BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia,
sebagai falsafah, ideologi, dan alat pemersatu bangsa Indonesia. Pancasila
merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang
majemuk. Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa dan negara
Indonesia? Kondisi ini dapat terjadi karena perjalanan sejarah dan kompleksitas
keberadaan bangsa Indonesia seperti keragaman suku, agama, bahasa daerah, pulau,
adat istiadat, kebiasaan budaya, serta warna kulit jauh berbeda satu sama lain
tetapi mutlak harus dipersatukan.
Disinilah pentingnya Pancasila sebagai dasar
pembentukan Karakter sebuah bangsa.
1.2. Tujuan Penulisan
1.
Untuk memenuhi salah satu tugas
2.
Untuk mengetahui pembentukan karakter bangsa
1.3. Metode Penulisan
1.
Metode pengambilan data dari sumber-sumber bacaan
2.
Mencari bahan dari internet
3.
Mengumpulkan informasi
1.4. Sistematika Penulisan
Di dalam makalah ini, penulis menggunakan sistematika penulisan
sebagai berikut :
1.
Pendahuluan
2.
Pembahasan
3.
Penutup
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pendidikan Pancasila
Sebagai Dasar Pembentukan Karakter Bangsa
Pada hakekatnya pendidikan pancasila adalah
upaya sadar diri suatu masyarakat dan pemerintah suatu Negara untuk menjamin
kelangsungan hidup dan kehidupan generasi penerusnya, selaku warga masyarakat,
bangsa dan Negara secara berguna (berkaitan dengan kemampuan spiritual) dan
bermakna (berkaitan dengan kemampuan kognitif dan psikomotorik) serta mampu
mengantisipasi hari depan mereka yang senantiasa berubah dan selalu terkait
dengan konteks dinamika budaya, bangsa, Negara, dan hubungan internasionalnya.
Berdasarkan UU no. 20 tahun 2003, tentang sistem
pendidikan nasional, pasal 2 menyatakan bahwa “ pendidikan Nasional Berdasarkan
pancasila dan UUD 1945 ”.
2.2. Jati Diri, Karakter, dan Kepribadian
Jati diri adalah ”diri yang sejati/sejatinya
diri”. Secara budaya adalah ”ciri bawaan sejak lahir/merupakan fitrah” yang
menunjukkan siapa sebenarnya diri kita secara ”fisik maupun psikologis”,
bersifat bawaan sejak lahir (gift), serta merupakan sumber dari watak/karakter
dan totalitas kepribadian seseorang.
Karakter adalah ‘distinctive trait, distinctive
quality, moral strength, the pattern of behavior found in an individual or
group’. Kamus Besar Bahasa Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang ada
adalah kata ‘watak’ yang diartikan sebagai: sifat batin manusia yang
mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat. Dalam
risalah ini, dipakai pengertian yang pertama, dalam arti bahwa karakter itu
berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi,
‘orang berkarakter’ adalah orang punya kualitas moral (tertentu) yang positif.
Dengan demikian, pendidikan membangun karakter,
secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang
didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan
yang negatif atau yang buruk.
Peterson dan Seligman, dalam buku ’Character
Strength and Virtue, mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan
kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang
membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character
strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan
sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik,
yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Dalam kaitannya dengan
kebajikan, Peterson dan Seligman mengidentifikasikan 24 jenis karakter.
Kepribadian, merupakan penampilan (lebih ke
psikologis) seseorang yang terpancar dari karakter. Namun penampilan ini belum
tentu mencerminkan karakter yang bersangkutan, karena dapat saja tertampilkan
sangat bagus tetapi didorong oleh ”kemunafikan”. Dengan demikian untuk mengenal
seseorang secara lengkap diperlukan waktu, karena yang terpancar sebagai
lingkaran terluar adalah kepribadian yang bisa mengecoh, sementara lingkaran
kedua adalah karakter dan lingkaran terdalam adalah jati dirinya.
Secara visual hubungan antara jatidiri, karakter
dan kepribadian dapat digambarkan sebagai berikut:
2.3. Beberapa manifestasi krisis karakter di Indonesia
Dalam kasus Indonesia,
krisis karakter, mengakibatkan bangsa Indonesia kehilangan kemampuan untuk
mengerahkan potensi masyarakat guna mencapai cita-cita bersama. Krisis karakter
ini seperti penyakit akut yang terus menerus melemahkan jiwa bangsa, sehingga
bangsa kita kehilangan kekuatan untuk tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang
maju dan bermartabat di tengah-tengah bangsa lain di dunia.
Krisis karakter di Indonesia tercermin dalam banyak fenomena sosial ekonomi yang secara umum dampaknya menurunkan kualitas kehidupan masyarakat luas.
Krisis karakter di Indonesia tercermin dalam banyak fenomena sosial ekonomi yang secara umum dampaknya menurunkan kualitas kehidupan masyarakat luas.
Korupsi, mentalitas peminta-minta, konflik
horizontal dengan kekerasan, suka mencari kambing hitam, kesenangan merusak
diri sendiri, adalah beberapa ciri masyarakat yang mengalami krisis karakter.
Korupsi, korupsi adalah salah satu bentuk krisis karakter yang dampaknya sangat buruk bagi bangsa Indonesia. Korupsi menjadi penghambat utama kemajuan ekonomi bangsa ini, dan pada gilirannya menjadi sumber dari berkembangnya kemiskinan di Indonesia. Dalam pergaulan internasional, posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia telah menyebabkan bangsa ini kehilangan martabat di tengah-tengah bangsa lain. Korupsi terjadi karena orang-orang kehilangan beberapa karakter baik, terutama sekali kejujuran , pengendalian diri (self regulation), dan tanggung jawab sosial.
Korupsi, korupsi adalah salah satu bentuk krisis karakter yang dampaknya sangat buruk bagi bangsa Indonesia. Korupsi menjadi penghambat utama kemajuan ekonomi bangsa ini, dan pada gilirannya menjadi sumber dari berkembangnya kemiskinan di Indonesia. Dalam pergaulan internasional, posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia telah menyebabkan bangsa ini kehilangan martabat di tengah-tengah bangsa lain. Korupsi terjadi karena orang-orang kehilangan beberapa karakter baik, terutama sekali kejujuran , pengendalian diri (self regulation), dan tanggung jawab sosial.
Kesenangan merusak diri
sendiri. Di samping korupsi, memudarnya karakter di Indonesia ditunjukkan oleh
meningkatnya ‘kesenangan’ dari sebagian warganya terlibat dalam kegiatan atau
aksi aksi yang berdampak merusak atau menghancurkan diri –bangsa kita- sendiri
(act of self distruction). Ketika bangsa-bangsa lain bekerja keras mengerahkan
potensi masyarakatnya untuk meningkatkan daya saing negaranya, kita di
Indonesia sebagian dari kita malah dengan bersemangat memakai energi masyakat
untuk mencabik-cabik dirinya sendiri, dan sebagian besar yang lain terkesan
membiarkannya.
Memecahkan perbedaan
pendapat atau pandangan dengan menggunakan kekerasan, secara sistematik
mengobarkan kebencian untuk memicu konflik horizontal atas dasar SARA, dan
menteror bangsa sendiri adalah beberapa bentuk dari kegiatan merusak diri
sendiri. Ini terjadi karena makin memudarnya nilai-nilai kemanusiaan yang
mencakup semangat dan kesediaan untuk bertumbuh kembang bersama, secara damai,
dalam kebhinekaan.
Hipokrisi atau Kemunafikan.
Di atas telah disampaikan bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara
dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia. Namun, di pihak lain masyarakat
Indonesia nampaknya adalah masyarakat yang sangat rajin melakukan kegiatan
keagamaan. Bahkan tidak jarang orang Indonesia membanggakan diri sebagai
masyarakat yang hidupnya sangat religius, dan sepanjang yang saya ketahui,
tindakan korupsi, atau mengambil yang bukan haknya atau milik orang lain,
seperti juga mencuri, dilarang oleh semua agama. Sungguh sebuah ‘keganjilan’
bahwa masyarakat yang merasa riligius namun negaranya penuh korupsi.
Lebih memprihantinkan lagi
adalah bahwa menurut salah seorang penjabat KPK, lembaga negara yang paling
korup adalah Departemen Agama . Apabila pernyataan tersebut didasarkan pada
data yang dapat dipercaya, maka hal ini adalah contoh yang paling nyata dari
hipokrisi di Indonesia, di samping sekian banyak contoh yang lain. Hipokrisi
atau kemunafikan mengandung arti kepura-puraan atau menyuruh atau menasihati
orang lain melakukan hal yang baik namun dia sendiri melakukan hal sebaliknya.
Mentalitas makan siang
gratis. Berkembangnya mentalitas ‘makan siang gratis, adalah fenomena lain yang
menunjukkan krisis karakter. Ini adalah sikap mental yang memandang bahwa
kemajuan bisa diperoleh secara mudah, tanpa kerja keras, bisa dicapai dengan
menandahkan tangan dan dengan menuntut kekiri dan kekanan.
Kesenangan mencari kambing
hitam. Kebiasaan menimpakan kesalahan kepada orang lain, merupakan salah satu
karakter yang menghambat kemajuan. Ini bukan kekuatan, namun kelemahan. Di masa
lalu kita masih sering mendengar banyak orang menyatakan bahwa sulitnya
Indonesia mencapai kemajuan lama sesudah kemerdekaan adalah akibat ulah
penjajah Belanda.
Dalam mencari penyebab
rusaknya ekonomi Indonesia sekarang kita punya kambing hitam baru, konpirasi
Amerika Serikat, IMF, World Bank, dan akibat dominasi golongan minoritas.
Seandainya sinyalemen itu benar, sebenarnya ada cara bertanya yang lain:
Apa yang salah dengan
bangsa kita yang menyebabkan kita beratus-ratus tahun bisa dijajah oleh Belanda
-kerajaan yang sangat kecil dari jumlah penduduk dan luas wilayah; bisa menjadi
korban konspirasi Amerika Serikat, IMF dan World Bank, dan kelompok mayoritas
belum bisa menguasai sebagaian besar kegiatan ekonomi di Indonesia ? Pertanyaan
terakhir ini jarang sekali dikemukakan, karena adanya arogansi bahwa ’kami
selalu benar’. Akibatnya, bangsa kita kurang bisa belajar dari pengalamannya
sendiri, dan kurang mampu berubah ke arah yang lebih baik karena merasa bahwa
tak ada yang perlu diperbaiki pada diri kita.
2.4. Membentuk Karakter Bangsa Lewat Pendidikan
Aspek pendidikan adalah
aspek terpenting dalam membentuk karakter bangsa. Dengan mengukur kualitas
pendidikan, maka kita dapat melihat potret bangsa yang sebenarnya, karena aspek
pendidikanlah yang menentukan masa depan seseorang, apakah dia dapat memberikan
suatu yang membanggakan bagi bangsa dan dapat mengembalikan jati diri bangsa
atau sebaliknya. Pendidikan seperti apa yang diberikan agar anak didik memiliki
karakter bangsa dan mampu mengembalikan jati diri bangsa dan mampu membentuk elemen-elemen
dalam core values? Apakah masalah yang terdapat dalam otoritas pelaksana
pendidikan di bangsa ini? Setidaknya ada empat faktor utama yang harus
diperhatikan: faktor kurikulum, dana yang tersedia untuk pendidikan, faktor
kelaikan tenaga pendidik, dan faktor lingkungan yang mendukung bagi
penyelenggaraan pendidikan. Keempat faktor ini terkait satu sama lain untuk
dapat menghasilkan SDM dengan karakter nasional yang mampu bersaing di era
global, yang akhirnya dapat mengembalikan jati diri bangsa.
Pada masalah aspek otoritas
pendidikan, anak didik sebetulnya hanya ditekankan pada sapek kognitif saja.
Akibatnya adalah anak didik yang diberi materi pelajaran hanya sekedar ‘tahu’
dan ‘mengenal’ dengan apa yang didapatkannya, tanpa memahami apa yang mereka
pelajari apalagi menerapkannya pada kehidupan sehari-hari.
Padahal aspek yang lainnya,
seperti afektif dan psikomotorik adalah hal penting yang harus didik. Karena
institusi pendidikan seharusnya dapat membuat anak didik menerapkan apa yang
diajari, karena sesungguhnya itulah kegunaan dari ilmu pengetahuan. Apakah anak
didik di bangsa ini hanya akan menjadi ‘manusia robot’ yang tidak memiliki rasa
toleransi dan apatis pada kehidupan sosialnya? Lalu bagaimana generasi seperti
ini dapat mengembalikan jati diri bangsa?
Kita tidak tahu standar apa
yang dipakai dalam otoritas pendidikan di negara ini, yang akhirnya anak didik
yang dihasilkan dari institusi pendidikan di negara ini tidak banyak yang mampu
untuk menerapkan ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan di tempat
pendidikannya, apalagi untuk mengajarkannya pada orang lain. Penanaman karakter
anak didik dengan mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik tidak akan
berhasil menghasilkan generasi penerus yang memberikan dampak positif bagi
bangsa.
Mungkin memang nilai di
atas kertas raport dan IPK terlihat bagus dan memuaskan, akan tetapi ketika
anak didik tidak mampu menerapkan ilmu yang mereka dapatkan apa gunanya ilmu
yang mereka punya? Otoritas pendidikan harus menerapkan aspek-aspek pendidikan
yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan PBB, UNESCO, yaitu belajar untuk tahu
(learn to know), belajar untuk berbuat (learn to do), belajar untuk menjadi
diri sendiri (learn to be her/himself), belajar untuk hidup bersama (learn to
live together). Ketika semua aspek itu dapat dijalankan maka bangsa ini akan
memiliki generasi yang dapat dibanggakan, bagi bangsa maupun bagi seluruh
dunia.
Pendidikan bukan hanya
transfer ilmu tanpa aktualisasi ilmu, akan tetapi pembentukan karakter diri dan
bangsa dengan ilmu yang didapat, hingga akhirnya mereka para generasi muda
dapat mengembalikan jati diri bangsa dengan ilmu yang mereka punya.
Banyaknya faktor atau media
yang mempengaruhi pembentukan karakter ini menyebabkan pendidikan untuk
pengembangan karakter bukan sebuah usaha yang mudah. Secara normatif,
pembentukan atau pengembangan karakter yang baik memerlukan kualitas lingkungan
yang baik juga. Dari sekian banyak Faktor atau media yang berperan dalam
pembentukan karakter, dalam risalah ini akan dilihat peran tiga media yang saya
yakini sangat besar pengaruhnya yaitu: keluarga, media masa, lingkungan sosial,
dan pendidikan formal.
Keluarga adalah komunitas
pertama di mana manusia, sejak usia dini, belajar konsep baik dan buruk, pantas
dan tidak pantas, benar dan salah. Dengan kata lain, di keluargalah seseorang,
sejak dia sadar lingkungan, belajar tata-nilai atau moral. Karena tata-nilai
yang diyakini seseorang akan tercermin dalam karakternya, maka di keluargalah
proses pendidikan karakter berawal.
Pendidikan di keluarga ini
akan menentukan seberapa jauh seorang anak dalam prosesnya menjadi orang yang
lebih dewasa, memiliki komitmen terhadap nilai moral tertentu seperti
kejujuran, kedermawanan, kesedehanaan, dan menentukan bagaimana dia melihat
dunia sekitarnya, seperti memandang orang lain yang tidak sama dengan dia
–berbeda status sosial, berbeda suku, berbeda agama, berbeda ras, berbeda latar
belakang budaya.
Di keluarga juga seseorang
mengembangkan konsep awal mengenai keberhasilan dalam hidup ini atau pandangan
mengenai apa yang dimaksud dengan hidup yang berhasil, dan wawasan
mengenai masa depan.
mengenai masa depan.
Dari sudut pandang
pentingnya keluarga sebagai basis pendidikan karakter, maka tidak salah kalau
krisis karakter yang terjadi di Indonesia sekarang ini bisa dilihat sebagai
salah satu cerminan gagalnya pendidikan di keluarga. Korupsi misalnya, bisa
dilihat sebagai kegagalan pendidikan untuk menanamkan dan menguatkan nilai
kejujuran dalam keluarga. Orang tua yang membangun kehidupannya di atas
tindakan yang korup, akan sangat sulit menanamkan nilai kejujuran pada
anak-anaknya. Mereka mungkin tidak menyuruh anaknya agar menjadi orang yang
tidak jujur, namun mereka cenderung tidak akan melihat sikap dan perilaku jujur
dalam kehidupan sebagai salah satu nilai yang sangat penting yang harus
dipertahankan mati-matian. Ini mungkin bisa dijadikan satu penjelasan mengapa
korupsi di Indonesia mengalami alih generasi. Ada pewarisan sikap permisif
terhadap korupsi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Media masa. Dalam era
kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi sekarang ini, salah satu faktor
yang berpengaruh sangat besar dalam pembangunan atau sebaliknya juga perusakan
karakter masyarakat atau bangsa adalah media massa, khususnya media elektronik,
dengan pelaku utamanya adalah televisi. Sebenarnya besarnya peran media,
khususnya media cetak dan radio, dalam pembangunan karakter bangsa telah
dibuktikan secara nyata oleh para pejuang kemerdekaan.
Bung Karno, Bung Hattta, Ki Hajar Dewantoro,
melakukan pendidikan bangsa untuk menguatkan karakter bangsa melalui
tulisan-tulisan di surat kabar waktu itu. Bung Karno dan Bung Tomo mengobarkan
semangat perjuangan, keberanian dan persatuan melalui radio. Mereka, dalam
keterbatasannya, memanfaatkan secara cerdas dan arif teknologi yang ada pada
saat itu untuk membangun karakter bangsa, terutama sekali: kepercayaan diri
bangsa, keberanian, kesediaaan berkorban, dan rasa persatuan.
Sayangnya kecerdasan dan
kearifan yang telah ditunjukkan generasi pejuang kemerdekaan dalam memanfaatkan
media massa untuk kepentingan bangsa makin sulit kita temukan sekarang. Media
massa sekarang memakai teknologi yang makin lama makin canggih. Namun tanpa
kecerdasan dan kearifan, media massa yang didukung teknologi canggih tersebut
justru akan melemahkan atau merusak karakter bangsa. Saya tidak ragu
mengatakan, media elektronik di Indonesia , khususnya televisi, sekarang ini
kontribusinya ’nihil’ dalam pembangunan karakter bangsa. Saya tidak bermaksud
untuk mengatakan bahwa tidak ada program televisi yang baik. Namun sebagian
besar program televisi justru lebih menonjolkan karakter buruk daripada
karakter baik. Sering kali pengaruh lingkungan keluarga yang baik justru
dirusak oleh siaran media televisi.
Di keluarga, anak-anak
dididik untuk menghindari kekerasan, namun acara TV justru penuh dengan adegan
kekerasan. Di rumah, anak-anak dididik untuk hidup sederhana, namun acara
sinetron di tevisi Indonesia justru memamerkan kemewahan. Di rumah anak-anak
dididik untuk hidup jujur, namun tayangan di televisi Indonesia justru secara
tidak langsung menunjukkan ’kepahlawanan’ tokoh-tokoh yang justru di mata
publik di anggap ’kaisar’ atau ’pangeran-pangeran’ koruptor. Para guru agama
mengajarkan bahwa membicarakan keburukan orang lain dan bergosip itu tidak
baik, namun acara televisi, khususnya infotainment, penuh dengan gosip.
Bapak dan ibu guru di
sekolah mendidik para murid untuk berperilaku santun, namun suasana sekolah di
sinetron Indonesia banyak menonjolkan perilaku yang justru tidak santun dan
melecehkan guru. Secara umum, banyak tayangan di televisi Indonesia, justru
’membongkar’ anjuran berperilaku baik yang ditanamkan di di rumah oleh orang
tua dan oleh para guru di sekolah.
Pendidikan formal. Pendidikan formal,
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, diharapkan berperan besar dalam
pembangunan karakter. Lembaga-lembaga pendidikan formal diharapkan dapat
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun demikian pengalaman Indonesia selama empat
dekade terakhir ini menunjukkan bahwa sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dengan
cara-cara pendidikan yang dilakukannya sekarang belum banyak berkontribusi
dalam hal ini. Di atas telah diuraikan, kecenderungan lembaga pendidikan formal
yang merosot hanya menjadi lembaga-lembaga pelatihan adalah salah satu sumber
penyebabnya. Pelatihan memusatkan perhatian pada pengembangan keterampilan dan
pengalihan pengetahuan.
Sedangkan pendidikan mencakup bahkan
mengutamakan pengembangan jati diri atau karakter, tidak terbatas hanya pada
pengalihan pengetahuan atau mengajarkan keterampilan. Harus diakui bahwa
pendidikan formal di sekolah-sekolah di Indonesia, dari sekolah dasar sampai
perguruan tinggi, secara umum menghabiskan bagian terbesar waktunya untuk
melakukan pelatihan daripada pendidikan. Kegiatan pendidikan telah teredusir
menjadi kegiatan ’mengisi’ otak para siswa sebanyak-banyaknya, dan kurang
perhatian pada perkembangan ’hati’ mereka.
Keberhasilan seorang guru diukur dari
kecepatannya ’mengisi’ otak para siswanya. Sekolah menjadi ’pabrik’ untuk
menghasilkan orang-orang yang terlatih, namun belum tentu terdidik.
Namun demikian, ini tidak berarti bahwa secara
praktek pendidikan sama sekali terpisah dari pelatihan. Dalam pendidikan
dikembangkan juga berbagai keterampilan. Namun pengembangan keterampilan saja
tidak dengan sendirinya berarti pendidikan, walaupun hal itu dilakukan pada
lembaga yang secara resmi diberi nama lembaga pendidikan, seperti universitas,
institut teknologi, dan yang lainnya.
Di pihak lain, seorang pelatih yang bermutu
dapat dengan cerdas memakai kegiatan pelatihan menjadi kendaraan efektif untuk
pendidikan. Pelatih sepak bola dapat memakai kegiatan pelatihan untuk
menumbuhkan dan menguatkan sikap sportif, gigih, kerjasama tim, kesediaan
berbagi, berlapang dada dalam kekalahan, dan rendah hati dalam kemenangan.
Masalah kita sekarang, tanpa disadari sudah
terjadi degradasi proses-proses dan program-program yang dimaksudkan untuk
pendidikan menjadi proses dan program pelatihan. Di pihak lain belum nampak
tanda-tanda kegiatan pelatihan dimanfaatkan secara optimal sebagai wahana untuk
pendidikan.
2.5.
Manfaat Pendidikan
Pancasila dalam Membangun Karakter Bangsa
Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia,
sebagai falsafah, ideologi, dan alat pemersatu bangsa Indonesia. Pancasila
merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang
majemuk. Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa dan negara
Indonesia? Kondisi ini dapat terjadi karena perjalanan sejarah dan kompleksitas
keberadaan bangsa Indonesia seperti keragaman suku, agama, bahasa daerah,
pulau, adat istiadat, kebiasaan budaya, serta warna kulit jauh berbeda satu
sama lain tetapi mutlak harus dipersatukan.
Sila pertama dari Pancasila yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa merupakan landasan berbangsa dan bernegara yang implementasinya mewajibkan
semua manusia Indonesia harus ber-ketuhanan. Karena keberadaan Tuhan melingkupi
semua wujud dan sifat dari alam semesta ini, diharapkan manusia Indonesia dapat
menyelaraskan diri dengan dirinya sendiri, dirinya dengan manusia-manusia lain
di sekitarnya, dirinya dengan alam, dan dirinya dengan Tuhan. Keselarasan ini
menjadi tanda dari manusia yang telah meningkat kesadarannya dari kesadaran
rendah menjadi kesadaran manusia yang manusiawi.
Tingkat kesadaran manusia dapat dibagi menjadi 3
kelompok, yang pembagiannya adalah sebagai berikut:
Kelompok 1
Yaitu manusia yang berkesadaran rendah, dimana
segala perilakunya hanya mementingkan diri sendiri, dirinya selalu dikuasai
oleh nafsu atau perilaku hewani dan iblis. Mereka tidak bisa bekerja
berorientasi ke luar dirinya, semuanya serba keakuan atau berorientasi kepada
kepuasan dirinya.
Kelompok 2
Yaitu manusia yang sudah meningkat kualitas
dirinya dari kualitas manusia rendah kepada manusia yang manusiawi. Sifat dari
orang yang sudah manusiawi ini pada setiap pekerjaan berorientasi ke luar,
tidak mementingkan dirinya sendiri, melainkan berorientasi kepada masyarakat
atau dunia sekelilingnya. Manusia yang manusiawi ini, berwujud manusia,
berpikir manusia, berhati manusia, berucap manusia, berpandangan manusia, dan
berbuat manusia. Mereka telah dapat menyelaraskan antara pikiran, ucapan, suara
hatinya, dan perbuatannya di dalam segala tindakannya.
Kelompok 3
Yaitu manusia yang berkesadaran ketuhanan.
Manusia yang berada kelompok ini adalah kelompok eksklusif atau kelompok yang
langka, di mana kesadaran mereka sudah sampai pada peleburan dengan kesadaran
Tuhan. Mereka sudah tidak ada tujuan, pandangannya sudah tidak mengandung
dualisme lagi mereka telah menyatu dengan Yang Maha Kuasa. Mereka telah
mencapai tujuannya, mereka telah menjadi manusia yang sempurna.
Dari tiga kelompok kesadaran manusia ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan sila pertama Pancasila, yaitu tentang
Ketuhanan Yang Maha Esa, implikasinya manusia Indonesia secara ideal harus
mencapai tingkatan manusia yang sempurna, manusia yang dapat meleburkan dirinya
dengan Tuhan di dalam kehidupannya sekarang di dunia, atau dengan kata lain
Insan Kamil.
Dalam rangka mewujudkan manusia yang sempurna
ini harus melalui jalan yang terjal, jalan ini memang benar-benar ada bukan
semata-mata hanya khayalan saja. Ada nama atau sebutannya pasti ada wujudnya,
dan ada manusia yang sudah pernah mencapainya. Siapa mereka ? Mereka merupakan
manusia yang suci yang kalau di Islam biasa disebut Wali Yullah, atau dalam
agama lain disebut Budha atau Dewa dan lain sebagainya.
Sebelum mencapainya kita terlebih dahulu harus
mengetahui karakter manusia yang berkesadaran rendah atau binatang. Pada
manusia yang berkesadaran rendah setiap kualitas kerjanya akan berorientasi kepada
kepentingan pribadi dan egonya, mereka itu selalu dikuasai oleh segala sesuatu
yang ada di muka bumi atau segala sesuatu dari hasil kerjanya. Mereka tidak
bisa memerdekakan dirinya dari segala perbudakan, mereka adalah tipe budak,
mereka egois, serakah, tamak, jahil, jahat, berpikiran sempit dan lain-lain.
Segala perbuatannya berorientasi keuntungan untuk diri sendiri. Tidak ada
kesadaran akan ketuhanan, yang ada kelekatan akan segala sesuatu.
Karena begitu liarnya sifat kebinatangan dan
keiblisan di dalam dirinya maka mereka itu sangat memerlukan suatu koridor
hukum agar mereka dapat tertib dan terkendali. Yang harus ditertibkan yaitu
sifat atau perilaku liarnya. Ajaran agama dan hukum-hukum yang lainnya sangat
diperlukan untuk pengendalian diri. Gunanya agar sifat liar tersebut menjadi
tertib. Kalau sudah tertib sifat liarnya maka mereka akan mudah mengendalikan
diri dan dapat mengoptimalkan kemampuan dirinya, dan mereka dapat meningkat ke
tingkat kesadaran yang lebih tinggi yaitu manusia yang manusiawi.
Yang tercantum sebagai sila pertama Pancasila
ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan agama. Jika agama dicantumkan sebagai sila
pertama, pasti keadaan menjadi kacau karena banyak penganut agama dan penganut
kepercayaan yang menjadi ribut menginginkan agama atau kepercayaannya dijadikan
sebagai landasannya sehingga menimbulkan pandangan yang sempit. Akibatnya,
kekacauan terjadi di mana-mana dan tidak ada kesatuan.
Semua agama di mata Tuhan adalah sama adanya,
tetapi di dalam pandangan manusia tidak sama karena agama adalah aturan atau
sarana pengendalian yang di dalamnya mengandung hak dan kewajiban yang harus
ditaati dan dilaksanakan di dalam kehidupan masing-masing penganutnya. Karena
itu, manusia harus memilih dari sekian banyak agama sebagai aturan yang harus
ditaati dan dijalankan dalam kehidupannya sendiri. Tidak boleh mengimani semua
agama karena tidak akan dapat melaksanakan semua ajarannya. Harus memilih salah
satu dari agama dan kepercayaan yang ada.
Semua agama baik dan benar jika para penganutnya
dapat meningkatkan kesadarannya dari manusia yang berkesadaran rendah, naik
menjadi manusia yang manusiawi atau kesadaran manusia, lalu naik ke tingkat
"Kesadaran Ketuhanan". Apabila manusia meyakini suatu ajaran agama,
tetapi ternyata mereka tidak meningkat kesadarannya malahan mereka tetap berada
dalam kesadaran rendah, bahkan lebih rendah lagi maka yang salah bukan ajaran
agamanya, melainkan para penganutnya yang salah kaprah atau salah dalam
pemahamannya sehingga tidak ada perubahan kebaikan dalam kehidupannya, mereka
itu merupakan manusia yang sesat.
Pada kondisi saat ini perilaku para pengikut
ajaran agama memperlihatkan rendahnya kondisi kesadaran mereka. Mereka
menyempitkan ruang lingkup agama itu sendiri dan mereka mengkotak-kotakkannya.
Itu semua menjadikan mereka lebih buas dan sadis, mereka berpandangan sempit,
kadang-kadang menyesatkan. Karena adanya kedangkalan akan ketuhanan maka mereka
mudah sekali dipengaruhi oleh pandangan-pandangan dari luar dan mereka mudah
sekali diadu domba dan diperdaya oleh orang lain.
Zaman dahulu orang jahiliyah berperilaku kejam
dan sadis karena belum ada agama yang masuk ke dalam dirinya. Sekarang meskipun
agama masuk dan sudah ribuan tahun usia agama, kualitas dirinya bukannya lebih
baik melainkan sebaliknya lebih jahiliyah dari sebelumnya. Ini menandakan bahwa
setiap penganut agama memerlukan pembimbing yang sudah menyatu dengan Tuhan
agar mereka mendapatkan pencerahan dari apa yang mereka anut.
Terlalu panjangnya rentang waktu antara kita dan
penyebar agama menjadikan pandangan terhadap agama pun berubah. Untuk
menghindari agar ajaran agama tidak menyimpang, kita memerlukan pembimbing yang
sempurna. Apakah ada ? Ya, pasti ada. Hanya, bagaimana kita dapat mengetahui
keberadaan mereka bila hati kita buta, dan kita masih tertidur lelap dalam
kebodohan dan ketidaksadaran. Biarpun mereka ada di depan kita, kita tidak
dapat mengetahuinya, kecuali kalau kita sudah terbangun dari kesadaran rendah,
hati yang buta dapat melihat kembali. Dengan sendirinya kita dapat menyaksikan
pembimbing sempurna tadi di dalam hidupnya.
Mengapa dalam sila pertama Pancasila harus
berketuhanan dulu ? Tanpa ketuhanan semua menjadi mati tidak hidup karena Tuhan
merupakan hidup itu sendiri ! Sekarang orang beragama tanpa ketuhanan maka
agamanya menjadi mati tidak berjiwa, dan mereka akan berubah menyembah agama
bukan menyembah Tuhan, atau primodial sempit. Kalau semua pemeluk agama sudah
menyadari tentang ketuhanan masing-masing, tidak ada lagi pertentangan karena
pertentangan itu hanya ada di kelompok bawah atau kesadaran rendah, dalam
tataran kelompok "Kesadaran Ilahi" sudah tidak ada pertentangan dalam
segala sesuatunya. Dengan Sila Ketuhanan sebagai sila pertama maka tidak ada
lagi pertentangan antara satu dengan yang lain mengenai Tuhan yang melingkupi
seluruh alam semesta ini.
Kalau sudah banyak jumlah penduduk Indonesia
yang sudah ber-ketuhanan dalam tataran manusia yang manusiawi maka Pancasila
sudah bisa menjadi pemersatu seluruh bangsa Indonesia, dan Indonesia sudah
masuk dalam keadaan pencerahan dan kemakmuran.
Kalau kesadaran rendah yang menguasai rakyat
Indonesia dan pemimpinnya maka keadaan Indonesia seperti hutan rimba. Rakyat
dan pemimpin semua binatang (badannya manusia tetapi di dalamnya berisi sifat
binatang) maka tidak akan ada kemakmuran atau kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, pembangunan Indonesia harus
mengarah kepada kesempurnaan manusia dan harus dapat memanusiakan manusia,
bukan membangun secara fisiknya saja tetapi juga harus berdampak pada kualitas
manusia dan merubah peradaban manusianya maka bumi Indonesia menjadi layak
sebagai tempat tinggal manusia (surga dunia).
Pada saat ini pembangunan fisik, teknologi, dan
ilmu pengetahuan di dunia telah maju pesat, tetapi kondisi manusia menjadi jauh
sekali dari kondisi manusia yang sempurna kemanusiaanya. Kita sekarang menjadi
robot-robot hidup yang penuh dengan ketakutan-ketakutan yang diakibatkan oleh
penemuan manusia itu sendiri, tidak mengarah kepada kedamaian dan ketenangan
yang dibutuhkan dan diinginkan oleh manusia yang sudah sadar. Mereka tidak tahu
arah hidupnya, mereka menjadi budak-budak konsumsi dari apa yang mereka
ciptakan sendiri, yang akhirnya hati mereka mati. Mereka terlalu mempertuhankan
apa yang mereka ciptakan, mereka terlalu diperbudak oleh otak kiri (akalnya)
mereka. Mereka tidak mempergunakan kemampuan otaknya secara sempurna, yaitu
menggunakan otak kiri, otak kanan dan bawah sadar, serta kekuatan hati nurani.
Karena kebimbangan serta stress yang
berkepanjangan, mereka tidak dapat menemukan jati dirinya. Diri mereka selalu
dihubungkan dan dilekatkan dengan dunia luar. Semua yang ada di luar dirinya
menjadi melekat dan memperbudak mereka, mereka menjadi budak dan terpenjara
selama-lamanya.
Oleh karena, itu kita harus berani merubah
tatanan yang sudah mapan dalam kegelapan dan kebodohan ini. Bangun dan sadar
dari apa yang mereka sadari, bangkitkan kemampuan mereka, cukup dengan satu
orang yang sudah sampai ke dalam kesadaran ketuhanan, dia dapat menggunakan
kekuatannya untuk membangunkan manusia yang terlena dalam kegelapan.
Jadi, sila pertama dalam Pancasila merupakan
pengikat dan pemersatu bangsa serta harus diresapi dan dijalankan serta diraih
dalam kehidupan manusia sekarang ini. Baik secara pribadi, kemasyarakatan
maupun dalam bernegara. Jika semua kehidupan manusia Indonesia dijiwai dan
dilandasi oleh sifat ketuhanan maka negara pun akhirnya menjadi berlandaskan
ketuhanan. Kalau semua lini kehidupan berdasarkan ketuhanan maka kemakmuran dan
keharmonisan dengan alam sudah menjadi milik bangsa Indonesia, dengan
sendirinya bangsa Indonesia akan adil dan makmur serta menjadi mercu suar
dunia.
Untuk menjalankan sila kedua Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab, sila ketiga Persatuan Indonesia, sila keempat Kerakyatan Yang
Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan, serta
sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, semua ini dapat
dilakukan jika manusia Indonesia meningkat sampai ke tingkat kesadaran manusia
yang manusiawi. Jika manusia Indonesia masih belum berketuhanan maka sila-sila
tersebut tidak dapat di jalankan karena mereka masih dalam kesadaran rendah
dengan sendirinya mereka masih terpenjara oleh nafsu, ego, dan sifat-sifat
rendah lainnya, tidak mungkin memikirkan orang lain, yang dipikir hanya dirinya
sendiri saja.
Hanya manusia yang sudah berketuhananlah yang dapat melaksanakan sila-sila Pancasila dengan sebenar-benarnya. Inilah yang terpenting dalam bermasyarakat dan bernegara di Republik Indonesia, sebagai azas yang melandasi segala sendi kehidupan masyarakat Indonesia.
Hanya manusia yang sudah berketuhananlah yang dapat melaksanakan sila-sila Pancasila dengan sebenar-benarnya. Inilah yang terpenting dalam bermasyarakat dan bernegara di Republik Indonesia, sebagai azas yang melandasi segala sendi kehidupan masyarakat Indonesia.
Pancasila diharapkan sebagai jalan hidup yang
akan dapat mengatasi masalah yang paling mendasar dihadapi bangsa Indonesia, di
samping Pancasila itu sendiri digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan
pembangunan, ketertiban dan keamanan. Dengan begitu Pancasila akan dapat pula
tetap menjadi falsafah dan ideologi bagi masyarakat Indonesia yang moderen.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Pendidikan Pancasila sangat bermanpaat dalam
membangun karakter bangsa karena dengan mempelajari pendidikan pancasila dapat
menimbulkan kesadaran dalam diri manusia itu sendiri, karena sesungguhnya
pembangunan Indonesia harus mengarah kepada kesempurnaan manusia dan harus
dapat memanusiakan manusia, bukan membangun secara fisiknya saja tetapi juga
harus berdampak pada kualitas manusia dan merubah peradaban manusianya maka
bumi Indonesia menjadi layak sebagai tempat tinggal manusia (surga dunia),
bukan tempat bagi manusia jadi-jadian.
3.2. Saran
Dalam membangun karakter bangsa sebaiknya dengan
menerapkan nilai-nilai yang terkandung pada pancasila karena jika suatu bangsa
dapat mengamalkannya maka akan terbentuk suatu bangsa berkarakter tangguh serta
akan di dapati Negara yang aman dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
·
Sirnagalih (2009). Pancasila Adalah Jati Diri Bangsa.
From
http://id.sirnagalih.org/artikel/artikel-dari-guru/83-pancasila-adalah-jati-diri-bangsa-.html,
31 desember 2009
·
Gebe (2009). Membangun Karakter Dan Memperkuat Identitas Nasional Indonesia. From http: //gebe.blogdetik.com/
membangun-karakter-dan-memperkuat-identitas-nasional-indonesia/#more-44, 31
Desember 2009
·
Syahnakri (2009). Renungan Kebangsaan Dan Pancasila.
From
http://syahnakri.blogspot.com/2009/11/renungan-kebangsaan-dan-pancasila.html,
31 Desember 2009
·
Hinu (2007). Pendidikan Membangun Karakter. From
http://old.nabble.com/-sastra-pembebasan--Pendidikan-Membangun-Karakter---Gede-Raka-p9632706.html,
31 Desember 2009
·
Mardoto (2009). Urgensi pendidikan kewarganegaraan.
From http://mardoto.wordpress.com/2009/03/06/seri-002-mahasiswa-urgensi-pendidikan-kewarganegaraan-menurut-saya/,
31 Desember 2009
·
The Gau’ :http//:www.muhsakir.blogspot.com/html
terimakasih ... sangat membantu sekali :D
BalasHapusLANJUTKAN!!!
Sm2...
Hapusterimakasih
BalasHapusSm2 gan..
Hapusmantap
BalasHapusThankz gan atas kunjungannya...
Hapusmantap
BalasHapusThankz...
Hapusmatur tengkyu
BalasHapusSama-sama gan..
Hapusthanks
BalasHapus