BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Semangat untuk merehabilitasi dan
memanfaatkan lahan alang-alang (Imperata cylindrica) dilandasi oleh TAP
MPR-RI No. IX/MPR/2001. Pokok-pokok arahan dalam TAP MPR-RI tersebut
yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA), adalah:
1.
memulihkan ekosistem yang telah
rusak akibat eksploitasi SDA secara berlebihan tanpa perhatian terhadap
kelestariannya,
2.
menyusun strategi
pemanfaatan SDA yang berlandaskan kepada optimalisasi manfaat dengan
memperhatikan potensi dan kontribusinya kepada kepentingan masyarakat,
daerah dan nasional. Lahan alang-alang dengan topografi datar sampai
bergelombang dalam hamparan luas dijumpai di Sumatera, Kalimantan, dan
Sulawesi, di daerah yang beriklim tropik basah. Sebelumnya lahan tersebut berupa
lahan hutan hujan tropik dengan kesuburan rendah, kecuali di bagian aluvial.
Lahan alang-alang dapat ditanami karet,
kelapa sawit, tebu, kakao, dan kopi, dengan investasi tinggi. Sistem usahatani
berbasis tanaman pangan dengan teknik konservasi berupa tanaman lorong,
dapat dikembangkan di bagian aluvial. Dari luas lahan alang-alang di
Indonesia sekitar 8,5 juta ha, rehabilitasi dan pemanfaatan lahan
alang-alang di dataran rendah dengan ketinggian <350 m dpl. dan
kemiringan 15%, yang tergolong lahan padang rumput skala mega, skala
makro, atau skala meso diprioritaskan. Sistem usahatani dengan teknik tanaman
lorong, efektif dalam pengendalian erosi dan eradikasi alang-alang dalam
jangka panjang, karena alang-alang tidak tahan naungan dan terhambat perkembangan
rizomnya oleh pengolahan dan pertanaman terus menerus.
Teknologi usahatani berbasis padi gogo atau
jagung yang dikembangkan di Lampung Tengah dan Lampung Utara dapat diterapkan
dalam langkah awal pemberantasan alang-alang, dan dalam pengembangan sistem
usahatani pada bidang olah di antara tanaman lorong. Pembakaran alang-alang
oleh masyarakat petani baik yang kurang modal atau yang bermodal dalam konversi
lahan alangalang menjadi lahan pertanian atau perkebunan harus dicegah.
Pemerintah periode 2004-2009 menggiatkan
kembali pembangunan wilayah tertinggal.Wilayah tertinggal tidak hanya terletak
di kawasan timur, tetapi juga di kawasan barat Indonesia. Wilayah tertinggal
dalam berbagai aspek seperti tingkat pendidikan penduduk, produktivitas
pertanian, pendapatanmasyarakat, transportasi, dan komunikasi, terbelakang
dibandingkan wilayah yang telah cukup lama tersentuh oleh modernisasi. Kalau
dikaitkan dengan pertanian, wilayah tertinggal umumnya berada pada ekosistem
kering, didominasi oleh lahan kering beriklim kering yang ditanami tanaman yang
cocok bagi sistem pertanian subsisten. Teknologi pertanian lahan kering untuk
meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatanmasyarakat petani telah
tersedia.Program intensifikasi pertanian di kawasan ini apabila disertai
pembangunan prasarana dan sarana akan dapatmeningkatkan produksi pertanian dan
pertumbuhan ekonomi daerah.
Salah satu lahan kering potensial yang
selama ini diterlantarkan adalah lahan kering yang ditumbuhi oleh alang-alang,
disingkat lahan alang-alang. Lahan alang-alang adalah lahan hutan yang setelah
kayunya ditebang dan serasahnya dibakar, tumbuh-tumbuhan pionir yang didominasi
alang-alang mengambil alih peran pepohonan. Jadi, lahan alang-alangmerupakan
lahan pinggiran hutan (forestmargin) yang dari tahun ke tahun semakin
luas, karena semakin luasnya hutan yang dibakar, kemudian diterlantarkan.
1.2.
Rumusan Masalah
-
Pemanfaatan lahan Alang-alang
menjadi lahan pertanian
-
Teknologi yang digunakan dalam
mengolah lahan alang-alang
1.3.
Manfaat Penulisan
Maka, pemanfaatan lahan alang-alang untuk
pertanian akan berdampak ganda, yaitu:
·
mendorong terbentuknya sistem
pertanian menetap sebagai alternatif dari sistem tebang-bakar (slash and
burn),
·
membuka peluang usaha pertanian
bagi masyarakat setempat dan masyarakat pendatang (transmigran),
·
mencegahmakin luasnya kerusakan
dan kebakaran hutan.
·
Selain itu dampak sosial, ekonomi,
dan lingkungan dari pemanfaatan dan optimalisasi lahan alang-alang, adalah:
·
tercegahnya perluasan kerusakan
SDA, dan terlindunginya keanekaragaman hayati,
·
tercapainya pemerataan pembangunan
ekonomi umumnya dan pembangunan pertanian khususnya,
·
berkurangnya jumlah keluarga
miskin dan lebih mantapnya ketahanan pangan.
Pencanangan kenaikan produksi padi sebesar
6,4% dan pencapaian swasembada jagung pada tahun 2007, walaupun berhasil, tetap
terancam dalam jangka panjang karena luas lahan pertanian produktif di pulau
Jawa, sebagai penghasil utama padi dan jagung akanmakinmenciut oleh konversi ke
non-pertanian. Jadi, lahan alang-alang adalah salah satu alternatif untuk memperluas
lahan pertanian tanaman pangan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Status
Lahan Alang-Alang
Lahan alang-alang semula berupa lahan
hutan.Deforestasi dengan menebang pepohonan dan membakar serasahnya untuk
ditanami tanaman pangan, dikenal sebagai sistem pertanian tebang-bakar (slash
and burn), membuat lahan terbuka. Setelah beberapa musim tanam, hasil
tanaman semakin rendah, kemudian lahan ditinggalkan. Tumbuh-tumbuhan pionir
yang didominasi oleh alang-alangmengambil alih peran pepohonan dan tanaman pangan.
Van Noordwijk dalam Kurniatun Hairiah et
al. (2000) mengilustrasikan proses terbentuknya lahan alang-alang. Perladangan
berpindah atau sistempertanian tebang-bakar adalah teknik tradisional yang
dipraktekkan oleh petani di Asia Tenggara, Cina (bagian Selatan), dan diAsia
Selatan. Kebutuhan pangan karena pertambahan jumlah penduduk menyebabkan selang
perpindahan penduduk semakin pendek. Keterbatasan lahan hutan karena dikonversi
menjadi tanaman industri atau perkebunan lebihmemperpendek selang perpindahan
dan memperluas lahan alang-alang.
2.2. Sebaran dan
Ekonomi Alang-alang
Berdasarkan penggunaannya, lahan Indonesia
dapat digolongkan dalamtiga tipologi yaitu lahan kehutanan, lahan yang telah
dibudi dayakan untuk pertanian, disingkat lahan budi daya, dan lahan rerumputan
yang didominasi oleh lahan alang-alang. Luas darimasing-masing tipologi lahan. Lahan
budi daya terdiri atas lahan irigasi, lahan tadah hujan, lahan kering, lahan
lebak, dan lahan pasang surut. Masyarakat dengan sistem pertanian yang paling
terbelakang umumnya berada di lahan kering di mana tanaman pangan dikelola
secara subsisten untukmemenuhi kebutuhan rumah tangga.
Lahan alang-alang, luasnya lebih dari 8,5
juta hektar dan tersebar di seluruh Indonesia pada topografi datar,
bergelombang sampai berbukit. Estimasi luas lahan alang-alang secara nasional
tersebut berlandaskan peta dengan skala 1:500.000, karena keterbatasan data.
Perladangan berpindah atau sistempertanian tebang-bakar umumnya terjadi di
daerah beriklimtropika basah di pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi (LAWOO
1994). Jadi, lahan alang-alang dipastikan tersebar di daerah beriklimtropik
basah tersebut.
Di daerah yang beriklim semi-kering, seperti
di Nusa Tenggara Timur, lahan alang-alang dapat juga dijumpai, tetapi tidak
semasif di daerah beriklimtropik basah. Ekonomi lahan alang-alang telah
dipelajari dan dianalisis oleh lembaga penelitian internasional ICRAF (International
Centre for Research in Agroforestry) bekerjasama denganCRES(Centre
forResource and Environmental Studies),Australia, CIFOR (Centre
for International Forestry Research) dan RTFMP (Reforestration and
Tropical ForestManagement Project) (Tomich et al. 1996). Kesimpulan
dari analisis tersebut adalah:
·
pengaruh konversi lahan terhadap
iklim dan hidrologi dan terhadap
·
kebakaran hutan dapat bersifat
substansial.
·
perubahan tataguna lahan akibat
dari konversi lahan akan menambah cukup besar stok karbon di dalam tanah, maka
kompensasi berupa
·
investasi sistem pertanian
berbasis pohon akan meningkatkan keuntungan secara nyata.
Tipologi lahan Luas (x 1000 ha)
Lahan kehutanan 813.430
Lahan budidaya +) 20.126
Lahan alang-alang 8.590
1)Sumber: Japan Agricultural Land Development Agency (JALDA).
+)
Lahan pertanaman tanaman pangan dan tanaman perkebunan konversi lahanmenjadi
sistemwanatani (agroforestry) dapatmemperkuat konservasi tanah atau
sebaliknya, tergantung diterapkan atau tidaknya kaidah-kaidah konservasi.
Petani yang telahmenerapkan teknologimaju bagi tanaman
pangan dan mendiversifikasi usahataninya atau yang mengonversi usahataninya
dari tanaman pangan ke tanaman perkebunan berhasil meningkatkan status kehidupan
rumahtangganya; daerah dengan sistem pertanian demikian umumnya telah terbuka
dari isolasi.
Contoh lahan alang-alang yang berhasil dikonversimenjadi
perkebunan nenas seluas 30.000 ha dapat dilihat di Terbanggi Besar, Lampung
Tengah. Perkebunan nenas ini dikelola oleh perusahaan swastaGreatGiantPineapple.
Produk olahannya berupa nenas kalengan dan kulit nenas yang diolahmenjadi pakan
ternak diekspor ke luar negeri.
2.3. Langkah
Strategis Pengelolaan lahan Alang-Alang Konsep Dasar Pemanfaatan Lahan
Alang-alang untuk Pertanian
Tujuan dan sasaranmikro dari pemanfaatan
lahan alang-alang, seperti telah dikemukakan, mengarah ke sasaran berskala
makro sampai mega, yaitu mengimplementasikan kesepakatan internasional tentang
pembangunan berkelanjutan melalui antara lain perlindungan hutan tropis dan
rehabilitasi lahan yang telah rusak (lahan alang-alang). Konservasi hutan
tropis khususnya menjadi perhatian dunia karena rusaknya hutan tropis
dapatmengubah iklim global dan mengganggu pola cuaca yang akan berdampak serius
terhadap kehidupan umatmanusia, terutama di negara-negara berkembang.
Sumber daya genetik flora dan fauna juga
akan hilang oleh kerusakan hutan tropis. Indonesia memiliki hutan tropis
terluas di Asia Tenggara. Keanekaragaman
hayati yang berada di dalamnya termasuk di antara yang terkaya di dunia
(mega biodiversity). Tetapi sampai dewasa ini luas hutan tropis itu semakin
menciut dengan kecepatan yang semakin tinggi. Dari hubungan sebab-akibat
tentang kerusakan hutan tropis, JALDA memperkirakan sekitar 80% dari kerusakan
itu disebabkan oleh aktivitas pertanian. Hal ini mengimplikasikan bahwa
pendekatan pertanian perlu ditempuh dan diperkuat dalam rangka konservasi hutan
tropis. Kelemahan yang harus diperbaiki, berdasarkan faktor-faktor yang
langsung merusak/mengurangi luas hutan tropis, adalah:
1.
Pembangunan pertanian berbasis
hutan: belum disosialisasikannya
2. teknologi pemanfatan lahan terlantar berupa lahan alang-alang.
3.
Konversi menjadi lahan pertanian
skala kecil oleh petani: belum didiverifikasikannya teknologi pertanian
berkelanjutan, kurang tersedianya sarana produksi pertanian,makin luasnya lahan
yang ditinggalkan karena produktivitasnyamenurun dan berubahmenjadi lahan
alang-alang.
4.
Penebangan kayu secara komersial:
tidak ditaatinya kesepakatan oleh
5.
pemegangHPH(Hak PenggunaanHutan)
untuk penanaman ulang pohonpohonan, dan penerapan praktek penebangan yang tidak
benar.
6.
Kebakaran hutan: pengelolaan hutan
yang tidak konseptual dan pembakaran hutan tidak mengikuti teknik tradisional.
7.
Perbaikan kelemahan dari aktivitas
pertama dan kedua adalah tanggung jawab Departemen Pertanian.
Prospek lahan alang-alang untuk tanaman
pangan (jagung, kedelai, sayursayuran) dan ternak sapi dipelajari oleh JALDA di
Jorong-Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Dari penelitian selama 6 tahun (sejak 1993)
pada lahan seluas 40 ha telah dibuat petunjuk teknik reklamasi lahan,
konservasi tanah, peningkatan kesuburan tanah, teknik budi daya tanaman pangan
dan pemeliharaan ternak. Untuk percepatan diseminasi inovasi teknologi, empat kondisi
kritis harus dipenuhi (Hairiah et al. 2000).
Masyarakat lokal yangmerehabilitasi lahan
alang-alang harusmempunyai hak kepemilikan pepohonan atau tanah yang
terlindungi. Konflik antara masyarakat lokal yang telah lama memanfaatkan lahan
alang-alang dengan masyarakat lokal lain atau pendatang yang ingin mengonversi lahan
alang-alang harus dicegah.
·
Masyarakat lokal harus koperatif
dan bahkan mengambil inisiatif kepemimpinan dalam pencegahan kebakaran.
Masyarakat lokal mengenal kondisi setempat dan risiko terhadap kebakaran. Merekalah
yang pertamamengetahui kapan kebakaranmulai, dan dapat bertindak cepat untuk
memadamkan api saat masih belum besar dan meluas.
·
Petani diberi pengetahuan dan cara
untukmengonversi lahan alangmenjadi lahan yang lebih produktif dengan teknologi
yang ramah lingkungan.
·
Transportasi dan akses ke pasar
harusmudah dan lancar. Banyak daerah yang didominasi lahan alang-alang yang
terisolasi. Teknologi wanatani dan regenerasi alami yang diinisiasi pemerintah
akan lebihmenjanjikan (feasible) kalau akses diperbaiki untuk
pelaksanaan, proteksi dan pemasaran. Pembangunan jalan harus merupakan bagian
utama dari pembangunan pertanian di lahan alang-alang. TAPMPR-RINo.
IX/MPR/2001memberi arah tentang hak dan kewajiban masyarakat atas SDA, seperti
tersurat sebagai berikut:
·
Memperluas akses masyarakat ke
informasi tentang potensi SDA di daerahnya dan mendorong terujudnya tanggung
jawab sosial dalam pelestarian lingkungan dengan mengabaikan teknologi
tradisiona (indigenous knowledge),
·
Menata kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan lahan agar berkeadilan denganmemperhatikan
kepentingan rakyat dalam rangka reformasi agraria.
Jadi, masyarakat yang akan memanfaatkan
lahan alang-alang harus mendapat jaminan atas lahan dan komoditas pertanian
yang tumbuh dan yang dihasilkannya.
2.4. Langkah ke
Depan
1. Inventarisasi potensi
TAPMPR-RINo. IX/MPR/2001 juga berisi
pokok-pokok arahan bagi penentuan langkah ke depan, yaitu:
·
Mengoptimalkan pemanfaatan SDA
yang diawali dengan identifikasi dan inventarisasi potensinya bagi pembangunan
nasional.
·
Memperhatikan karakteristik
berbagai jenis SDA dan mengupayakan peningkatan nilai tambah dari produk yang
dihasilkan.
Kaitannya dengan pemanfaatan lahan
alang-alang, karakterisasi teknik dan kelembagaan yang diperlukan, adalah:
·
Pengumpulan data dan informasi .
meteorologi/klimatologi, hidrologi, pengelolaan lahan, akses ke pasar dan
permodalan,
·
Survei potensi SDA . sumber daya
air (neraca air), sumber daya lahan (tingkat kesesuaian lahan),
kemampuanmasyarakat (tingkat pendidikan, teknologi, kearifan lokal),
·
Verifikasi teknologi . teknik
reklamasi lahan, konservasi tanah dan air, perbaikan kesuburan tanah (pemupukan
organik dan anorganik), teknik budi daya, penanaman pakan ternak,
penggembalaan, penggunaan air (irigasi atau konservasi air).
·
Model farm . optimalisasi SDA dapat dicapai dengan pendekatan diversifikasi
usahatani, berupa wanatani atau sistem integrasi tanamanternak; faktor yang
menentukan model adalah kesesuaian lahan dan pasar.
2. Inventarisasi teknologi
Pemanfaatan lahan alang-alang pada tanah
podzolikmerah-kuning di daerah transmigrasi di Lampung Tengah telah diteliti
oleh Lembaga Pusat Penelitian Pertanian, sekarangmenjadi Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, selama 8 tahun (McIntosh 1986), dan terbukti
sangat prospektif.
Maka, sistem usahatani yangmenjanjikan itu
perlu diverifikasi di lahan alang alang yang akan direhabilitasi. Sebagai
tumbuhan pionir, alang-alang mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelemahan itu
harus diketahui dan digunakan untukmengendalikan ataumemberantasnya.
2.5. Alang-Alang
tidak tahan naungan
Kelemahan ini adalah dasar utama untuk
mengendalikan alang-alang. Beberapa jenis pepohonan yang dapat mengendalikan
alang-alang di Indonesia,Malaysia, Filipina, dan Vietnam didaftarkan dalam
Tabel 2. Petani dapatmemilih jenis pohon yangmempunyai fungsi ganda: kayu
untukmebel, kayu untuk bahan bakar, daun untuk pakan ternak atau pupuk hijau,
bahkan untuk biopestisida.
Pembibitan komunal di pedesaan dipersiapkan
untuk memenuhi kebutuhan dalam program rehabilitasi dan pemanfaatan lahan
alang-alang. Tumbuhnya industri pedesaan seperti industri pengolahan kayu,
pembuatan pupuk organik, pemeliharaan ternak, akan menjadikan daerah
alang-alang sebagai sumber pertumbuhan ekonomi daerah.
2.6. Sistem usaha
tani konservasi (agroforestry)
Hasil-hasil penelitian sistem usahatani
(SUT) konservasi dikemas dalam Pedoman Umum (Pedum) Budi daya Pertanian pada
lahan pegunungan (PermentanNo. 47/ Permentan / OT.140 / 10/2006). DalamPedumtersebut
yang dimaksud dengan lahan pegunungan adalah lahan yang terletak pada ketinggian
>350 m dpl dengan kemiringan >15%. Lahan alang-alang yang tergolong
padang rumput skalamega (tampak dalampeta skala 1: 1.000.000), padang rumput
skala makro (peta skala 1 : 250.000) dan padang rumput skala meso (peta skala 1
: 50.000) berada atau tersebar di lahan dataran rendah (ketinggian <350 m
dpl; kemiringan <15%), seperti hamparan lahan alang-alang di Kalimantan
adalah prioritas rehabilitasi dan pemanfaatannya.
Kelemahan alang-alang, selain tidak tahan
terhadap naungan, rizomnya tidak akan tumbuh dan berkembang kalau tanah selalu
diolah untuk ditanami tanaman setahun atau tanaman semusim.
SUT konservasi dengan teknik tanaman lorong
digunakan untuk:
(a) menekan pertumbuhan alang-alang,
(b) mengurangi erosi, dan
(c) meningkatkan produktivitas lahan dan
pendapatan petani.
SUT konservasi, seperti diuraikan
dalamPedumtersebut diterapkan juga di lahan dataran rendah, karena yang
menentukan besarnya erosi bukan tinggi tempat, tetapi kepekaan tanah terhadap
erosi, kemiringan, vegetasi penutup tanah, dan intensitas hujan.
Dalam SUT konservasi itu, langkah langkah yang
ditempuh, adalah :
·
Jenis tumbuhan yang dipilih (Tabel
2) dapat ditanam sepanjang garis kontur. Tujuannya adalah untuk menaungi
alang-alang, menghasilkan hijauan pakan atau pupuk hijau, dan menghasilkan
kayu.
·
Selang garis kontur
mengindikasikan luas bidang olah dalam bentuk teras bangku, teras gulud atau
teras kebun. Tujuannya adalah untuk mengurangi kekuatan aliran permukaan
danmenekan erosi.
·
Di bidang olah pola tanam tanaman
pangan ditata. Teknik budi daya ~ tanam, pemupukan, pengendalian OPT, dan
sebagainya diterapkan sesuai anjuran. Pengolahan tanah dan penanaman tanaman
semusim akanmengganggu pertumbuhan dan pengembangan rizomalang-alang.
2.7. Pengendalian
pertumbuhan alang-alang
Petani di Lampung Utaramenggunakan berbagai
cara untuk mengendalikan pertumbuhan alang-alang sebelum lahan ditanami
berdasarkanmodal yang tersedia. Kalaumodal terbatas petanimenggunakan
caramanual dalam memberantas alang-alang. Caramanual prosesnya lambat (0,25-0,5
ha/keluarga/tahun), dan mengutamakan pembakaran alang-alang secara langsung
atau tidak langsung. Kalau modal cukup, petani menggunakan herbisida glyphosate
sebanyak 2-5 l/ha. Untuk mengurangi penggunaan herbisida, pembakaran alang-alang langsung
atau tidak langsung masih dipraktekkan.
Pembakaran alang-alang langsung oleh petani
kurangmodal dan petani cukup modal harus diwaspadai, karena api dapat merambat
ke luar lokasi sasaran, lebih-lebih padamusim kemarau dan angin bertiup
kencang. Juga, penggunaan glyphosate, sebagai herbisida sistemik. Bahan
aktif yang disemprotkan ke daun tersalurkan ke seluruh bagian tanaman, termasuk
ke rizom, sehingga seluruh tanamanmati.Penyemprotan glyphosate pada
alangalang di lahan berlereng dapatmenimbulkan erosi, karena lahan bersih
total.
2.8. Pemupukan
dan teknik budi daya
Di antara komponen teknologi budi daya,
pemupukan adalah yang paling memerlukan perhatian. Argumentasinya dijelaskan oleh
LAWOO (1994) sebagai berikut:
Sebelumnya lahan alang-alang adalah lahan
hutan hujan tropik yang biomasnya tidak digunakan atau didaur ulang yang
disebut the biomass-top soil interaction.Setelah penebangan hutan
dan pembakaran serasahnya untuk pertanian, lokasi lama-kelamaan berubahmenjadi
area yang ditumbuhi perdu yang tahan kebakaran atau menjadi padang rumput yang
didominasi oleh alang-alang dengan kesuburan tanah relatif rendah,
ketidakstabilan dan erodibilitas tanah tinggi, kecuali di bagian aluvial.
Untuk produksi pangan, sistem pertanian
masukan rendah (low input agricultural systems) cukup menjanjikan
kalau tataguna lahannya dan budi dayanya dirancang berpedoman kepada hasil
penelitian terpadu. Penelitianmanajemen tanah dan tanaman jangka panjang
dilaksanakan pada tanah podsolik merah-kuning (pH 4,3) (McIntosh 1986). Daerah
ini mempunyaimasa tanam panjang. Pola tanam dasar yang dipraktekkan oleh petani
adalah padi gogo+jagung+kacang tanah-kacang tunggak. Padi gogo dipupuk 70 kg N
dan 40 kg P2O5/ha, dan diberi kapur. Sisa tanaman dijadikan mulsa untuk tanaman
berikutnya. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa:
·
Pola tanam introduksi (tanam
bersisipan) dan tanam berurutan lebih produktif dari pola tanam petani (tanam
campuran tidak teratur),
·
Pengapuran dan pemupukan NPK dan
mulsa meningkatkan hasil padi gogo 2-4 kali lipat (hasil tertinggi 3,5t/ha).
Tujuan pengapuran adalah menetralkan Al
dapat ditukar. Dengan pendekatan baru, yaitu point placement kapur
diberikan di sepanjang lajur tanaman, untuk memasok Ca, jumlah kapur berkurang
dari 4-5 t/hamenjadi 0,5 t/ha, dengan efektivitas yang sama.
Dengan pola tanam, pemupukan dan ameliorasi
tanah (kapur atau pupuk kandang) hasil tanaman pangan dan tanaman tahunan
meningkat setelah 5-8 tahun (Tabel 3). Teknologi yang digunakan dalam pola
tanamberbasis padi gogo di Lampung Tengah ini dapat digunakan dalam pola tanam
yang sama atau modifikasi pada bidang olah
Keragaan sistem usahatani berbasis padi gogo
selama 8 tahun pada lahan tidak subur (podsolik merah-kuning) di Lampung Tengah
(daerah transmigrasi) (McIntosh 1986).
Hasil Hasil 2-5 thn Hasil 5-8 thn
Sistem usahatani1) keadaan awal kemudian kemudian
(t/ha) (t/ha) (t/ha)
Tanaman pangan (dalam pola tanam)
Padi gogo + 0,8 1,5 2,5
Jagung + 0,4 1,0 1,0
Ubikayu + 1,0 7,0 10,0
Kacang tanah - 0,4 1,0 2,0
Kacang tunggak 0,2 0,4 0,6
Kambing 6 ekor 10 ekor
Karet 0,6 10
Luas
lahan total 2 ha (tanaman pangan 0,5 ha + karet 1,5 ha). pada sistem pertanian
tanaman lorong di lahan alang-alang yang telah direklamasi.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1.
Lahan alang-alang seluas 8,5 juta
ha pada zone ekosistem tropik basah di Sumatera,Kalimantan, danSulawesi
berpeluang besar sebagai sumber pertumbuhan produksi pertanian. Pemanfaatan
lahan alang-alang untuk pertanian akan mengurangi kegiatan penduduk untuk
merambah hutan dengan sistem perladangan berpindah.
2.
Lahan alang-alang yang dianjurkan
untuk direklamasi dan dikelola untuk pertanian adalah yang terletak di dataran
rendah (ketinggian <350mdpl, kemiringan <15%). Konsentrasi reklamasi
lahan alang-alang adalah pada kawasan yang tergolong padang rumput skalamega,
skalamakro, dan skalameso, pada bagian aluvial.
3.
Pembakaran alang-alang sebagai
langkah awal dari reklamasi baik oleh petani kurangmodalmaupun oleh petani
cukupmodal supaya diwaspadai, terutama padamusim kemarau yang kering dan angin
bertiup kencang.
4.
Sistemusahatani konservasi (agroforestry)
dengan teknik tanaman lorong efektifmengendalikan pertumbuhan alang-alang
karena alang-alang tidak tahan naungan dan pertumbuhan rizomnya akan terhambat
oleh pengolahan tanah dan pola tanam terusmenerus.
5.
Pola tanam dengan pemupukan dan
ameliorasi tanah yang tepat pada bidang olah di antara tanaman
lorongmeningkatkan produktivitas lahan dan hasil tanaman dalam jangka panjang.
3.2. Saran
Agar pengelolaan dan pemanfaatan lahan
alang-alang berlangsung secara berkelanjutan dan menghindari konflik
kepentingan di kemudian hari, maka disarankan:
1.
Lahan alang-alang yang akan dibuka
untuk pertanian harus tercermin dalamrencana tataruang daerah, yangmencakup
suatu landscape atau daerah aliran sungai (DAS).
2.
Pengelolaan dan pemanfaatan lahan
alang-alang yang ekosistemnya sama dan lintas kabupaten supaya diputuskan
bersama dan diorganisasikan; peta zone agroekologi (ZAE) skala 1:50.000 yang
dibuat oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dapat diacu dalam
penyusunan strategi.
3.
Batasmaksimumkepemilikan tanah
ditentukan berdasarkan fungsi lahan dalam suatu landscape atau DAS dan
nilai ekonomi dari lahan tersebut.
3.3 Tahap-tahap kegiatan:
·
petakan unit landscape yangmenjadi
sasaran, dan alokasi kegunaannya pemukiman, pembangunan prasarana jalan, dsb.
·
buat garis kontur pada landscape
yang bergelombang dan garis kontur itu ditandai,
·
cekungan-cekungan yang dapat
menampung air (embung/tandon air) adalah milik bersama,
·
pembagian tanah yang dialokasikan
kepada anggotamasyarakat supaya mengikuti garis kontur yang serasi,
·
sertifikat kepemilikan tanah,
khusus tanah pertanian diberikan kepada mereka yang memanfaatkan garis kontur
untuk tanaman lorong dan memeliharanya.
·
Lembaga keuangan pedesaan perlu
dibentuk untuk menyalurkan kredit mikro supaya masyarakat dapatmenerapkan
teknologi anjuran.
DAFTAR PUSTAKA
·
Departemen Pertanian. 2006.
Pedoman Umum Budi daya Pertanian pada LahanPengunungan. Badan Litbang
Pertanian-DepartemenPertanian.
·
PermentanNo.47/Permentan/OT.140/10/2006,
43 p.
·
Fagi, A.M. 2002. Tinjauan Teoritis
dan Praktis TAP MPR-RI No. IX/MPR/ 2001: II. Pengelolaan Sumber DayaAlam.
Kertas Kerja No. 05/2002.
·
The Gau’ (2011) Strategi Pembangunan Pertanian pada Lahan Alang-Alang ; http://muhsakirmsg.blogspot.com.
·
Badan Litbang Pertanian. (tidak
dipublikasikan).
·
Hairiah, K., M. van Noordwijk, and
P. Purnomosidhi. 2000. Reclamation of Imperata Grassland using Agroforestry.
Lecture Note 5. ICRAF (Int. Centre for Res. InAgroforestry), 18 p.
·
LAWOO (Land and Water Research in
the Tropics). 1994. Priority Rating. LAWOONetherlands Ministry ofAgriculture,
NatureManagement and Fisheries ~AB-DLO,
IBN-DLO, SC-DLO.
·
Mac Dicken, K.G., K. Hairiah,A.
Otsamo, B. Duguma, and N.M. Majid. 1997. Shade-based control of Imperata
Cylindrica = tree fallow and cover crops.Agroforestry Systems 36: 131-149.
·
McIntosh. L.L. 1986. Ecological
issues in pre production testing and production programs involving upland rice.
In: Progress in Upland Rice Research. Proc. 1985 Jakarta Conf. IRRI, Los
Banos, Philippines, p. 461-474.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentar Untuk Perbaikan Postingan Selanjutnya !