INSEMINASI DALAM PERSPEKTIF AGAMA
Dengan
melengkapinya dengan akal, Allah menghendaki agar manusia menjadi makhluk yang
aktif dan kreatif. Hidup akan berhenti jika manusia bersikap pasif. Dan Allah
tidak menghendaki hal demikian. Terhadap masalah yang muncul dalam kehidupan,
hendaknya manusia mencari solusi yang memang telah Allah berikan (baca: QS. al-Insyirah:
5-6). Di antara masalah yang
muncul dalam kehidupan manusia adalah gagalnya pasangan suami istri dalam
mendambakan datangnya buah cinta mereka. Hal itu tentunya memiliki sebab tertentu
yang dapat dipelajari. Sebab tersebut seperti misalnya salah satu suami istri
atau bahkan keduanya mengidap penyakit yang menghalangi dalam melakukan
pembuahan secara alami. Ini bukanlah akhir dari suatu harapan. Kemajuan science
dan teknologi yang telah Allah karuniakan mampu menjadi solusi bagi kasus
demikian.
Pengertian
Inseminasi
Secara sederhana, inseminasi (buatan) adalah proses
penempatan sperma dalam organ reproduksi wanita dengan tujuan untuk mendapatkan
kehamilan. Ini harus dilakukan pada masa paling subur dari seorang wanita,
yakni sekitar 24-48 jam sebelum ovulasi terjadi. Inseminasi buatan yang paling
populer digunakan adalah IUI atau Intra Uterine Insemination.
IUI merupakan proses fertility treatment yang melibatkan air mani yang
dicuci dan kemudian ditransfer ke dalam rahim wanita dengan menggunakan jarum
suntik khusus. Cara ini merupakan cara yang paling umum dan biasanya berhasil.
Jenis-jenis Inseminasi
Selain IUI, ada juga beberapa proses inseminasi lain yang
perlu kita ketahui:
Intravaginal Insemination (IVI)
Yaitu jenis inseminasi yang paling sederhana, dan melibatkan
penempatan sperma ke dalam vagina wanita. Idealnya, sperma harus ditempatkan
sedekat mungkin dengan leher rahim. Metode inseminasi ini dapat digunakan bila
menggunakan sperma donor, dan ketika tidak ada masalah dengan kesuburan wanita.
Namun, tingkat keberhasilan IVI tidak sesukses IUI, dan ini merupakan proses
inseminasi yang tidak umum.
Intracervical Insemination (ICI)
Dengan proses ICI, sperma ditempatkan secara langsung di
dalam leher rahim. Sperma tidak perlu dicuci, seperti dengan IUI, karena air
mani tidak langsung ditempatkan di dalam rahim. ICI lebih umum daripada IVI,
tapi masih belum sebaik IUI dari prosentase keberhasilannya. Dan lagi, biaya
inseminasi dengan ICI biasanya lebih rendah daripada IUI karena sperma tidak
perlu dicuci.
Intratubal Insemination (ITI)
Proses ITI merupakan penempatan sperma yang tidak dicuci
langsung ke tuba fallopi seorang wanita. Sperma dapat dipindahkan ke tabung
melalui kateter khusus yang berlangsung melalui leher rahim, naik melalui
rahim, dan masuk ke saluran tuba. Metode lainnya dari ITI adalah dengan operasi
laparoskopi. Sayangnya, inseminasi melalui ITI memiliki resiko lebih besar
untuk infeksi dan trauma, dan ada perdebatan dikalangan ahli tentang
kefektifannya daripada IUI biasa. Karena sifatnya invasif, biaya ITI lebih
tinggi, dan tingkat keberhasilannya tidak pasti.
Dengan adanya proses inseminasi ini, banyak pasangan yang
akhirnya berhasil memiliki buah hati. Namun, sering kali kemajuan teknologi ini
disalahgunakan. Yang paling populer adalah dengan adanya donor sperma, terutama
bagi kalangan lesbian atau penganut kebebasan hidup.
Pandangan
Agama terhadap Inseminasi
Pandangan Agama
Islam
Inseminasi pada
dasarnya bersifat netral. Namun kenetralan tersebut bisa berubah sesuai dengan hal-hal yang
mengiringi dilakukannya inseminasi. Jadi, meskipun memiliki daya guna tinggi, terapan sains
modern juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila
dilakukan oleh orang yang tidak beragama, tidak beriman dan tidak beretika
sehingga sangat potensial berdampak negatif dan fatal, sehingga hal tersebut
menjadi sebuah kejahatan. Oleh karena itu, kaedah dan ketentuan syariah
patut dijadikan sebagai pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini, sebab
penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama, etika dan
hukum yang berlaku di masyarakat.
Seorang pakar kesehatan
New Age dan pemimpin redaksi jurnal Integratif Medicine, DR. Andrew Weil sangat
merasa resah dan
mengkhawatirkan penggunaan inovasi teknologi kedokteran tidak pada tempatnya
yang biasanya terlambat untuk memahami konsekuensi etis dan sosial yang
ditimbulkannya. Oleh karena itu, Dr. Arthur Leonard Caplan, Direktur Center
for Bioethics dan Guru Besar Bioethics di University of Pennsylvania
menganjurkan pentingnya komitmen etika biologi dalam praktek teknologi
kedokteran apa yang disebut sebagai bioetika. Menurut John Naisbitt dalam High
Tech - High Touch (1999) bioetika bermula sebagai bidang spesialisasi pada
1960–an sebagai tanggapan atas tantangan yang belum pernah ada, yang diciptakan
oleh kemajuan di bidang teknologi pendukung kehidupan dan teknologi reproduksi.
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan
Islam termasuk masalah Kontemporer,
karena tidak terdapat hukumnya secara spesifik di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah
bahkan dalam kajian fiqh klasik sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini hendak
dikaji menurut hukum islam maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang
lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahid), agar dapat ditemukan
hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa al-Qur’an dan al-Sunnah yang
merupakan sumber pokok hukum Islam.
Namun, kajian masalah inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan
pendekatan multi disipliner,
tentunya oleh para ulama dan cendekiawan muslim dari berbagai disiplin
ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar
proporsional dan mendasar. Misalnya ahli kedokteran, peternakan, biologi,
hukum, agama dan etika.
Menurut Mahmud
Syaltut penghamilan buatan (jika menggunakan sperma donor) adalah pelanggaran
yang tercela dan dosa besar, setara dengan zina, karena memasukkan mani’ orang
lain ke dalam rahim perempuan tanpa ada hubungan nikah secara syara’, yang
dilindungi hukum syara’.
Hal senada
juga disampaikan oleh Yusuf
Al-Qardlawi. Beliau menyatakan bahwa Islam mengharamkan
pencakokan sperma apabila pencakokan itu bukan dari sperma suami.
Dengan demikian, dapat dikatakan hukum inseminasi buatan dan bayi tabung pada manusia
harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas. Bila dilakukan dengan sperma
atau ovum suami isteri sendiri, maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami
isteri tersebut benar-benar memerlukan inseminasi buatan untuk membantu
memperoleh keturunan. Hal ini sesuai
dengan kaidah ‘al-hajaatu tanzilu manzilah
al dharurah’ (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak
diperlakukan seperti keadaan darurat).
Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan
bantuan donor sperma dan ovum, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina.
Sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi itu tidak sah dan nasabnya hanya
berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan landasan menetapkan hukum
haram inseminasi buatan dengan donor ialah, pertama:
Artinya: Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak
Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari
yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas
kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan. (QS. Al-Isra’ 70)
Ayat tersebut
menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang mempunyai
kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan
Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa
menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama manusia.
Pemuliaan manusia bukan hanya dari sisi fisik, namun sisi keturunan pun Allah
bedakan dengan makhluk lain. Sehingga inseminasi buatan dengan donor itu pada
hakikatnya dapat merendahkan harkat manusia sejajar dengan tumbuh-tumbuhan dan
hewan yang diinseminasi.
Kedua; hadits Nabi Saw yang mengatakan, “tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah
dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang
lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh Ibnu
Hibban).
Berdasarkan hadits tersebut para ulama sepakat mengharamkan
seseorang melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil dari istri orang lain.
Tetapi mereka berbeda pendapat apakah sah atau tidak mengawini wanita hamil.
Menurut Abu Hanifah boleh, asalkan tidak melakukan senggama sebelum
kandungannya lahir. Sedangkan Zufar tidak membolehkan. Pada saat para imam
mazhab masih hidup, masalah inseminasi buatan belum timbul. Karena itu, kita
tidak bisa memperoleh fatwa hukumnya dari mereka.
Hadits ini juga dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan
inseminasi buatan pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum, karena kata maa’ dalam bahasa Arab bisa berarti air
hujan atau air secara umum, seperti dalam Surat
Thaha:53. Juga bisa berarti benda cair atau sperma seperti dalam Surat An-Nur:45 dan Al-Thariq:6.
Dalil lain untuk
syarat kehalalan inseminasi buatan bagi manusia harus berasal dari sperma dan
ovum pasangan yang sah menurut syariah adalah kaidah hukum fiqih yang
mengatakan “dar’ul mafsadah muqaddam ‘ala
jalbil mashlahah” (menghindari mafsadah atau mudharat harus
didahulukan daripada mencari atau menarik maslahah/ kebaikan).
Sebagaimana kita ketahui bahwa inseminasi buatan pada
manusia dengan donor sperma dan/atau ovum lebih banyak mendatangkan mudharat (dampak negatif) daripada maslahah (dampak positif). Maslahah yang
dibawa inseminasi buatan ialah membantu suami-isteri yang mandul, baik keduanya
maupun salah satunya, untuk mendapatkan keturunan atau yang mengalami gangguan
pembuahan normal. Namun mudharat dan mafsadahnya jauh lebih besar (jika menggunakan donor), antara lain berupa:
1. Percampuran
nasab, padahal Islam sangat menjaga
kesucian/kehormatan kelamin dan kemurnian nasab, karena nasab itu ada kaitannya
dengan kemahraman dan kewarisan.
2. Bertentangan
dengan sunnatullah atau hukum alam.]
3. Inseminasi
pada hakikatnya sama dengan prostitusi, karena terjadi percampuran sperma pria
dengan ovum wanita tanpa perkawinan yang sah.
4. Kehadiran
anak hasil inseminasi bisa menjadi sumber konflik dalam rumah tanggal.
5. Anak
hasil inseminasi lebih banyak unsur negatifnya daripada anak adopsi.
6.
Bayi tabung lahir tanpa melalui proses
kasih sayang yang alami, terutama bagi bayi tabung lewat ibu titipan yang
menyerahkan bayinya kepada pasangan suami-isteri yang punya benihnya sesuai
dengan kontrak, tidak terjalin hubungan keibuan secara alami. (QS. Luqman:14 dan Al-Ahqaf:14).
Adapun mengenai status anak hasil
inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau ovum menurut hukum Islam adalah
tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil prostitusi atau hubungan
perzinaan. Dan kalau kita bandingkan dengan bunyi pasal 42 UU Perkawinan No. 1
tahun 1974, “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah” maka tampaknya memberi pengertian bahwa anak hasil
inseminasi buatan dengan donor itu dapat dipandang sebagai anak yang sah.
Namun, kalau kita perhatikan pasal dan ayat lain dalam UU Perkawinan ini,
terlihat bagaimana peranan agama yang cukup dominan dalam pengesahan sesuatu
yang berkaitan dengan perkawinan. Misalnya pasal 2 ayat 1 (sahnya perkawinan),
pasal 8 (f) tentang larangan perkawinan antara dua orang karena agama
melarangnya, dan lain-lain. Lagi pula negara kita tidak mengizinkan inseminasi
buatan dengan donor sperma dan/atau ovum, karena tidak sesuai dengan konstitusi
dan hukum yang berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentar Untuk Perbaikan Postingan Selanjutnya !