dipersatukan.
Disinilah pentingnya Pancasila sebagai dasar pembentukan Karakter sebuah bangsa.

1.2.   Tujuan Penulisan
1.         Untuk memenuhi salah satu tugas
2.        Untuk mengetahui pembentukan karakter bangsa

1.3.   Metode Penulisan
1.       Metode pengambilan data dari sumber-sumber bacaan
2.      Mencari bahan dari internet
3.      Mengumpulkan informasi

1.4.   Sistematika Penulisan
Di dalam makalah ini, penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai  berikut :
1.       Pendahuluan
2.      Pembahasan
3.      Penutup



BAB II
PEMBAHASAN

2.1.     Pendidikan Pancasila Sebagai Dasar Pembentukan Karakter Bangsa
Pada hakekatnya pendidikan pancasila adalah upaya sadar diri suatu masyarakat dan pemerintah suatu Negara untuk menjamin kelangsungan hidup dan kehidupan generasi penerusnya, selaku warga masyarakat, bangsa dan Negara secara berguna (berkaitan dengan kemampuan spiritual) dan bermakna (berkaitan dengan kemampuan kognitif dan psikomotorik) serta mampu mengantisipasi hari depan mereka yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa, Negara, dan hubungan internasionalnya.
Berdasarkan UU no. 20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, pasal 2 menyatakan bahwa “ pendidikan Nasional Berdasarkan pancasila dan UUD 1945 ”.

2.2.     Jati Diri, Karakter, dan Kepribadian
Jati diri adalah ”diri yang sejati/sejatinya diri”. Secara budaya adalah ”ciri bawaan sejak lahir/merupakan fitrah” yang menunjukkan siapa sebenarnya diri kita secara ”fisik maupun psikologis”, bersifat bawaan sejak lahir (gift), serta merupakan sumber dari watak/karakter dan totalitas kepribadian seseorang.
Karakter adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern of behavior found in an individual or group’. Kamus Besar Bahasa Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata ‘watak’ yang diartikan sebagai: sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat. Dalam risalah ini, dipakai pengertian yang pertama, dalam arti bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang punya kualitas moral (tertentu) yang positif.
Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk.
Peterson dan Seligman, dalam buku ’Character Strength and Virtue, mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Dalam kaitannya dengan kebajikan, Peterson dan Seligman mengidentifikasikan 24 jenis karakter.
Kepribadian, merupakan penampilan (lebih ke psikologis) seseorang yang terpancar dari karakter. Namun penampilan ini belum tentu mencerminkan karakter yang bersangkutan, karena dapat saja tertampilkan sangat bagus tetapi didorong oleh ”kemunafikan”. Dengan demikian untuk mengenal seseorang secara lengkap diperlukan waktu, karena yang terpancar sebagai lingkaran terluar adalah kepribadian yang bisa mengecoh, sementara lingkaran kedua adalah karakter dan lingkaran terdalam adalah jati dirinya. 
Secara visual hubungan antara jatidiri, karakter dan kepribadian dapat digambarkan sebagai berikut:

2.3.    Beberapa manifestasi krisis karakter di Indonesia

Dalam kasus Indonesia, krisis karakter, mengakibatkan bangsa Indonesia kehilangan kemampuan untuk mengerahkan potensi masyarakat guna mencapai cita-cita bersama. Krisis karakter ini seperti penyakit akut yang terus menerus melemahkan jiwa bangsa, sehingga bangsa kita kehilangan kekuatan untuk tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang maju dan bermartabat di tengah-tengah bangsa lain di dunia.
Krisis karakter di Indonesia tercermin dalam banyak fenomena sosial ekonomi yang secara umum dampaknya menurunkan kualitas kehidupan masyarakat luas.
 Korupsi, mentalitas peminta-minta, konflik horizontal dengan kekerasan, suka mencari kambing hitam, kesenangan merusak diri sendiri, adalah beberapa ciri masyarakat yang mengalami krisis karakter.
Korupsi, korupsi adalah salah satu bentuk krisis karakter yang dampaknya sangat buruk bagi bangsa Indonesia. Korupsi menjadi penghambat utama kemajuan ekonomi bangsa ini, dan pada gilirannya menjadi sumber dari berkembangnya kemiskinan di Indonesia. Dalam pergaulan internasional, posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia telah menyebabkan bangsa ini kehilangan martabat di tengah-tengah bangsa lain. Korupsi terjadi karena orang-orang kehilangan beberapa karakter baik, terutama sekali kejujuran , pengendalian diri (self regulation), dan tanggung jawab sosial.
Kesenangan merusak diri sendiri. Di samping korupsi, memudarnya karakter di Indonesia ditunjukkan oleh meningkatnya ‘kesenangan’ dari sebagian warganya terlibat dalam kegiatan atau aksi aksi yang berdampak merusak atau menghancurkan diri –bangsa kita- sendiri (act of self distruction). Ketika bangsa-bangsa lain bekerja keras mengerahkan potensi masyarakatnya untuk meningkatkan daya saing negaranya, kita di Indonesia sebagian dari kita malah dengan bersemangat memakai energi masyakat untuk mencabik-cabik dirinya sendiri, dan sebagian besar yang lain terkesan membiarkannya.
Memecahkan perbedaan pendapat atau pandangan dengan menggunakan kekerasan, secara sistematik mengobarkan kebencian untuk memicu konflik horizontal atas dasar SARA, dan menteror bangsa sendiri adalah beberapa bentuk dari kegiatan merusak diri sendiri. Ini terjadi karena makin memudarnya nilai-nilai kemanusiaan yang mencakup semangat dan kesediaan untuk bertumbuh kembang bersama, secara damai, dalam kebhinekaan.
Hipokrisi atau Kemunafikan. Di atas telah disampaikan bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia. Namun, di pihak lain masyarakat Indonesia nampaknya adalah masyarakat yang sangat rajin melakukan kegiatan keagamaan. Bahkan tidak jarang orang Indonesia membanggakan diri sebagai masyarakat yang hidupnya sangat religius, dan sepanjang yang saya ketahui, tindakan korupsi, atau mengambil yang bukan haknya atau milik orang lain, seperti juga mencuri, dilarang oleh semua agama. Sungguh sebuah ‘keganjilan’ bahwa masyarakat yang merasa riligius namun negaranya penuh korupsi.
Lebih memprihantinkan lagi adalah bahwa menurut salah seorang penjabat KPK, lembaga negara yang paling korup adalah Departemen Agama . Apabila pernyataan tersebut didasarkan pada data yang dapat dipercaya, maka hal ini adalah contoh yang paling nyata dari hipokrisi di Indonesia, di samping sekian banyak contoh yang lain. Hipokrisi atau kemunafikan mengandung arti kepura-puraan atau menyuruh atau menasihati orang lain melakukan hal yang baik namun dia sendiri melakukan hal sebaliknya.
Mentalitas makan siang gratis. Berkembangnya mentalitas ‘makan siang gratis, adalah fenomena lain yang menunjukkan krisis karakter. Ini adalah sikap mental yang memandang bahwa kemajuan bisa diperoleh secara mudah, tanpa kerja keras, bisa dicapai dengan menandahkan tangan dan dengan menuntut kekiri dan kekanan.
Kesenangan mencari kambing hitam. Kebiasaan menimpakan kesalahan kepada orang lain, merupakan salah satu karakter yang menghambat kemajuan. Ini bukan kekuatan, namun kelemahan. Di masa lalu kita masih sering mendengar banyak orang menyatakan bahwa sulitnya Indonesia mencapai kemajuan lama sesudah kemerdekaan adalah akibat ulah penjajah Belanda.
Dalam mencari penyebab rusaknya ekonomi Indonesia sekarang kita punya kambing hitam baru, konpirasi Amerika Serikat, IMF, World Bank, dan akibat dominasi golongan minoritas. Seandainya sinyalemen itu benar, sebenarnya ada cara bertanya yang lain:
Apa yang salah dengan bangsa kita yang menyebabkan kita beratus-ratus tahun bisa dijajah oleh Belanda -kerajaan yang sangat kecil dari jumlah penduduk dan luas wilayah; bisa menjadi korban konspirasi Amerika Serikat, IMF dan World Bank, dan kelompok mayoritas belum bisa menguasai sebagaian besar kegiatan ekonomi di Indonesia ? Pertanyaan terakhir ini jarang sekali dikemukakan, karena adanya arogansi bahwa ’kami selalu benar’. Akibatnya, bangsa kita kurang bisa belajar dari pengalamannya sendiri, dan kurang mampu berubah ke arah yang lebih baik karena merasa bahwa tak ada yang perlu diperbaiki pada diri kita.

2.4. Membentuk Karakter Bangsa Lewat Pendidikan

Aspek pendidikan adalah aspek terpenting dalam membentuk karakter bangsa. Dengan mengukur kualitas pendidikan, maka kita dapat melihat potret bangsa yang sebenarnya, karena aspek pendidikanlah yang menentukan masa depan seseorang, apakah dia dapat memberikan suatu yang membanggakan bagi bangsa dan dapat mengembalikan jati diri bangsa atau sebaliknya. Pendidikan seperti apa yang diberikan agar anak didik memiliki karakter bangsa dan mampu mengembalikan jati diri bangsa dan mampu membentuk elemen-elemen dalam core values? Apakah masalah yang terdapat dalam otoritas pelaksana pendidikan di bangsa ini? Setidaknya ada empat faktor utama yang harus diperhatikan: faktor kurikulum, dana yang tersedia untuk pendidikan, faktor kelaikan tenaga pendidik, dan faktor lingkungan yang mendukung bagi penyelenggaraan pendidikan. Keempat faktor ini terkait satu sama lain untuk dapat menghasilkan SDM dengan karakter nasional yang mampu bersaing di era global, yang akhirnya dapat mengembalikan jati diri bangsa.
Pada masalah aspek otoritas pendidikan, anak didik sebetulnya hanya ditekankan pada sapek kognitif saja. Akibatnya adalah anak didik yang diberi materi pelajaran hanya sekedar ‘tahu’ dan ‘mengenal’ dengan apa yang didapatkannya, tanpa memahami apa yang mereka pelajari apalagi menerapkannya pada kehidupan sehari-hari.
Padahal aspek yang lainnya, seperti afektif dan psikomotorik adalah hal penting yang harus didik. Karena institusi pendidikan seharusnya dapat membuat anak didik menerapkan apa yang diajari, karena sesungguhnya itulah kegunaan dari ilmu pengetahuan. Apakah anak didik di bangsa ini hanya akan menjadi ‘manusia robot’ yang tidak memiliki rasa toleransi dan apatis pada kehidupan sosialnya? Lalu bagaimana generasi seperti ini dapat mengembalikan jati diri bangsa?
Kita tidak tahu standar apa yang dipakai dalam otoritas pendidikan di negara ini, yang akhirnya anak didik yang dihasilkan dari institusi pendidikan di negara ini tidak banyak yang mampu untuk menerapkan ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan di tempat pendidikannya, apalagi untuk mengajarkannya pada orang lain. Penanaman karakter anak didik dengan mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik tidak akan berhasil menghasilkan generasi penerus yang memberikan dampak positif bagi bangsa.
Mungkin memang nilai di atas kertas raport dan IPK terlihat bagus dan memuaskan, akan tetapi ketika anak didik tidak mampu menerapkan ilmu yang mereka dapatkan apa gunanya ilmu yang mereka punya? Otoritas pendidikan harus menerapkan aspek-aspek pendidikan yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan PBB, UNESCO, yaitu belajar untuk tahu (learn to know), belajar untuk berbuat (learn to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learn to be her/himself), belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Ketika semua aspek itu dapat dijalankan maka bangsa ini akan memiliki generasi yang dapat dibanggakan, bagi bangsa maupun bagi seluruh dunia.
Pendidikan bukan hanya transfer ilmu tanpa aktualisasi ilmu, akan tetapi pembentukan karakter diri dan bangsa dengan ilmu yang didapat, hingga akhirnya mereka para generasi muda dapat mengembalikan jati diri bangsa dengan ilmu yang mereka punya.
Banyaknya faktor atau media yang mempengaruhi pembentukan karakter ini menyebabkan pendidikan untuk pengembangan karakter bukan sebuah usaha yang mudah. Secara normatif, pembentukan atau pengembangan karakter yang baik memerlukan kualitas lingkungan yang baik juga. Dari sekian banyak Faktor atau media yang berperan dalam pembentukan karakter, dalam risalah ini akan dilihat peran tiga media yang saya yakini sangat besar pengaruhnya yaitu: keluarga, media masa, lingkungan sosial, dan pendidikan formal.
Keluarga adalah komunitas pertama di mana manusia, sejak usia dini, belajar konsep baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah. Dengan kata lain, di keluargalah seseorang, sejak dia sadar lingkungan, belajar tata-nilai atau moral. Karena tata-nilai yang diyakini seseorang akan tercermin dalam karakternya, maka di keluargalah proses pendidikan karakter berawal.
Pendidikan di keluarga ini akan menentukan seberapa jauh seorang anak dalam prosesnya menjadi orang yang lebih dewasa, memiliki komitmen terhadap nilai moral tertentu seperti kejujuran, kedermawanan, kesedehanaan, dan menentukan bagaimana dia melihat dunia sekitarnya, seperti memandang orang lain yang tidak sama dengan dia –berbeda status sosial, berbeda suku, berbeda agama, berbeda ras, berbeda latar belakang budaya.
Di keluarga juga seseorang mengembangkan konsep awal mengenai keberhasilan dalam hidup ini atau pandangan mengenai apa yang dimaksud dengan hidup yang berhasil, dan wawasan
mengenai masa depan.
Dari sudut pandang pentingnya keluarga sebagai basis pendidikan karakter, maka tidak salah kalau krisis karakter yang terjadi di Indonesia sekarang ini bisa dilihat sebagai salah satu cerminan gagalnya pendidikan di keluarga. Korupsi misalnya, bisa dilihat sebagai kegagalan pendidikan untuk menanamkan dan menguatkan nilai kejujuran dalam keluarga. Orang tua yang membangun kehidupannya di atas tindakan yang korup, akan sangat sulit menanamkan nilai kejujuran pada anak-anaknya. Mereka mungkin tidak menyuruh anaknya agar menjadi orang yang tidak jujur, namun mereka cenderung tidak akan melihat sikap dan perilaku jujur dalam kehidupan sebagai salah satu nilai yang sangat penting yang harus dipertahankan mati-matian. Ini mungkin bisa dijadikan satu penjelasan mengapa korupsi di Indonesia mengalami alih generasi. Ada pewarisan sikap permisif terhadap korupsi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Media masa. Dalam era kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi sekarang ini, salah satu faktor yang berpengaruh sangat besar dalam pembangunan atau sebaliknya juga perusakan karakter masyarakat atau bangsa adalah media massa, khususnya media elektronik, dengan pelaku utamanya adalah televisi. Sebenarnya besarnya peran media, khususnya media cetak dan radio, dalam pembangunan karakter bangsa telah dibuktikan secara nyata oleh para pejuang kemerdekaan.
 Bung Karno, Bung Hattta, Ki Hajar Dewantoro, melakukan pendidikan bangsa untuk menguatkan karakter bangsa melalui tulisan-tulisan di surat kabar waktu itu. Bung Karno dan Bung Tomo mengobarkan semangat perjuangan, keberanian dan persatuan melalui radio. Mereka, dalam keterbatasannya, memanfaatkan secara cerdas dan arif teknologi yang ada pada saat itu untuk membangun karakter bangsa, terutama sekali: kepercayaan diri bangsa, keberanian, kesediaaan berkorban, dan rasa persatuan.
Sayangnya kecerdasan dan kearifan yang telah ditunjukkan generasi pejuang kemerdekaan dalam memanfaatkan media massa untuk kepentingan bangsa makin sulit kita temukan sekarang. Media massa sekarang memakai teknologi yang makin lama makin canggih. Namun tanpa kecerdasan dan kearifan, media massa yang didukung teknologi canggih tersebut justru akan melemahkan atau merusak karakter bangsa. Saya tidak ragu mengatakan, media elektronik di Indonesia , khususnya televisi, sekarang ini kontribusinya ’nihil’ dalam pembangunan karakter bangsa. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa tidak ada program televisi yang baik. Namun sebagian besar program televisi justru lebih menonjolkan karakter buruk daripada karakter baik. Sering kali pengaruh lingkungan keluarga yang baik justru dirusak oleh siaran media televisi.
Di keluarga, anak-anak dididik untuk menghindari kekerasan, namun acara TV justru penuh dengan adegan kekerasan. Di rumah, anak-anak dididik untuk hidup sederhana, namun acara sinetron di tevisi Indonesia justru memamerkan kemewahan. Di rumah anak-anak dididik untuk hidup jujur, namun tayangan di televisi Indonesia justru secara tidak langsung menunjukkan ’kepahlawanan’ tokoh-tokoh yang justru di mata publik di anggap ’kaisar’ atau ’pangeran-pangeran’ koruptor. Para guru agama mengajarkan bahwa membicarakan keburukan orang lain dan bergosip itu tidak baik, namun acara televisi, khususnya infotainment, penuh dengan gosip.
Bapak dan ibu guru di sekolah mendidik para murid untuk berperilaku santun, namun suasana sekolah di sinetron Indonesia banyak menonjolkan perilaku yang justru tidak santun dan melecehkan guru. Secara umum, banyak tayangan di televisi Indonesia, justru ’membongkar’ anjuran berperilaku baik yang ditanamkan di di rumah oleh orang tua dan oleh para guru di sekolah. 
Pendidikan formal. Pendidikan formal, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, diharapkan berperan besar dalam pembangunan karakter. Lembaga-lembaga pendidikan formal diharapkan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun demikian pengalaman Indonesia selama empat dekade terakhir ini menunjukkan bahwa sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dengan cara-cara pendidikan yang dilakukannya sekarang belum banyak berkontribusi dalam hal ini. Di atas telah diuraikan, kecenderungan lembaga pendidikan formal yang merosot hanya menjadi lembaga-lembaga pelatihan adalah salah satu sumber penyebabnya. Pelatihan memusatkan perhatian pada pengembangan keterampilan dan pengalihan pengetahuan.
Sedangkan pendidikan mencakup bahkan mengutamakan pengembangan jati diri atau karakter, tidak terbatas hanya pada pengalihan pengetahuan atau mengajarkan keterampilan. Harus diakui bahwa pendidikan formal di sekolah-sekolah di Indonesia, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, secara umum menghabiskan bagian terbesar waktunya untuk melakukan pelatihan daripada pendidikan. Kegiatan pendidikan telah teredusir menjadi kegiatan ’mengisi’ otak para siswa sebanyak-banyaknya, dan kurang perhatian pada perkembangan ’hati’ mereka.
Keberhasilan seorang guru diukur dari kecepatannya ’mengisi’ otak para siswanya. Sekolah menjadi ’pabrik’ untuk menghasilkan orang-orang yang terlatih, namun belum tentu terdidik.
Namun demikian, ini tidak berarti bahwa secara praktek pendidikan sama sekali terpisah dari pelatihan. Dalam pendidikan dikembangkan juga berbagai keterampilan. Namun pengembangan keterampilan saja tidak dengan sendirinya berarti pendidikan, walaupun hal itu dilakukan pada lembaga yang secara resmi diberi nama lembaga pendidikan, seperti universitas, institut teknologi, dan yang lainnya. 
Di pihak lain, seorang pelatih yang bermutu dapat dengan cerdas memakai kegiatan pelatihan menjadi kendaraan efektif untuk pendidikan. Pelatih sepak bola dapat memakai kegiatan pelatihan untuk menumbuhkan dan menguatkan sikap sportif, gigih, kerjasama tim, kesediaan berbagi, berlapang dada dalam kekalahan, dan rendah hati dalam kemenangan.
Masalah kita sekarang, tanpa disadari sudah terjadi degradasi proses-proses dan program-program yang dimaksudkan untuk pendidikan menjadi proses dan program pelatihan. Di pihak lain belum nampak tanda-tanda kegiatan pelatihan dimanfaatkan secara optimal sebagai wahana untuk pendidikan. 

2.5.    Manfaat Pendidikan Pancasila dalam Membangun Karakter Bangsa

Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia, sebagai falsafah, ideologi, dan alat pemersatu bangsa Indonesia. Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk. Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa dan negara Indonesia? Kondisi ini dapat terjadi karena perjalanan sejarah dan kompleksitas keberadaan bangsa Indonesia seperti keragaman suku, agama, bahasa daerah, pulau, adat istiadat, kebiasaan budaya, serta warna kulit jauh berbeda satu sama lain tetapi mutlak harus dipersatukan.
Sila pertama dari Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan berbangsa dan bernegara yang implementasinya mewajibkan semua manusia Indonesia harus ber-ketuhanan. Karena keberadaan Tuhan melingkupi semua wujud dan sifat dari alam semesta ini, diharapkan manusia Indonesia dapat menyelaraskan diri dengan dirinya sendiri, dirinya dengan manusia-manusia lain di sekitarnya, dirinya dengan alam, dan dirinya dengan Tuhan. Keselarasan ini menjadi tanda dari manusia yang telah meningkat kesadarannya dari kesadaran rendah menjadi kesadaran manusia yang manusiawi.
Tingkat kesadaran manusia dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yang pembagiannya adalah sebagai berikut:
Kelompok 1
Yaitu manusia yang berkesadaran rendah, dimana segala perilakunya hanya mementingkan diri sendiri, dirinya selalu dikuasai oleh nafsu atau perilaku hewani dan iblis. Mereka tidak bisa bekerja berorientasi ke luar dirinya, semuanya serba keakuan atau berorientasi kepada kepuasan dirinya.

Kelompok 2
Yaitu manusia yang sudah meningkat kualitas dirinya dari kualitas manusia rendah kepada manusia yang manusiawi. Sifat dari orang yang sudah manusiawi ini pada setiap pekerjaan berorientasi ke luar, tidak mementingkan dirinya sendiri, melainkan berorientasi kepada masyarakat atau dunia sekelilingnya. Manusia yang manusiawi ini, berwujud manusia, berpikir manusia, berhati manusia, berucap manusia, berpandangan manusia, dan berbuat manusia. Mereka telah dapat menyelaraskan antara pikiran, ucapan, suara hatinya, dan perbuatannya di dalam segala tindakannya.
Kelompok 3
Yaitu manusia yang berkesadaran ketuhanan. Manusia yang berada kelompok ini adalah kelompok eksklusif atau kelompok yang langka, di mana kesadaran mereka sudah sampai pada peleburan dengan kesadaran Tuhan. Mereka sudah tidak ada tujuan, pandangannya sudah tidak mengandung dualisme lagi mereka telah menyatu dengan Yang Maha Kuasa. Mereka telah mencapai tujuannya, mereka telah menjadi manusia yang sempurna.
Dari tiga kelompok kesadaran manusia ini dapat ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan sila pertama Pancasila, yaitu tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, implikasinya manusia Indonesia secara ideal harus mencapai tingkatan manusia yang sempurna, manusia yang dapat meleburkan dirinya dengan Tuhan di dalam kehidupannya sekarang di dunia, atau dengan kata lain Insan Kamil.
Dalam rangka mewujudkan manusia yang sempurna ini harus melalui jalan yang terjal, jalan ini memang benar-benar ada bukan semata-mata hanya khayalan saja. Ada nama atau sebutannya pasti ada wujudnya, dan ada manusia yang sudah pernah mencapainya. Siapa mereka ? Mereka merupakan manusia yang suci yang kalau di Islam biasa disebut Wali Yullah, atau dalam agama lain disebut Budha atau Dewa dan lain sebagainya.
Sebelum mencapainya kita terlebih dahulu harus mengetahui karakter manusia yang berkesadaran rendah atau binatang. Pada manusia yang berkesadaran rendah setiap kualitas kerjanya akan berorientasi kepada kepentingan pribadi dan egonya, mereka itu selalu dikuasai oleh segala sesuatu yang ada di muka bumi atau segala sesuatu dari hasil kerjanya. Mereka tidak bisa memerdekakan dirinya dari segala perbudakan, mereka adalah tipe budak, mereka egois, serakah, tamak, jahil, jahat, berpikiran sempit dan lain-lain. Segala perbuatannya berorientasi keuntungan untuk diri sendiri. Tidak ada kesadaran akan ketuhanan, yang ada kelekatan akan segala sesuatu.
Karena begitu liarnya sifat kebinatangan dan keiblisan di dalam dirinya maka mereka itu sangat memerlukan suatu koridor hukum agar mereka dapat tertib dan terkendali. Yang harus ditertibkan yaitu sifat atau perilaku liarnya. Ajaran agama dan hukum-hukum yang lainnya sangat diperlukan untuk pengendalian diri. Gunanya agar sifat liar tersebut menjadi tertib. Kalau sudah tertib sifat liarnya maka mereka akan mudah mengendalikan diri dan dapat mengoptimalkan kemampuan dirinya, dan mereka dapat meningkat ke tingkat kesadaran yang lebih tinggi yaitu manusia yang manusiawi.
Yang tercantum sebagai sila pertama Pancasila ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan agama. Jika agama dicantumkan sebagai sila pertama, pasti keadaan menjadi kacau karena banyak penganut agama dan penganut kepercayaan yang menjadi ribut menginginkan agama atau kepercayaannya dijadikan sebagai landasannya sehingga menimbulkan pandangan yang sempit. Akibatnya, kekacauan terjadi di mana-mana dan tidak ada kesatuan.
Semua agama di mata Tuhan adalah sama adanya, tetapi di dalam pandangan manusia tidak sama karena agama adalah aturan atau sarana pengendalian yang di dalamnya mengandung hak dan kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan di dalam kehidupan masing-masing penganutnya. Karena itu, manusia harus memilih dari sekian banyak agama sebagai aturan yang harus ditaati dan dijalankan dalam kehidupannya sendiri. Tidak boleh mengimani semua agama karena tidak akan dapat melaksanakan semua ajarannya. Harus memilih salah satu dari agama dan kepercayaan yang ada.
Semua agama baik dan benar jika para penganutnya dapat meningkatkan kesadarannya dari manusia yang berkesadaran rendah, naik menjadi manusia yang manusiawi atau kesadaran manusia, lalu naik ke tingkat "Kesadaran Ketuhanan". Apabila manusia meyakini suatu ajaran agama, tetapi ternyata mereka tidak meningkat kesadarannya malahan mereka tetap berada dalam kesadaran rendah, bahkan lebih rendah lagi maka yang salah bukan ajaran agamanya, melainkan para penganutnya yang salah kaprah atau salah dalam pemahamannya sehingga tidak ada perubahan kebaikan dalam kehidupannya, mereka itu merupakan manusia yang sesat.
Pada kondisi saat ini perilaku para pengikut ajaran agama memperlihatkan rendahnya kondisi kesadaran mereka. Mereka menyempitkan ruang lingkup agama itu sendiri dan mereka mengkotak-kotakkannya. Itu semua menjadikan mereka lebih buas dan sadis, mereka berpandangan sempit, kadang-kadang menyesatkan. Karena adanya kedangkalan akan ketuhanan maka mereka mudah sekali dipengaruhi oleh pandangan-pandangan dari luar dan mereka mudah sekali diadu domba dan diperdaya oleh orang lain.
Zaman dahulu orang jahiliyah berperilaku kejam dan sadis karena belum ada agama yang masuk ke dalam dirinya. Sekarang meskipun agama masuk dan sudah ribuan tahun usia agama, kualitas dirinya bukannya lebih baik melainkan sebaliknya lebih jahiliyah dari sebelumnya. Ini menandakan bahwa setiap penganut agama memerlukan pembimbing yang sudah menyatu dengan Tuhan agar mereka mendapatkan pencerahan dari apa yang mereka anut.
Terlalu panjangnya rentang waktu antara kita dan penyebar agama menjadikan pandangan terhadap agama pun berubah. Untuk menghindari agar ajaran agama tidak menyimpang, kita memerlukan pembimbing yang sempurna. Apakah ada ? Ya, pasti ada. Hanya, bagaimana kita dapat mengetahui keberadaan mereka bila hati kita buta, dan kita masih tertidur lelap dalam kebodohan dan ketidaksadaran. Biarpun mereka ada di depan kita, kita tidak dapat mengetahuinya, kecuali kalau kita sudah terbangun dari kesadaran rendah, hati yang buta dapat melihat kembali. Dengan sendirinya kita dapat menyaksikan pembimbing sempurna tadi di dalam hidupnya.
Mengapa dalam sila pertama Pancasila harus berketuhanan dulu ? Tanpa ketuhanan semua menjadi mati tidak hidup karena Tuhan merupakan hidup itu sendiri ! Sekarang orang beragama tanpa ketuhanan maka agamanya menjadi mati tidak berjiwa, dan mereka akan berubah menyembah agama bukan menyembah Tuhan, atau primodial sempit. Kalau semua pemeluk agama sudah menyadari tentang ketuhanan masing-masing, tidak ada lagi pertentangan karena pertentangan itu hanya ada di kelompok bawah atau kesadaran rendah, dalam tataran kelompok "Kesadaran Ilahi" sudah tidak ada pertentangan dalam segala sesuatunya. Dengan Sila Ketuhanan sebagai sila pertama maka tidak ada lagi pertentangan antara satu dengan yang lain mengenai Tuhan yang melingkupi seluruh alam semesta ini.
Kalau sudah banyak jumlah penduduk Indonesia yang sudah ber-ketuhanan dalam tataran manusia yang manusiawi maka Pancasila sudah bisa menjadi pemersatu seluruh bangsa Indonesia, dan Indonesia sudah masuk dalam keadaan pencerahan dan kemakmuran.
Kalau kesadaran rendah yang menguasai rakyat Indonesia dan pemimpinnya maka keadaan Indonesia seperti hutan rimba. Rakyat dan pemimpin semua binatang (badannya manusia tetapi di dalamnya berisi sifat binatang) maka tidak akan ada kemakmuran atau kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, pembangunan Indonesia harus mengarah kepada kesempurnaan manusia dan harus dapat memanusiakan manusia, bukan membangun secara fisiknya saja tetapi juga harus berdampak pada kualitas manusia dan merubah peradaban manusianya maka bumi Indonesia menjadi layak sebagai tempat tinggal manusia (surga dunia).
Pada saat ini pembangunan fisik, teknologi, dan ilmu pengetahuan di dunia telah maju pesat, tetapi kondisi manusia menjadi jauh sekali dari kondisi manusia yang sempurna kemanusiaanya. Kita sekarang menjadi robot-robot hidup yang penuh dengan ketakutan-ketakutan yang diakibatkan oleh penemuan manusia itu sendiri, tidak mengarah kepada kedamaian dan ketenangan yang dibutuhkan dan diinginkan oleh manusia yang sudah sadar. Mereka tidak tahu arah hidupnya, mereka menjadi budak-budak konsumsi dari apa yang mereka ciptakan sendiri, yang akhirnya hati mereka mati. Mereka terlalu mempertuhankan apa yang mereka ciptakan, mereka terlalu diperbudak oleh otak kiri (akalnya) mereka. Mereka tidak mempergunakan kemampuan otaknya secara sempurna, yaitu menggunakan otak kiri, otak kanan dan bawah sadar, serta kekuatan hati nurani.
Karena kebimbangan serta stress yang berkepanjangan, mereka tidak dapat menemukan jati dirinya. Diri mereka selalu dihubungkan dan dilekatkan dengan dunia luar. Semua yang ada di luar dirinya menjadi melekat dan memperbudak mereka, mereka menjadi budak dan terpenjara selama-lamanya.
Oleh karena, itu kita harus berani merubah tatanan yang sudah mapan dalam kegelapan dan kebodohan ini. Bangun dan sadar dari apa yang mereka sadari, bangkitkan kemampuan mereka, cukup dengan satu orang yang sudah sampai ke dalam kesadaran ketuhanan, dia dapat menggunakan kekuatannya untuk membangunkan manusia yang terlena dalam kegelapan.
Jadi, sila pertama dalam Pancasila merupakan pengikat dan pemersatu bangsa serta harus diresapi dan dijalankan serta diraih dalam kehidupan manusia sekarang ini. Baik secara pribadi, kemasyarakatan maupun dalam bernegara. Jika semua kehidupan manusia Indonesia dijiwai dan dilandasi oleh sifat ketuhanan maka negara pun akhirnya menjadi berlandaskan ketuhanan. Kalau semua lini kehidupan berdasarkan ketuhanan maka kemakmuran dan keharmonisan dengan alam sudah menjadi milik bangsa Indonesia, dengan sendirinya bangsa Indonesia akan adil dan makmur serta menjadi mercu suar dunia.
Untuk menjalankan sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sila ketiga Persatuan Indonesia, sila keempat Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan, serta sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, semua ini dapat dilakukan jika manusia Indonesia meningkat sampai ke tingkat kesadaran manusia yang manusiawi. Jika manusia Indonesia masih belum berketuhanan maka sila-sila tersebut tidak dapat di jalankan karena mereka masih dalam kesadaran rendah dengan sendirinya mereka masih terpenjara oleh nafsu, ego, dan sifat-sifat rendah lainnya, tidak mungkin memikirkan orang lain, yang dipikir hanya dirinya sendiri saja.
Hanya manusia yang sudah berketuhananlah yang dapat melaksanakan sila-sila Pancasila dengan sebenar-benarnya. Inilah yang terpenting dalam bermasyarakat dan bernegara di Republik Indonesia, sebagai azas yang melandasi segala sendi kehidupan masyarakat Indonesia.
Pancasila diharapkan sebagai jalan hidup yang akan dapat mengatasi masalah yang paling mendasar dihadapi bangsa Indonesia, di samping Pancasila itu sendiri digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan pembangunan, ketertiban dan keamanan. Dengan begitu Pancasila akan dapat pula tetap menjadi falsafah dan ideologi bagi masyarakat Indonesia yang moderen.


BAB III
PENUTUP

3.1.     Kesimpulan
Pendidikan Pancasila sangat bermanpaat dalam membangun karakter bangsa karena dengan mempelajari pendidikan pancasila dapat menimbulkan kesadaran dalam diri manusia itu sendiri, karena sesungguhnya pembangunan Indonesia harus mengarah kepada kesempurnaan manusia dan harus dapat memanusiakan manusia, bukan membangun secara fisiknya saja tetapi juga harus berdampak pada kualitas manusia dan merubah peradaban manusianya maka bumi Indonesia menjadi layak sebagai tempat tinggal manusia (surga dunia), bukan tempat bagi manusia jadi-jadian.

3.2. Saran
Dalam membangun karakter bangsa sebaiknya dengan menerapkan nilai-nilai yang terkandung pada pancasila karena jika suatu bangsa dapat mengamalkannya maka akan terbentuk suatu bangsa berkarakter tangguh serta akan di dapati Negara yang aman dan sejahtera.


DAFTAR PUSTAKA

·           Sirnagalih (2009). Pancasila Adalah Jati Diri Bangsa. From http://id.sirnagalih.org/artikel/artikel-dari-guru/83-pancasila-adalah-jati-diri-bangsa-.html, 31 desember 2009
·           Gebe (2009). Membangun Karakter Dan Memperkuat      Identitas Nasional Indonesia. From http: //gebe.blogdetik.com/ membangun-karakter-dan-memperkuat-identitas-nasional-indonesia/#more-44, 31 Desember 2009
·           Syahnakri (2009). Renungan Kebangsaan Dan Pancasila. From http://syahnakri.blogspot.com/2009/11/renungan-kebangsaan-dan-pancasila.html, 31 Desember 2009
·           Hinu (2007). Pendidikan Membangun Karakter. From http://old.nabble.com/-sastra-pembebasan--Pendidikan-Membangun-Karakter---Gede-Raka-p9632706.html, 31 Desember  2009
·           Mardoto (2009). Urgensi pendidikan kewarganegaraan. From http://mardoto.wordpress.com/2009/03/06/seri-002-mahasiswa-urgensi-pendidikan-kewarganegaraan-menurut-saya/, 31 Desember 2009
·             The Gau’ :http//:www.muhsakir.blogspot.com/html

11 komentar:

Silahkan Tinggalkan Komentar Untuk Perbaikan Postingan Selanjutnya !

Facebook Twitter Fans Page
Gratis Berlangganan artikel B-digg via mail, join sekarang!