1.
Definisi Leukosit
Lekosit (sel darah putih) adalah sel darah yang tidak berwarna, tidak
memiliki inti dan tidak memiliki bentuk yang tetap. Rata-rata jumlah sel darah
putih yang normal pada manusia adalah rata-rata 5000sel/mm3. Apabila jumlahnya
lebih dari 12000 disebut lekositosis sedangkan apabila kurang dari 5000 disebut
lekopenia.
2.
Jenis-jenis Leukosit
Ada
beberapa jenis sel darah putih yang disebut granulosit atau sel
polimorfonuklear yaitu:
Basofil.
Eosinofil.
Neutrofil.
dan dua
jenis yang lain tanpa granula dalam sitoplasma:
Limfosit.
Monosit.
1.
Tanda-tanda radang dan mekanismenya
a.
Rubor : Warna merah
Rubor atau kemerahan merupakan
hal pertama yang terlihat di daerah yangmengalami peradangan. Saat reaksi
peradangan timbul, terjadi pelebaran arteriolayang mensuplai darah ke daerah
peradangan. Sehingga lebih banyak darah mengalirke mikrosirkulasi lokal dan
kapiler meregang dengan cepat terisi penuh dengandarah.
b.
Kalor : Panas
Kalor terjadi bersamaan
dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut.
Kalordisebabkan pula oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah
yang memilikisuhu 37oC disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang
lebih banyakdaripada ke daerah normal
c.
Tumor : Pembengkakan
Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar
ditimbulkan olehpengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke
jaringan-jaringan interstitial.Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di
daerah peradangan disebut eksudat meradang.
d.
Dolor : Rasa nyeri
Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat
merangsangujung-ujung saraf. Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif
lainnya dapatmerangsang saraf. Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang
meninggi akibatpembengkakan jaringan yang meradang.
e.
Functiolaesa : Gangguan fungsi
Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang
(Dorland, 2002).Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal.
Akan tetapi belumdiketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi
jaringan yangmeradan
-
Mekanisme Peradangan
Peradangan adalah reaksi jaringan terhadap kerusakan yang cukup untuk
menyebabkan kematian jaringan. Gejala radang utama diantaranya adalah nyeri,
kemerahan, panas, kebengkakan, serta gangguan pada fungsi tubuh normal (Boden
2005). Menurut Staf Pengajar Bagian Patologi Anatomi FKUI (1973), tanda-tanda
radang scara makroskopik diantaranya adalah kemerahan (rubor), panas (calor),
pembengkakan (tumor), dan rasa nyeri (dolor). Warna merah (rubor) terjadi
karena adanya peningkatan sirkulasi darah di daerah radang dan vasodilatasi
dari kapiler. Panas (calor) terjadi akibat peningkatan sirkulasi darah d daerah
radang. Pembengkakan (tumor) disebabkan oleh adanya eksudat di jaringan daerah
radang. Rasa nyeri (dolor) disebabkan oleh zat-zatmediator inflamasi seperti
histamin dan adanya tekanan tehadap jaringan oleh eksudat.
Beberapa penyebab dari peradangan diantaranya adalah keberadaan benda
asing di dalam jaringan dan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh agen
infeksi, trauma fisik, radiasi, racun (kimia, biologi, organik), respon imun,
alergi, serta suhu yang ekstrim. Apabila terjadi peradangan, maka agen penyebab
radang dan kerusakan jaringan yang terjadi tersebut akan dilokalisasi dan
dieliminasi dengan berbagai cara, diantaranya adalah melalui fagositosis oleh
leukosit. Kondisi ini akan menyebabkan persembuhan jaringan yang rusak di
lokasi radang. Apabila terjadi kelambanan atau ketidakmampuan proses eliminasi
agen penyebab radang tersebut, maka akan menyebabkan peradangan menjadi berlanjut
dan persembuhan akan terhambat.
Aktifitas peradangan yang diselenggarakan oleh mediator inflamasi
dimulai dengan dilatasi pembuluh darah arterial dan pembuluh darah kapiler
setempat untuk menciptakan kondisi hiperemi. Setelah itu, akan terjadi
kontraksi endotel dinding kapiler yang dapat meningkatkan permeabilitas
vaskuler, sehingga akan terbentuk eksudat serous di interstisium daerah yang
mengalami peradangan. Menurut Staf Pengajar Bagian Patologi Anatomi FKUI
(1973), pembuluh darah kapiler yang sehat mempunyai permeabilitas yang
terbatas, yaitu dapat dilalui oleh cairan dan larutan garam, tetapi sulit untuk
dialui larutan protein yang berupa koloid. Apabila pembuluh darah kapiler
cedera akibat peradangan, maka dinding pembuluh darah kapiler menjadi lebih permeabel
dan akan lebih mudah dilalui oleh larutan protein yang berupa koloid.
Peningkatan permeabilitas tersebut menyebabkan peningkatan jumlah cairan yang
keluar dari pembuluh darah kapiler. Cairan tersebut akan mengisi jaringan
sekitar radang dan menyebabkan edema, sehingga akan terlihat gejala radang
yaitu pembengkakan. Larutan protein (koloid) dapat dengan mudah keluar melalui
dinding pembuluh darah kapiler yang cedera/rusak tersebut. Molekul protein awal
yang keluar dari pembuluh darah adalah albumin, kemudian diikuti oleh
molekul-molekul protein yang lebih besar (globulin dan fibrinogen). Kondisi ini
menyebabkan cairan edema mempunyai kadar protein yang tinggi. Kadar protein
yang tinggi dalam plasma di jaringan tersebut akan mengakibatkan peningkatan
tekanan osmotik dalam jaringan, sehingga menghalangi cairan plasma tersebut
masuk ke dalam pembuluh darah kapiler.
Selain itu, terjadi perubahan pengaliran sel-sel darah putih di dalam
pembuluh darah di daerah yang mengalami radang. Apabila dalam kondisi normal,
maka sel-sel darah putih akan mengalir di tengah arus. Sedangkan pada kondisi
radang, sel-sel darah putih akan mengalami marginasi (mengalir mendekati
dinding endotel). Sel-sel darah putih tersebut berperan dalam fagositosis agen
penyebab radang, menghancurkan sel dan aringan nekrotik, serta antigen asing.
Kondisi radang akan terjadi aktifitas pengiriman sel-sel darah putih
dari lumen pembuluh darah ke daerah yang mengalami radang atau ke lokasi yang
mengalami kerusakan jaringan. Tahapan dalam pengiriman sel-sel darah putih
tersebut diantaranya adalah :
Ø Sel-sel darah putih mengalir mendekati endotel pembuluh darah
(marginasi).
Ø Sel-sel darah putih mendarat pada dinding endotel pembuluh darah dengan
cara menggelinding di sepanjang endotel (rolling).
Ø Sel-sel darah putih berhenti dengan melekat pada reseptor di permukaan
endotel (adhesi).
Ø Sel-sel darah putih mengalami ekstravasasi/emigrasi (keluar dari dalam
pembuluh darah) dengan cara menembus dinding endotel dan membran basal di bawah
endotel. Keluarnya sel-sel darah putih terjadi secara diapedesis (melewati
celah diantara endotel).
Ø Sel-sel darah putih bermigrasi di jaringan interstisium, menuju ke
pusat inflamasi karena adanya stimulus kemotaktik.
Mekanisme migrasi sel-sel darah putih keluar dari pembuluh darah dan
menuju ke pusat inflamasi disebabkan oleh adanya bahan kemotaktik (mediator
inflamasi, jaringan nekrotik, infeksi oleh mikroba, dan benda asing). Sel-sel
darah putih (leukosit) yang berada di interstitium daerah radang akan bertindak
sebagai sel-sel radang. Menurut Staf Pengajar Bagian Patologi Anatomi FKUI
(1973), kemotaktik adalah pergerakan menuju arah tertentu yang disebabkan oleh
zat-zat kimia. Kemotaktik menyebabkan leukosit bergerak langsung menuju ke
jaringan yang cedera/rusak. Sel-sel darah putih terutama tertarik oleh zat-zat
yang dilepaskan oleh bakteri (agen infeksi) dan zat-zat yang dilepaskan oleh
jaringan yang cedera. Kemotaksis menyebabkan sel-sel darah putih menuju ke agen
infeksi, sehingga akan terjadi fagositosis.
Mediator inflamasi yang terbentuk mempunyai kemampuan dalam
meningkatkan potensi (aktivasi) sel-sel di daerah radang (sel radang, sel
endotel, dan sel fibroblast). Mediator inflamasi pada umumnya terdapat dalam
bentuk inaktif di berbagai sel dan plasma darah. Mediator inflamasi tersebut
akan diaktifkan oleh adanya stimulus respon peradangan, diantaranya adalah
nekrosa sejumlah sel atau adanya agen asing di dalam jaringan tubuh. Beberapa
mediator inflamasi yang sudah diinaktifasi akan menjadi aktifator bagi mediator
inflamasi lainnya yang masih inaktif.
Sel yang ikut berperan dalam menghasilkan mediator inflamasi pada
umumnya terdapat di daerah respon radang, sel-sel tersebut diantaranya adalah
sel mast, leukosit, endotel, thrombosit, dan fibroblast. Selain itu, komponen
interstitium yang juga berperan dalam menghsilkan mediator inflamasi
diantaranya adalah cairan jaringan, serabut kolagen, dan membran basal. Menurut
Vander et al. (1990), beberapa mediator inflamasi lokal yang penting
diantaranya adalah kinin, komplemen, dan produk penggumpal darah yang
dihasilkan oleh protein plasma, serta histamin, eikosanoid, dan
platelet-activating factor yang dihasilkan oleh sel mast. Selain itu, mediator
inflamasi lain diantaranya adalah monokin (interleukin 1 dan tumor necrosis
factor) yang dihasilkan oleh monosit dan makrofag serta enzim lisosom yang
dihasilkan oleh makrofag dan neutrofil.
Histamin merupakan mediator inflamasi yang dihasilkan oleh sel mast
jaringan ikat yang terletak di tepi vaskuler, basofil darah, dan thrombosit.
Histamin mempunyai daya kerja memperluas (vasodilatasi) mikrovaskuler (arteriol
kapiler) di daerah radang dan membuat lapisan endotel vaskuler menjadi
kontraktif sehingga meninggalkan celah (peningkatan permeabilitas vaskuler).
komplemen terdiri dari 20 komponen protein sebagai bagian dari plasma darah
normal. Apabila terjadi stimulasi pada komplemen, maka komplemen akan membentuk
komponen-komponen aktif, misalnya adalah C3a, C5a, C3b, dan C5-9. C3a dan C5a
berperan sebagai stimulus pelepas histamin dari sel mast. C3b berperan sebagai
opsonin bakteri sehingga lebih mudah difagositasi oleh makrofag dan neutrofil.
C5a berperan sebagai aktivator pelepas mediator inflamasi dari neutrofil dan
makrofag, menstimulasi adhesi leukosit pada endotel, serta bersifat kemotaktik
terhadap leukosit. C5-9 berperan sebagai kompleks pelisis membran dengan cara
melekat terlebih dahulu pada membran hidrofobik sel target (membran bakteri).
Aktifasi sistem komplemen dapat dimulai dengan perlekatan antara komplemen C1 dengan
IgM dan IgG pada kompleks antigen-antibodi. Selain itu, aktifasi sistem
komplemen juga dapat dimulai dari komplemen C3 akibat kontak dengan permukaan
mikroba, endotoksin, kompleks polisakarida, dan enzim lisosom produk neutrofil
yang keluar ketika terjadi proses fagositosis. Sebagian besar komplemen
dibentuk oleh hepatosit hati dan merupakan protein plasma darah. Jumlah
komplemen akan mengalami peningkatan ketika terjadi proses peradangan, terutama
peradangan yang bersifat sistemik.
Mediator inflamasi kinin terbentuk dari protein plasma faktor
penggumpalan darah XII (faktor hageman) yang terstimulasi oleh adanya kontak
antara protein plasma dengan jaringan subendotel yang terbuka ketika terjadi
kerusakan endotel. Produk dari sistem kinin yang utama adalah bradykinin dan
kallikrein. Bradykinin berperan dalam peningkatan permeabilitas vaskuler,
vasodilatasi, dan peningkatan rasa nyeri. Kallikrein bersifat sebagai
kemotaktik dan berperan sebagai aktivator komplemen C5. Menurut Vander et al.
(1990), kinin juga berperan dalam aktivasi neuronal pain receptors.
Eikosanoid merupakan produk metabolisme asam arachidonik
(prostaglandin, prostacyclin, thromboxanes, leukotrienes) dan berperan sebagai
mediator inflamasi yang penting (Vander et al. 1990). Asam arachidonik
merupakan bagian dari membran fosfolipid sel tubuh. Apabila terjadi kerusakan
membran sel oleh pengaruh mekanik, kimiawi, dan fisik, atau komplemen C5a, maka
akan terbentuk enzim fosfolipase yang akan melepaskan asam arachidonik dari
membran sel yang rusak tersebut. Asam arachidonik tersebut selanjutnya akan
mengalami metabolisme dengan menghasilkan metabolit (eikosanoid) yang bersifat
sebagai mediator inflamasi. menurut Vander et al. (1990), terdapat dua cabang
utama dari asam arachidonik, yaitu cabang yang dikatalisasi oleh enzim
siklo-oksigenase dengan mengahsilkan prostaglandin, prostacyclin, dan
thromboxanes. Sedangkan cabang lain adalah dikatalisasi oleh enzim lipoxygenase
dengan menghasilkan leukotrienes.
Proses inflamasi dari eikosanoid diantaranya adalah kemotaktik,
agregasi neutrofil, vasokonstriksi, bronkospasmus, peningkatan permeabilitas,
dan vasodilatasi. Selain itu, prostaglandin juga dapat menimbulkan rasa nyeri
(dolor).
Platelet Activating Factor (PAF) juga dilepaskan dari fosfolipid membran
sel tertentu apabila sel mengalami kerusakan. Sel-sel tersebut diantaranya
adalah basofil, sel mast, neutrofil, monosit, makrofag, thrombosit, dan
endotel. Stimulasi pelepasan PAF pada sel basofil dan sel mast berasal dari
perlekatan ganda antigen pada beberapa IgE di membran sel basofil dan sel mast.
Aktifitas PAF sebagai mediator inflamasi mempunyai kemampuan vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas yang lebih kuat daripada histamin. Selain menghsilkan
agregasi dan mengaktifkan thrombosit, PAF juga berperan dalam agregasi
leukosit, adhesi dengan endotel, kemotaksis, degranulasi, dan oxydative burst
(peningkatan kandungan oksigen metabolit di dalam fagolisosom leukosit).
Aktifitas oxydative burst berperan untuk meningkatkan fungsi perusakan terhadap
agen yang telah difagositasi, dalam proses tersebut beberapa bagian oksigen
metabolit ditumpahkan keluar fagolisosom leukosit dan dapat memperparah
kerusakan jaringan di lokasi peradangan.
Mediator peradangan yang berperan dalam peradangan sistemik diantaranya
adalah interleukin-1, interleukin-6, dan TNF yang merupakan sitokin yang
diproduksi oleh leukosit dan dilepas ke sirkulasi darah. Stimulasi dari
mediator peradangan sistemik tersebut diantaranya adalah agen infeksius,
paparan xenobiotik (bahan asing yang bersifat merusak/toksik), dan respon imun.
Adanya respon inflamasi sistemik tersebut menyebabkan hati akan memproduksi
protein fase akut, seprti C-reaktif, komplemen, serum amyloid, dan protein
koagulan darah secara lebih aktif.
2.
Abses
Abses
adalah kumpulan tertutup jaringan cair, yang dikenal sebagai nanah, di suatu
tempat di dalam tubuh. Ini adalah hasil dari reaksi pertahanan tubuh terhadap
benda asing.
Ada dua jenis abses, septik dan steril. Kebanyakan abses
adalah septik, yang berarti bahwa mereka adalah hasil dari infeksi. Septic
abses dapat terjadi di mana saja di tubuh. Hanya bakteri dan respon kekebalan
tubuh yang diperlukan. Sebagai tanggapan terhadap bakteri, sel-sel darah putih
yang terinfeksi berkumpul di situs tersebut dan mulai memproduksi bahan kimia
yang disebut enzim yang menyerang bakteri dengan terlebih dahulu tanda dan
kemudian mencernanya. Enzim ini membunuh bakteri dan menghancurkan mereka ke
potongan-potongan kecil yang dapat berjalan di sistem peredaran darah sebelum
menjadi dihilangkan dari tubuh.
Abses steril kadang-kadang bentuk yang lebih ringan dari
proses yang sama bukan disebabkan oleh bakteri, tetapi oleh non-hidup iritan
seperti obat-obatan. Jika menyuntikkan obat seperti penisilin tidak diserap,
itu tetap tempat itu disuntikkan dan dapat menyebabkan iritasi yang cukup untuk
menghasilkan abses steril. Seperti abses steril karena tidak ada infeksi yang
terlibat. Abses steril cukup cenderung berubah menjadikeras, padat benjolan
karena mereka bekas luka, bukan kantong-kantong sisa nanah.
3.
Macam-macam radang
A.
Radang Tenggorokan
Penyakit
ini ditandai dengan rasa nyeri di tenggorokan sehingga si penderita susah
sekali saat menelan makanan. Radang tenggorokan atau faringitis akut sering
diikuti dengan gejala flu seperti demam, sakit kepala, pilek, dan batuk.
Disebarkan oleh virus EBV atau kuman Strep.
B. Radang
Usus Buntu
Radang
usus buntu merupakan peradangan pada usus buntu, yaitu sebuah usus kecil yang
berbentuk jari yang melekat pada usus besar di sebelah kanan bawah rongga
perut. Usus buntu yang mengalami peradangan kadang-kadang pecah terbuka, yang
menyebabkan peradangan selaput perut(peritonitis).
C.Radang Kulit
Radang
kulit, dermatitis, merupakan suatu gejala pada kulit saat jaringan terinfeksi
oleh bakteri atau virus.
Ada
beberapa tipe radang kulit, yaitu:
sebhorrheic
dermatitits
atopic
dermatitis (eczema)
D.Radang Sendi
Sendi, osteoarthritis, adalah salah satu arthritis yang disebabkan oleh
berkurangnya cartilage terutama di daerah persendian. Cartilage sendiri merupakan
substansi protein yang menjadi semacam “oli” bagi tulang dan persendian. Ketika
cartilage mengalami penurunan dalam jumlah, selanjutnya struktur tulang akan
tergerus.
4.
Definisi Infeksi
Infeksi adalah kolonalisasi yang dilakukan oleh spesies asing terhadap
organisme inang, dan bersifat pilang membahayakan inang. Organisme penginfeksi,
atau patogen, menggunakan sarana yang dimiliki inang untuk dapat memperbanyak
diri, yang pada akhirnya merugikan inang. Patogen mengganggu fungsi normal
inang dan dapat berakibat pada luka kronik, gangrene, kehilangan organ tubuh,
dan bahkan kematian. Respons inang terhadap infeksi disebut peradangan. Secara
umum, patogen umumnya dikategorikan sebagai organisme mikroskopik, walaupun
sebenarnya definisinya lebih luas, mencakup bakteri, parasit, fungi, virus,
prion, dan viroid.
Simbiosis
antara parasit dan inang, di mana satu pihak diuntungkan dan satu pihak
dirugikan, digolongkan sebagai parasitisme. Cabang kedokteran yang
menitikberatkan infeksi dan patogen adalah cabang penyakit infeksi.
5.
Jalan masuk kuman
Salam sehat. Hukum sebab akibat memang benar adanya. Logisnya ada sebab
dan akibat. Begitupula orang yang sakit pasti ada sebab. Sebab inilah yang
mesti kita ketahui ( tahukah anda? jalan masuk kuman ke dalam tubuh
kita ).
Penyakit yang muncul dari tubuh
kita pasti tidak datang dengan sendirinya. Jelas ada jalur masuknya ke dalam
tubuh kita. Saya menyebutnya sebuah
faktor resiko. Tahukah kita bahwa suatu penyakit yang timbul karena adanya
penetrasi pathogen yang masuk ke dalam tubuh kita.
Jelas harus kita cegah. Sekarang yang menjadi pertanyaan kita, dari
mana saja jalan masuk kuman penyakit
sehingga masuk ke dalam tubuh kita ? berikut uraiannya :
1.
Kulit
Penyakit
yang melalui kulit berhubungan dengan penyakit
yang menjadikan kulit sebagai perantara dan sekaligus sebagai pintu masuk
kuman. Contohnya penyakit panu, kudis, kusta dan banyak lagi.
2.
Gigitan nyamuk
Gigitan
nyamuk pada dasarnya sama dengan jalur masuk melalui kulit hanya saja caranya
yang berbeda. Contohnya penyakit malaria, demam berdarah dengue, chikungunya
dll
3.
Udara
Ini kaitannya dengan sistem pernafasan. Bisa hidung dan mulut. Ada banyak penyakit
yang menjadikan udara sebagai perantara untuk masuk ke dalam tubuh kita. Udara
yang kita hirup mengandung kuman, bakteri atau virus yang berbahaya bagi
kesehatan kita. Contohnya penyakit H1n1, Ispa, TBC
4. Tranfusi darah
Jalur
masuk yang satu ini sekarang menjadi perhatian yang serius. Pasalnya ini adalah
cara modern metode penularan penyakit ke dalam tubuh manusia. Sterilisasi kunci
utama agar terhindar dari penyakit yang disebabkan oleh transfusi darah ini.
Cek dulu apa dan alat apa yang digunakan
untuk transfusi ke dalam tubuh
kita. Contohnya hepatitis dan HIV
5.
Hubungan sex
Banyak
yang beranggapan jalur ini adalah jalur “ sengsara membawa nikmat “. Dari
hubungan sex yang tidak aman kita dapat tertular berbagai penyakit mengerikan
contohnya, HIV, Gonoroe, Sipilis dan masih banyak lagi.
6.
Makanan.
Jalur
masuk penyakit melalui makanan saat ini merupakan jalur masuk yang sangat
dominan. Apa yang kita makan bisa saja menjadi sumber penyakit belum lagi
kebersihan dari makanan tersebut. Sifatnya ada yang cepat dan ada juga yang
lambat. Yang cepat biasanya seperti keracunan makanan, kalau yang lambat contohnya karena pengaruh bahan kimia dalam makanan itu
sendiri .
7.
Air.
Jalur
masuk melalui air bisa disebut water borne disease. Seperti penyakit diare.
8.
Peralatan yang tidak steril.
6.
Jenis-jenis penyakit infeksi
1. Infeksi
HIV dan AIDS
A.
Definisi
Human Immunodeficiency
Virus (HIV) Merupakan virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang
tiidak dapat hidup di luar tubuh manusia. Kerusakan sistem kekebalan tubuh ini
akan menimbulkan kerentanan terhadap infeksi penyakit
Acquired Immuno Deficiency Syndrome
(AIDS) adalah :
Sekumpulan gejala,
infeksi dan kondisi yang diakibatkan infeksi HIV pada tubuh. Muncul akibat
rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia sehingga infeksi dan penyakit mudah
menyerang tubuh dan dapat menyebabkan kematian. Infeksi oportunistik adalah
infeksi yang muncul akibat lemahnya system pertahanan tubuh yang telah
terinfeksi HIV atau oleh sebab lain.
Pada orang yang
sistem kekebalan tubuhnya masih baik infeksi ini mungkin tidak berbahaya, namun
pada orang yang kekebalan tubuhnya lemah (HIV/AIDS) bisa menyebabkan kematian.
AIDS dapat
didefinisikan melalui munculnya IO yang umum ditemui pada ODHA:
1.
Kandidiasis: infeksi jamur pada
mulut, tenggorokan, vagina.
2. Virus sitomegalia (CMV): menimbulkan penyakit mata yang dapat
menyebabkan kematian.
3. Herpes pada mulut atau alat kelamin.
4. Mycobacterium avium complex (MAC): infeksi bakteri yang menyebabkan
demam kambuhan.
5. Pneumonia pneumocystis (PCP): infeksi jamur yang dapat menyebabkan
radang paru.
6. Toksoplasmosis: infeksi protozoa otak.
7.
Tuberkolosis (TB) Perjalanan
penyakit HIV/AIDS : periode jendela (3-6 bulan)? HIV + (3-10 tahun)? AIDS +
(1-2 tahun).
Orang yang terinfeksi
HIV dapat tetap sehat sepanjang hidupnya apabila ia menjaga kesehatan tubuhnya:
makan teratur, berolahraga dan tidur secara seimbang. Gaya hidup sehat akan
tetap melindungi kebugaran orang dengan HIV dan ia akan tetap produktif dalam
berkarya.
Bila telah muncul
tanda-tanda penyakit infeksi dan tidak kunjung sembuh atau berulang, artinya
daya tahan tubuh menjadi buruk, sistim kekebalan tubuh berkurang, maka
berkembanglah AIDS.
B.
Etiologi
AIDS disebabkan oleh
virus yang mempunyai beberapa nama yaitu HTL II, LAV, RAV. Yang nama ilmiahnya
disebut Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) yang berupa agen viral yang
dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya afinitas yang
kuat terhadap limfosit T. Virus ini ditransmisikan melalui kontak intim
(seksual), darah atau produk darah yang terinfeksi.
C.
Patofisiologi
Tubuh mempunyai suatu
mekanisme untuk membasmi suatu infeksi dari benda asing, misalnya : virus,
bakteri, bahan kimia, dan jaringan asing dari binatang maupun manusia lain.
Mekanisme ini disebut sebagai tanggap kebal (immune response) yang terdiri dari
2 proses yang kompleks yaitu :
Kekebalan humoral dan
kekebalan cell-mediated. Virus AIDS (HIV) mempunyai cara tersendiri sehingga
dapat menghindari mekanisme pertahanan tubuh. “ber-aksi” bahkan kemudian
dilumpuhkan.
Virus AIDS (HIV)
masuk ke dalam tubuh seseorang dalam keadaan bebas atau berada di dalam sel
limfosit. Virus ini memasuki tubuh dan terutama menginfeksi sel yang mempunyai
molekul CD4. Sel-sel CD4-positif (CD4+) mencakup monosit, makrofag dan limfosit
T4 helper. Saat virus memasuki tubuh, benda asing ini segera dikenal oleh sel T
helper (T4), tetapi begitu sel T helper menempel pada benda asing tersebut,
reseptor sel T helper .tidak berdaya; bahkan HIV bisa pindah dari sel induk ke
dalam sel T helper tersebut. Jadi, sebelum sel T helper dapat mengenal benda
asing HIV, ia lebih dahulu sudah dilumpuhkan. HIV kemudian mengubah fungsi
reseptor di permukaan sel T helper sehingga reseptor ini dapat menempel dan
melebur ke sembarang sel lainnya sekaligus memindahkan HIV. Sesudah terikat
dengan membran sel T4 helper, HIV akan menginjeksikan dua utas benang RNA yang
identik ke dalam sel T4 helper.
Dengan menggunakan
enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase, HIV akan melakukan
pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat
double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam nukleus
sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen.
Fungsi T helper dalam
mekanisme pertahanan tubuh sudah dilumpuhkan, genom dari HIV ¬ proviral DNA ¬
dibentuk dan diintegrasikan pada DNA sel T helper sehingga menumpang ikut
berkembang biak sesuai dengan perkembangan biakan sel T helper. Sampai suatu
saat ada mekanisme pencetus (mungkin karena infeksi virus lain) maka HIV akan
aktif membentuk RNA, ke luar dari T helper dan menyerang sel lainnya untuk
menimbulkan penyakit AIDS. Karena sel T helper sudah lumpuh maka tidak ada
mekanisme pembentukan sel T killer, sel B dan sel fagosit lainnya. Kelumpuhan
mekanisme kekebalan inilah yang disebut AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome) atau Sindroma Kegagalan Kekebalan.
D.
Manifestasi Klinis Gejala dan
tanda HIV/AID menurut WHO:
Stadium Klinis I :
1.
Asimtomatik (tanpa gejala)
2.
Limfadenopati Generalisata
(pembesaran kelenjar getah bening/limfe seluruh tubuh)
3.
Skala Penampilan
1 :
asimtomatik, aktivitas normal.
Stadium Klinis II :
1.
Berat badan berkurang <> 10%
2.
Diare berkepanjangan > 1 bulan
3.
Jamur pada mulut
4.
TB Paru
5.
Infeksi bakterial berat
6.
Skala Penampilan 3 : <> 1
bulan)
7.
Kanker kulit (Sarcoma Kaposi)
8.
Radang Otak (Toksoplasmosis,
Ensefalopati HIV)
9.
Skala Penampilan 4 : terbaring di
tempat tidur > 50% dalam masa 1 bulan terakhir.
E.
Komplikasi
1.
Oral Lesi Karena kandidia, herpes
simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human
Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan
berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai oleh bercak-bercak
putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati, kandidiasis oral
akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan gejala yang menyertai
mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di balik sternum (nyeri
retrosternal).
2.
Neurologik a.ensefalopati HIV atau
disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS (ADC; AIDS dementia complex).
a. Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan
berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan psikomotorik, apatis dan
ataksia. stadium lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan dalam
respon verbal, gangguan efektif seperti pandangan yang kosong, hiperefleksi
paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia, dan kematian.
b. Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit
kepala, malaise, kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental dan
kejang-kejang. diagnosis ditegakkan dengan analisis cairan serebospinal.
3.
Gastrointestinal Wasting syndrome
kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang diperbarui untuk penyakit AIDS.
Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan BB > 10% dari BB awal, diare yang
kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang kronis, dan demam yang kambuhan
atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat menjelaskan gejala ini.
a. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia,
demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
b. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat
illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam
atritis.
c. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi
perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit,
nyeri rektal, gatal-gatal dan diare.
4.
Respirasi Pneumocystic Carinii.
Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea), batuk-batuk, nyeri dada,
hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi infeksi oportunis, seperti
yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare (MAI), cytomegalovirus, virus
influenza, pneumococcus, dan strongyloides.
5.
Dermatologik Lesi kulit
stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis,
reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri, gatal, rasa
terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes zoster
dan herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan
merusak integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus yang
ditandai oleh pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis sosoreika
akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit
kepala serta wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis menyeluruh
yang disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis
atopik seperti ekzema dan psoriasis.
6.
Sensorik
6.1.Pandangan :
Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis sitomegalovirus
berefek kebutaan
6.2.Pendengaran :
otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek
nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis, sitomegalovirus dan
reaksi-reaksi obat.
F.
Pemeriksaan Penunjang
1.
Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
a.ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western blot)
b.Western blot (positif) c.P24 antigen test (positif untuk protein virus yang
bebas) d.Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut
mendeteksi enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang
meningkat).
2.
Tes untuk deteksi gangguan system
imun.
a.
LED (normal namun perlahan-lahan
akan mengalami penurunan)
b.
CD4 limfosit (menurun; mengalami
penurunan kemampuan untuk bereaksi terhadap antigen)
c.
Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)
d.
Serum mikroglobulin B2 (meningkat
bersamaan dengan berlanjutnya penyakit) e.Kadar immunoglobulin (meningkat)
G.
Penatalaksanaan
1.
Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,
nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah
kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi
pasien di lingkungan perawatan kritis.
2.
Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap
AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. Sekarang, AZT tersedia
untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan
sel T4 > 500 mm3.
3.
Terapi Antiviral Baru Beberapa
antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat
replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat
ini adalah :
a. Didanosine
b. Ribavirin
c. Diedoxycytidine
d. Recombinant CD 4 dapat
larut.
4.
Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon,
maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang
proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan
terapi AIDS.
5.
Pendidikan untuk menghindari
alcohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat,hindari stress,gizi yang
kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.
H.
Pencegahan
1.
A (Abstinent): Puasa, jangan
melakukan hubungan seksual yang tidak sah
2.
B (Be Faithful)Setialah pada
pasangan, melakukan hubungan seksual hanya dengan pasangan yang sah
3.
C (use Condom) Pergunakan kondom
saat melakukan hubungan seksual bila berisiko menularkan/tertular penyakit
4.
D (Don’t use Drugs) Hindari
penyalahgunaan narkoba
5.
E (Education) Edukasi, sebarkan
informasi yang benar tentang HIV/AIDS dalam setiap kesempatan
2.
Infeksi Sifilis
A. PENGERTIAN
Sifilis adalah
penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Treponema pallidum. Penyakit
menular seksual adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual.
Penyakit ini sangat kronik, bersifat sistemik dan menyerang hampir semua alat
tubuh.
B. ETIOLOGI
Penyebab penyakit ini
adalah Treponema pallidum yang termasuk ordo spirochaetales, familia spirochaetaceae,
dan genus treponema. Bentuk spiral, panjang antara 6 – 15 µm, lebar 0,15 µm.
Gerakan rotasi dan maju seperti gerakan membuka botol. Berkembang biak secara
pembelahan melintang, pembelahan terjadi setiap 30 jam pada stadium aktif.
C. EPIDEMIOLOGI
Asal penyakit tidak
jelas. Sebelum tahun 1492 belum dikenal di Eropa. Pada tahun 1494 terjadi
epidemi di Napoli. Pada abad ke-18 baru diketahui bahwa penularan sifilis
melelui hubungan seksual. Pada abad ke-15 terjadiwabah di Eropa. Sesudah tahun
1860, morbilitas sifilis menurun cepat. Selama perang dunia II, kejadian
sifilis meningkat dan puncaknya pada tahun 1946, kemudian menurun setelah itu.
Kasus sifilis di
Indonesia adalah 0,61%. Penderita yang terbanyak adalah stadium laten, disusul
sifilis stadium I yang jarang, dan yang langka ialah sifilis stadium II.
D. PATOFISIOLOGI
v Stadium Dini
Pada sifilis yang
didapat, Treponema pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput
lendir, biasanya melalui senggama. Kuman tersebut berkembang biak, jaringan
bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan
sel-sel plasma, terutama di perivaskuler, pembuluh-pembuluh darah kecil
berproliferasi dikelilingi oleh Treponema pallidum dan sel-sel radang.
Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan hipertrofi endotelium
yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis obliterans). Pada pemeriksaan
klinis tampak sebagai S I. Sebelum S I terlihat, kuman telah mencapai kelenjar
getah bening regional secara limfogen dan berkembang biak, terjadi penjalaran
hematogen yang menyebar ke seluruh jaringan tubuh. Multiplikasi diikuti oleh
reaksi jaringan sebagai S II yang terjadi 6-8 minggu setelah S I. S I akan
sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat tersebut berkurang jumlahnya.
Terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatrik. S II juga
mengalami regresi perlahan-lahan lalu menghilang. Timbul stadium laten. Jika
infeksi T.pallidum gagal diatasi oleh proses imunitas tubuh, kuman akan
berkembang biak lagi dan menimbulkan lesi rekuren. Lesi dapat timbul
berulang-ulang.
v Stadium Lanjut
Stadium laten
berlangsung bertahun-tahun karena treponema dalam keadaan dorman. Treponema
mencapai sistem kardiovaskuler dan sistem saraf pada waktu dini, tetapi
kerusakan perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk
menimbulkan gejala klinis. Kira-kira dua pertiga kasus dengan stadium laten
tidak memberi gejala.
E. KLASIFIKASI dan
GEJALA
Sifilis dibagi
menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisital (didapat). Sifilis kongenital
dibagi menjadi sifilis dini (sebelum dua tahun), lanjut (setelah dua tahun),
dan stigmata. Sifillis akuisita dapat dibagi menurut dua cara yaitu:
- Klinis (stadium I/SI, stadium II/SII,
stadium III/SIII) dan
- Epidemiologik, menurut WHO dibagi
menjadi:
1. Stadium dini menular (dalam satu
tahun sejak infeksi), terdiri atas S I, S II,
stadium rekuren, dan stadium laten dini.
2. Stadium lanjut tak menular (setelah
satu tahun sejak infeksi), terdiri atas
stadium laten lanjut dan S III.
F. GEJALA KLINIS
Sifilis Akuisita
1. Sifilis Dini
a. Sifilis Primer (S I)
b. Sifilis Sekunder (S II)
2. Sifilis Lanjut
G. DIAGNOSA BANDING
1. Stadium I
Herpes simplek
Ulkus piogenik
Skabies
Balanitis
Limfogranuloma venereum (LGV)
Karsinoma sel skuamosa
Penyakit behcet
Ulkus mole
2. Stadium II
Erupsi obat alergik
Morbili
Pitiriasis rosea
Psoriasis
Dermatitis seboroika
Kandiloma akuminatum
Alopesia areata
3. Stadium III
Sporotrikosis
Aktinomikosis
H. PENCEGAHAN
Banyak hal yang dapat
dilakukan untuk mencegah seseorang agar tidak tertular penyakit sifilis. Hal-hal yang dapat dilakukan
antara lain:
a.
Tidak berganti-ganti pasangan
b.
Berhubungan seksual yang aman:
selektif memilih pasangan dan pempratikkan ‘protective sex’.
c.
Menghindari penggunaan jarum
suntik yang tidak steril dan transfusi darah yang sudah terinfeksi.
I. PENATALAKSANAAN
Penderita sifilis
diberi antibiotik penisilin (paling efektif). Bagi yang alergi penisillin
diberikan tetrasiklin 4×500 mg/hr, atau eritromisin 4×500 mg/hr, atau
doksisiklin 2×100 mg/hr. Lama pengobatan 15 hari bagi S I & S II dan 30
hari untuk stadium laten. Eritromisin diberikan bagi ibu hamil, efektifitas
meragukan. Doksisiklin memiliki tingkat absorbsi lebih baik dari tetrasiklin
yaitu 90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%.
Obat lain adalah
golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4×500 mg/hr selama 15 hari,
Sefaloridin memberi hasil baik pada sifilis dini, Azitromisin dapat digunakan
untuk S I dan S II.
J. PROGNOSIS
Prognosis sifilis
menjadi lebih baik setelah ditemukannya penisilin. Jika penisilin tidak
diobati, maka hampir seperempatnya akan kambuh, 5% akan mendapat S III, 10%
mengalami sifilis kardiovaskuler, neurosifilis, dan 23% akan meninggal.
Pada sifilis dini
yang diobati, angka penyembuhan mencapai 95%. Kelainan kulit akan sembuh dalam
7-14 hari. Pembesaran kelenjar getah bening akan menetap berminggu-minggu.
Kegagalan terapi
sebanyak 5% pada S I dan S II. Kambuh klinis umumnya terjadi setahun setelah
terapi berupa lesi menular pada mulut, tenggorokan, dan regio perianal. Selain
itu, terdapat kambuh serologik.
Pada sifilis laten
lanjut, prognosis baik. Pada sifilis kardiovaskuler, prognosis sukar
ditentukan. Prognosis pada neurosifilis bergantung pada tempat dan derajat
kerusakan.
Sel saraf yang sudah
rusak bersifat irreversible. Prognosis neurosifilis pada sifilis dini baik,
angka penyembuhan dapat mencapai 100%. Neurosifilis asimtomatik pada stadium
lanjut juga baik, kurang dari 1% memerlukan terapi ulang
Prognosis sifilis
kongenital dini baik. Pada yang lanjut, prognosis tergantung pada kerusakan
yang sudah ada.
K. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Kesadaran, status gizi, TB, BB, suhu, TD, nadi, respirasi
b. Pemeriksaan sistemik
Kepala (mata, hidung, telinga, gigi&mulut), leher
(terdapat perbesaran tyroid atau tidak), tengkuk, dada (inspeksi, palpasi,
perkusi, auskultasi), genitalia, ekstremitas atas dan bawah.
c.Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan laboratorium (kimia darah, ureum, kreatinin,
GDS, analisa urin, darah rutin)
Ø Diagnosa
Keperawatan & Intervensi
a. Nyeri kronis
b.d adanya lesi pada jaringan yang ditandai dengan :
DS : klien
mengatakan adanya nyeri
DO : klien meringis kesakitan
Tujuan: nyeri klien hilang dan kenyamanan terpenuhi
Kriteria:
- Nyeri klien berkurang
- Ekspresi wajah klien tidak kesakitan
- Keluhan klien berkurang
Intervensi:
- Kaji riwayat nyeri
dan respon terhadap nyeri
- Kaji kebutuhan yang dapat mengurangi nyeri dan jelaskan
tentang teknik mengurangi nyeri dan penyebab nyeri
- Ciptakan lingkungan yang nyaman (mengganti alat tenun)
- Kurangi stimulus yang tidak menyenangkan
- Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik
Implementasi :
- mengkaji adanya nyeri setiap hari
- mengajarkan teknik relaksasi setiap hari
- mengganti alat tenun setiap 3 jam
b. Hipertermi b.d proses infeksi yang ditandai dengan :
DS : klien mengatakan adanya demam
DO : suhu tubuh
klien 38 C
Tujuan: klien akan memiliki suhu tubuh normal
Kriteria:
- Suhu 36–37 °C
- Klien tidak menggigil
- Klien dapat istirahat dengan tenang
Intervensi:
- Observasi keadaan umum klien dengan tanda vital tiap 2
jam sekali
- Berikan antipiretik sesuai anjuran dokter dan monitor
keefektifan 30-60 menit kemudian
- Berikan kompres di dahi dan lengan
- Anjurkan agar klien menggunakan pakaian yang tipis dan
longgar
- Berikan minum yang banyak pada klien
Implementasi :
-mengobservasi tanda-tanda vital
c. Cemas b.d proses penyakit yang ditandai dengan :
DS : klien selalu bertanya tentang penyakitnya
DO : klien
tampak gelisah
Tujuan: cemas berkurang atau hilang
Kriteria:
- Klien merasa rileks
- Vital sign dalam keadaan normal
- Klien dapat menerima dirinya apa adanya
Intervensi:
- Kaji tingkat ketakutan dengan cara pendekatan dan bina
hubungan saling percaya
- Pertahankan lingkungan yang tenang dan aman serta
menjauhkan benda-benda berbahaya
- Libatkan klien dan keluarga dalam prosedur pelaksanaan
dan perawatan
- Ajarkan penggunaan relaksasi
- Beritahu tentang penyakit klien dan tindakan yang akan
dilakukan secara sederhana.
3.
Infeksi Penyakit Malaria
A. DEFENISI
Malaria adalah
penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium,
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles dengan gambaran penyakit
berupa demam yang sering periodik, anemia, pembesaran limpa dan berbagai
kumpulan gejala oleh karena pengaruhnya pada beberapa organ misalnya otak, hati
dan ginjal. (http://medicafarma.blogspot.com)
Malaria adalah
penyakit akut dan dapat menjadi kronik yang disebabkan oleh protozoa (genus
plasmodium) yang hidup intra sel (Iskandar Zulkarnain, 1999). Malaria adalah
penyakit infeksi yang dapat bersifat akut maupun kronik, disebabkan oleh
protozoa genus plasmodium ditandai dengan demam, anemia dan splenomegali.
B.
ETIOLOGI
Plasmodium adalah
parasit yang termasuk vilum Protozoa, kelas sporozoa. Terdapat empat spesies
Plasmodium pada manusia yaitu : Plasmodium vivax menimbulkan malaria vivax
(malaria tertiana ringan). Plasmodium falcifarum menimbulkan malaria falsifarum
(malaria tertiana berat), malaria pernisiosa dan Blackwater faver. Plasmodium malariae
menimbulkan malaria kuartana, dan Plasmodium ovale menimbulkan malaria ovale.
(Nelson, 1999)
Keempat spesies
plasmodium tersebut dapat dibedakan morfologinya dengan membandingkan bentuk
skizon, bentuk trofozoit, bentuk gametosit yang terdapat di dalam darah perifer
maupun bentuk pre-eritrositik dari skizon yang terdapat di dalam sel parenkim
hati.
C.
MANIFESTASI KLINIK
1. Plasmodium vivax ( malaria tertiana )
a.
Meriang
b.
Panas dingin menggigil/ demam ( 8
sampai 12 jam, dapat terjadi dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi
dapat terjadi selama 2 minggu setelah infeksi)
c.
Keringat dingin
d.
Kejang-kejang
e.
Perasaan lemas, tidak nafsu makan, sakit pada tulang dan sendi.
2. Plasmodium falcifarum ( malaria tropika )
a.
Meriang
b.
Panas dingin menggigil/ demam (
lebih dari 12 jam, dapat terjadi dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi
dapat terjadi selama 2 miggu setela infeksi)
c.
Keringat dingin
d.
Kejang-kejang
e.
Perasaan lemas, tidak nafsu makan,
sakit pada tulang dan sendi.
3. Plasmodium
malariae ( malaria kuartana )
a.
Meriang
b.
Panas dingin menggigil/ demam (
gejala pertama tidak terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi.
Gejala tersebut kemudian akan terulang kembali setiap 3 hari )
c.
Keringat dingin
d.
Kejang-kejang
e.
Perasaan lemas, tidak nafsu makan,
sakit pada tulang dan sendi
4. Plasmodium ovale ( jarang ditemukan )
Dimana manifestasi klinisnya mirip
malaria tertiana :
a.
Meriang
b.
Panas dingin menggigil/ demam ( 8
sampai 12 jam, dapat terjadi dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi
dapat terjadi selama 2 minggu setelah infeksi)
c.
Keringat dingin
d.
Kejang-kejang
e.
Perasaan lemas, tidak nafsu makan,
sakit pada tulang dan sendi.
D.PATOGENESIS/
PATOFISIOLOGI
Terjadinya infeksi oleh parasit
Plasmodium ke dalam tubuh manusia dapat terjadi melalui dua cara yaitu :
a.
Secara alami melalui gigitan
nyamuk anopheles betina yang mengandung parasit malaria
b.
Induksi yaitu jika stadium
aseksual dalam eritrosit masuk ke dalam darah manusia, misalnya melalui
transfuse darah, suntikan, atau pada bayi yang baru lahir melalui plasenta ibu
yang terinfeksi (congenital).
Patofisiologi malaria
sangat kompleks dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut :
a. Penghancuran
eritrosit yang terjadi oleh karena :
-Pecahnya eritrosit
yang mengandung parasit
-Fagositosis
eritrosit yang mengandung dan tidak mengandung parasit
Akibatnya terjadi
anemia dan anoksia jaringan dan hemolisis intravaskuler
b. Pelepasan mediator
Endotoksin-makrofag
Pada proses skizoni
yang melepaskan endotoksin, makrofag melepaskan berbagai mediator endotoksin.
c. Pelepasan TNF (
Tumor necrosing factor atau factor nekrosis tumor )
Merupakan suatu
monokin yang dilepas oleh adanya parasit malaria. TNF ini bertanggung jawab
terhadap demam, hipoglikemia, ARDS.
d. Sekuetrasi
eritrosit
Eritrosit yang
terinfeksi dapat membentuk knob di permukaannya. Knob ini mengandung antigen
malaria yang kemudian akan bereaksi dengan antibody. Eritrosit yang terinfeksi
akan menempel pada endotel kapiler alat dalam dan membentuk gumpalan sehingga
terjadi bendungan.
E.
DATA PENUNJANG
1. Laboratorium
Anemia pada malaria
dapat terjadi akut maupun kronik, pada keadan akut terjadi penurunan yang cepat
dari Hb. Penyebab anemia pada malaria adalah pengrusakan eritrosit oleh
parasit, penekanan eritropoesis dan mungkin sangat penting adalah hemolisis
oleh proses imunologis. Pada malaria akut juga terjadi penghambatan
eritropoesis pada sumsum tulang, tetapi bila parasitemia menghilang, sumsum
tulang menjadi hiperemik, pigmentasi aktif dengan hyperplasia dari normoblast.
Pada darah tepi dapat dijumpai poikilositosis, anisositosis, polikromasia dan
bintik-bintik basofilik yang menyerupai anemia pernisioasa. Juga dapat dijumpai
trombositopenia yang dapat mengganggu proses koagulasi.
Pada malaria tropika
yang berat maka plasma fibrinogen dapat menurun yang disebabkan peningkatan
konsumsi fibrinogen karena terjadinya koagulasi intravskuler. Terjadi ikterus
ringan dengan peningkatan bilirubin indirek yang lebih banyak dan tes fungsi
hati yang abnormal seperti meningkatnya transaminase, tes flokulasi sefalin
positif, kadar glukosa dan fosfatase alkali menurun. Plasma protein menurun
terutama albumin, walupun globulin meningkat. Perubahan ini tidak hanya
disebabkan oleh demam semata melainkan juga karena meningkatkan fungsi hati.
Hipokolesterolemia juga dapat terjadi pada malaria. Glukosa penting untuk
respirasi dari plasmodia dan peningkatan glukosa darah dijumpai pada malaria
tropika dan tertiana, mungkin berhubungan dengan kelenjar suprarenalis. Kalium
dalam plasma meningkat pada waktu demam, mungkin karena destruksi dari sel-sel
darah merah. LED meningkat pada malaria namun kembali normal setelah diberi
pengobatan.
2. Diagnosis
Diagnosis malaria
sering memerlukan anamnesa yang tepat dari penderita tentang asal penderita apakah
dari daerah endemic malaria, riwayat bepergian ke daerah malaria, riawayat
pengobatan kuratip maupun preventip.
a. Pemeriksaan tetes
darah untuk malaria
Pemeriksaan
mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasit malaria sangat penting
untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan satu kali dengan hasil negative tidak
mengenyampingkan diagnosa malaria. Pemeriksaan darah tepi tiga kali dan hasil
negative maka diagnosa malaria dapat dikesampingkan. Adapun pemeriksaan darah
tepi dapat dilakukan melalui :
1) Tetesan preparat
darah tebal
Merupakan cara
terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan darah cukup banyak
dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan mudah dibuat khususnya untuk studi
di lapangan. Ketebalan dalam membuat sediaan perlu untuk memudahkan
identifikasi parasit. Pemeriksaan parasit dilakukan selama 5 menit
(diperkirakan 100 lapang pandangan dengan pembesaran kuat). Preparat dinyatakan
negative bila setelah diperiksa 200 lapang pandangan dengan pembesaran 700-1000
kali tidak ditemukan parasit. Hitung parasit dapat dilakukan pada tetes tebal
dengan menghitung jumlah parasit per 200 leukosit. Bila leukosit 10.000/ul maka
hitung parasitnya ialah jumlah parasit dikalikan 50 merupakan jumlah parasit
per mikro-liter darah.
b). Tetesan preparat
darah tipis. Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium, bila dengan
preparat darah tebal sulit ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai
hitung parasit (parasite count), dapat dilakukan berdasar jumlah eritrosit yang
mengandung parasit per 1000 sel darah merah. Bila jumlah parasit >
100.000/ul darah menandakan infeksi yang berat. Hitung parasit penting untuk
menentukan prognosa penderita malaria. Pengecatan dilakukan dengan pewarnaan
Giemsa, atau Leishman’s, atau Field’s dan juga Romanowsky.
Pengecatan Giemsa
yang umum dipakai pada beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang
mudah dengan hasil yang cukup baik.
b. Tes Antigen : p-f
test
Yaitu mendeteksi
antigen dari P.falciparum (Histidine Rich Protein II). Deteksi sangat cepat
hanya 3-5 menit, tidak memerlukan latihan khusus, sensitivitasnya baik, tidak
memerlukan alat khusus. Deteksi untuk antigen vivaks sudah beredar dipasaran
yaitu dengan metode ICT. Tes sejenis dengan mendeteksi laktat dehidrogenase
dari plasmodium (pLDH) dengan cara immunochromatographic telah dipasarkan
dengan nama tes OPTIMAL. Optimal dapat mendeteksi dari 0-200 parasit/ul darah
dan dapat membedakan apakah infeksi P.falciparum atau P.vivax. Sensitivitas
sampai 95 % dan hasil positif salah lebih rendah dari tes deteksi HRP-2. Tes
ini sekarang dikenal sebagai tes cepat (Rapid test).
c). Tes Serologi
Tes serologi mulai
diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai tekhnik indirect fluorescent
antibody test. Tes ini berguna mendeteksi adanya antibody specific terhadap
malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang
bermanfaat sebagai alat diagnostic sebab antibody baru terjadi setelah beberapa
hari parasitemia. Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi
atau alat uji saring donor darah. Titer > 1:200 dianggap sebagai infeksi
baru ; dan test > 1:20 dinyatakan positif . Metode-metode tes serologi
antara lain indirect haemagglutination test, immunoprecipitation techniques,
ELISA test, radio-immunoassay.
d). Pemeriksaan PCR
(Polymerase Chain Reaction) --->pemeriksaan infeksi
Pemeriksaan ini
dianggap sangat peka dengan tekhnologi amplifikasi DNA, waktu dipakai cukup
cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan tes ini walaupun
jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini baru
dipakai sebagai sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin.
F.
KOMPLIKASI
Komplikasi malaria umumnya disebabkan
karena P.falciparum dan sering disebut pernicious manifestasions. Sering
terjadi mendadak tanpa gejala-gejala sebeumnya, dan sering terjadi pada
penderita yang tidak imun seperti pada orang pendatang dan kehamilan.
Komplikasi terjadi 5-10 % pada seluruh penderita yang dirawat di RS dan 20 %
diantaranya merupakan kasus yang fatal.
Penderita malaria dengan kompikasi
umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO didefinisikan
sebagai infeksi P.falciparum dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut
:
1.
Malaria serebral (coma) yang tidak
disebabkan oleh penyakit lain atau lebih dari 30 menit setelah serangan kejang
; derajat penurunan kesadaran harus dilakukan penilaian berdasar GCS (Glasgow
Coma Scale) ialah dibawah 7 atau equal dengan keadaan klinis soporous.
2.
Acidemia/acidosis ; PH darah
<>respiratory distress.
3.
Anemia berat (Hb <>
10.000/ul; bila anemianya hipokromik atau miktositik harus dikesampingkan
adanya anemia defisiensi besi, talasemia/hemoglobinopati lainnya.
4.
Gagal ginjal akut (urine kurang
dari 400 ml/24 jam pada orang dewasa atau 12 ml/kg BB pada anak-anak) setelah
dilakukan rehidrasi, disertai kreatinin > 3 mg/dl.
5.
Edema paru non-kardiogenik/ARDS
(adult respiratory distress syndrome).
6.
Hipoglikemi : gula darah <>
7.
Gagal sirkulasi atau syok :
tekanan sistolik <> C:8).10
8.
Perdarahan spontan dari hidung
atau gusi, saluran cerna dan disertai kelainan laboratorik adanya gangguan
koagulasi intravaskuler
9.
Kejang berulang lebih dari 2
kali/24 jam
10.
Makroskopik hemoglobinuri oleh
karena infeksi malaria akut (bukan karena obat anti malaria/kelainan eritrosit
(kekurangan G-6-PD)
11.
Diagnosa post-mortem dengan
ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh kapiler pada jaringan otak.
G.
PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan malaria
dapat dilakukan dengan memberikan obat antimalari. Obat antimalaria dapat
dibagi dalam 9 golongan yaitu :
1.kuinin (kina)
2.mepakrin
3.klorokuin, amodiakuin
4.proguanil, klorproguanil
5.Primakuin
6.pirimetamin
7.sulfon dan sulfonamide
8.kuinolin methanol
9.antibiotic
Berdasarkan
suseptibilitas berbagai macam stadium parasit malaria terhadap obat
antimalaria, maka obat antimalaria dapat juga dibagi dalam 5 golongan yaitu :
1.
Skizontisida jaringan primer yang
dapat membunuh parasit stadium praeritrositik dalam hati sehingga mencegah
parasit masuk dalam eritrosit, jadi digunakan sebagai obat profilaksis kausal.
Obatnya adalah proguanil, pirimetamin.
2.
Skizontisida jaringan sekunder
dapat membunuh parasit siklus eksoeritrositik P. vivax dan P. ovale dan
digunakan untuk pengobatan radikal sebagai obat anti relaps, obatnya adala
primakuin.
3.
Skizontisida darah yang membunuh
parasit stadium eritrositik, yang berhubungan dengan penyakit akut disertai
gejala klinik. Obat ini digunakan untuk pengobatan supresif bagi keempat
spesies Plasmodium dan juga dapat membunuh stadium gametosit P. vivax, P.
malariae dan P. ovale, tetapi tidak efektif untuk gametosit P. falcifarum.
Obatnya adalah kuinin, klorokuin atau amodiakuin; atau proguanil dan
pirimetamin yang mempunyai efek terbatas.
4.
Gametositosida yang menghancurkan
semua bentuk seksual termasuk gametosit P. falcifarum. Obatnya adalah primakuin
sebagai gametositosida untuk keempat spesies dan kuinin, klorokuin atau
amodiakuin sebagai gametositosida untuk P. vivax, P. malariae dan P. ovale.
5.
Sporontosida yang dapat mencegah
atau menghambat gametosit dalam darah untuk membentuk ookista dan sporozoit
dalam nyamuk Anopheles. Obat – obat yang termasuk golongan ini adalah primakuin
dan proguanil.
4.
Infeksi Bakteri
A.
Pengertian
Infeksi Saluran Kemih
(ISK) adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk mengatakan adanya invasi
mikroorganisme pada saluran kemih (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 2, Hal
369).
Infeksi saluran kemih
dapat mengenai baik laki-laki maupun perempuan dari semua umur baik pada
anak-anak, remaja, dewasa maupun pada usia lanjut. Akan tetapi, wanita lebih
sering dari pria dengan angka populasi kurang lebih 5-15%.
Infeksi traktus
urinarius pada pria merupakan akibat dari menyebarnya infeksi yang berasal dari
urethra seperti juga pada wanita. Namun demikian, panjang uretra dan jauhnya
jarak antara urethra dari rektum pada pria dan adanya bakterisidal dalam cairan
prostatik melindungi pria dari infeksi traktus urinarius. Akibatnya UTI pada
pria jarang terjadi, namun ketika gangguan ini terjadi akan menunjukkan adanya
abnormalitas fungsi dan struktur dari traktus urinarius.
B.
Etiologi
1. Bakteri (Eschericia coli)
2. Jamur dan virus
3. Infeksi ginjal
4. Prostat hipertropi (urine sisa)
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya
infeksi saluran kemih yaitu:
1. Bendungan aliran urine:
a. Anatomi konginetal
b. Batu saluran kemih
c. Oklusi ureter (sebagian atau total)
2. Refluks vesiko ureter
3. Urine sisa dalam buli-buli dapat terjadi karena:
a.
Neurogenik bladder
b.
Striktur urethra
c.
Hipertropi prostat
4. Gangguan metabolic:
a. Hiperkalsemia (kalsium)
b. Hipokalemia (Kalium)
c. Agammaglobulinemia
5. Instrumentasi
a. Dilatasi urethra
sistoskopi
6. Kehamilan
a. Faktor statis dan bendungan
b. pH urine yang tinggi sehingga
mempermudah pertumbuhan kuman
C.
Patofisiologi
Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran kemih dapat
melalui:
1.
Penyebaran endogen yaitu kontak
langsung dari tempat terdekat saluran kemih yang terinfeksi.
2.
Hematogen yaitu penyebaran
mikroorganisme patogen yang masuk melalui darah yang terdapat kuman penyebab
infeksi saluran kemih yang masuk melalui darah dari suplay jantung ke ginjal.
3.
Limfogen yaitu kuman masuk melalui
kelenjar getah bening yang disalurkan melalui helium ginjal.
4.
Eksogen sebagai akibat pemakaian
alat berupa kateter atau sistoskopi.
Dua jalur utama
terjadi infeksi saluran kemih ialah hematogen dan ascending. Tetapi dari kedua
cara ini, ascending-lah yang paling sering terjadi.
Infeksi hematogen
kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah karena
menderita suatu penyakit kronik atau pada pasien yang sementara mendapat
pengobatan imun supresif. Penyebaran hematogen bisa juga timbul akibat adanya
infeksi di salah satu tempat misalnya infeksi S.Aureus pada ginjal bisa terjadi
akibat penyebaran hematogen dari fokus infeksi dari tulang, kulit, endotel atau
di tempat lain.
Infeksi ascending
yaitu masuknya mikroorganisme dari uretra ke kandung kemih dan menyebabkan
infeksi pada saluran kemih bawah. Infeksi ascending juga bisa terjadi oleh
adanya refluks vesico ureter yang mana mikroorganisme yang melalui ureter naik
ke ginjal untuk menyebabkan infeksi.
Infeksi tractus
urinarius terutama berasal dari mikroorganisme pada faeces yang naik dari
perineum ke uretra dan kandung kemih serta menempel pada permukaan mukosa. Agar
infeksi dapat terjadi, bakteri harus mencapai kandung kemih, melekat pada dan
mengkolonisasi epitelium traktus urinarius untuk menghindari pembilasan melalui
berkemih, mekanisme pertahan penjamu dan cetusan inflamasi.
D.
Macam-macam ISK
1. Infeksi saluran kemih bagian bawah yaitu:
a. Peradangan pada urethra atau
urethritis.
b. Peradangan pada kandung kemih atau
cystitis.
c. Peradangan pada prostat atau
prostatitis.
2. Infeksi saluran bagian kemih atas yaitu:
a.
Pielonefritis akut
b.
Pielonefritis kronik
E.
Gambaran Klinis
1. Uretritis biasanya memperlihatkan gejala:
a.
Mukosa memerah dan edema
b.
Terdapat cairan eksudat yang
purulent
c.
Ada ulserasi pada urethra
d.
Adanya rasa gatal yang menggelitik
e.
Adanya nanah awal miksi
f.
Dysuria (nyeri waktu berkemih)
g.
Kesulitan memulai kencing, kurang
deras dan berhenti sementara miksi (prostatismus)
h.
Nyeri pada abdomen bagian bawah
(supra pubic)
2. Cystitis biasanya memperlihatkan gejala:
a. Dysuria (nyeri
waktu berkemih)
b. Peningkatan
frekuensi berkemih
c. Sering kencing
pada malam (nocturia)
d. Keinginan kuat
untuk berkemih (urgency)
e. Kencing yang susah
dan disertai kejang otot pinggang (stranguria)
f. Nyeri pinggang
bawah atau suprapubic
g. Demam yang
disertai adanya darah dalam urine pada kasus yang parah
3. Pielonefritis akut biasanya memperlihatkan gejala:
a. Demam
b. Menggigil
c. Nyeri pinggang
d. Mual sampai
muntah
e. “Irritative
voiding symptoms” (sering miksi, mendesak dan dysuria)
f. Tanda penting:
nyeri ketok pada pinggang (ginjal) yang terkena
4. Pielonefritis kronik mungkin memperlihatkan
gambaran mirip dengan pielonefritis akut, tetapi dapat juga menimbulkan
hipertensi dan akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal.
F.
Komplikasi
1. Pembentukan abses ginjal atau perirenal
2. Gagal ginjal
G.
Pemeriksaan diagnostic
Urinalisis, Bakteriologis, USG dan IVP
H.
Pengobatan
1.
Terapi antibiotik untuk membunuh
bakteri gram positif maupun gram negatif
2.
Apabila pielonefritis kroniknya
disebabkan oleh obstruksi atau refluks, maka diperlukan penatalaksanaan
spesifik untuk mengatasi masalah-masalah tersebut
3.
Dianjurkan untuk sering minum dan
BAK sesuai kebutuhan untuk membilas mikroorganisme yang mungkin naik ke
urethra, untuk wanita harus membilas dari depan ke belakang untuk menghindari
kontaminasi lubang urethra oleh bakteri faeces.
I.
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri
2. Perubahan pola eliminasi
3. Hipertermia
4. Resiko defisit volume cairan
5. Resiko infeksi sekunder
6. Gangguan pemenuhan kebutuhan
istirahat dan tidur
7. Kecemasan
8. Kurang pengetahuan
5. Infeksi Herves
a. Definisi
Herpes simpleks
adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (virus herpes
hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok
di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan,
sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens.
b. Etiologi
Berdasarkan struktur
antigeniknya dikenal 2 tipe virus herpes simpleks:
1)
Virus Herpes Simpleks Tipe I (HSV I)
Penyakit
kulit/selaput lendir yang ditimbulkan biasanya disebut herpes simpleks saja,
atau dengan nama lain herpes labialis, herpesfebrilis. Biasanya penderita
terinfeksi virus ini pada usia kanak-kanak melalui udara dan sebagian kecil
melalui kontak langsung seperti ciuman, sentuhan atau memakai baju/handuk mandi
bersama. Lesi umumnya dijumpai pada tubuh bagian atas termasuk mata dengan
rongga mulut, hidung dan pipi; selain itu, dapat juga dijumpai di daerah
genitalia, yang penularannya lewat koitusoro genital (oral sex).
2)
Virus Herpes Simpleks Tipe II (HSV II)
Penyakit ditularkan
melalui hubungan seksual, tetapi dapat juga terjadi tanpa koitus, misalnya
dapat terjadi pada dokter gigi dan tenaga medik. Lokalisasi lesi umumnya adalah
bagian tubuh di bawah pusar, terutama daerah genitalia lesi ekstra-genital
dapat pula terjadi akibat hubungan seksualorogenital.
c. Patofisiologi
Virus herpes simpleks
disebarkan melalui kontak langsung antara virus dengan mukosa atau setiap
kerusakan di kulit. Virus herpes simpleks tidak dapat hidup di luar lingkungan
yang lembab dan penyebaran infeksi melalui cara selain kontak langsung kecil
kemungkinannya terjadi. Virus herpes simpleks memiliki kemampuan untuk
menginvasi beragam sel melalui fusi langsung dengan membran sel. Pada infeksi
aktif primer, virus menginvasi sel pejamu dan cepat berkembang dengan biak,
menghancurkan sel pejamu dan melepaskan lebih banyak virion untuk menginfeksi
sel-sel disekitarnya. Pada infeksi aktif primer, virus menyebar melalui saluran
limfe ke kelenjar limfe regional dan menyebabkan limfadenopati.
Tubuh melakukan
respon imun seluler dan humoral yang menahan infeksi tetapi tidak dapat
mencegah kekambuhan infeksi aktif. Setelah infeksi awal timbul fase laten.
Selama masa ini virus masuk ke dalam sel-sel sensorik yang mempersarafi daerah
yang terinfeksi dan bermigrasi disepanjang akson untuk bersembunyi di dalam
ganglion radiksdorsalis tempat virus berdiam tanpa menimbulkan sitotoksisitas
atau gejala pada manusia.
d. Manifestasi Klinis
1. Inokulasi kompleks primer (primary
inoculation complex)
Infeksi primer herpes
simpleks pada penderita usia muda yang baru pertama kali terinfeksi virus ini
dapat menyebabkan reaksi lokal dan sistemik yang hebat. Manifestasinya dapat
berupa herpes labialis. Dalam waktu 24 jam saja, penderita sudah mengalami
panas tinggi (39-40oC), disusul oleh pembesaran kelenjar limfe submentalis, pembengkakan
bibir, dan lekositosis di atas 12.000/mm3, yang 75-80%nya berupa sel
polimorfonuklear. Terakhir, bentuk ini diikuti rasa sakit pada tenggorokan.
Insidens tertinggi terjadi pada usia antara 1-5 tahun. Waktu inkubasinya 3-10
hari. Kelainan akan sembuh spontan setelah 2-6 minggu.
2. Herpes gingivostomatitis
Kebanyakan bentuk ini
terjadi pada anak-anak dan orang dewasa muda. Manifestasi klinis berupa panas
tinggi, limfadenopati regionaldan malaise. Lesi berupa vesikel yang memecah dan
terlihat sebagai bercak putih atau ulkus. Kelainan ini dapat meluas ke mukosa
bukal, lidah, dan tonsil, sehingga mengakibatkan rasa sakit, bau nafas yang
busuk, dan penurunan nafsu makan. Pada anak-anak dapat terjadi dehidrasi dan
asidosis. Kelainan ini berlangsung antara 2-4 minggu.
3. Infeksi herpes kompleks di seminata
Bentuk herpes ini
terjadi pada anak-anak usia 6 bulan sampai 3 tahun, dimulai dengan herpes
gingivostomatitis berat. Jenis ini dapat mengenai paru-paru dan menimbulkan
viremia masif, yang berakibat gastroenteritis disfungsi ginjal dan kelenjar
adrenal, serta ensefalitis. Kematian banyak terjadi pada stadium viremia yang
berat.
4. Herpes genitalis (proge nitalis)
Infeksi primer
terjadi setelah melalui masa tunas 3-5 hari. Penularan dapat melalui hubungan
seksual secara genito-genital, orogenital, maupun anogenital. Erupsinya juga
berupa vesikel tunggal atau menggerombol, bilateral, pada dasar kulit yang
eritematus, kemudian berkonfluensi, memecah, membentuk erosi atau ulkus yang
dangkal disertai rasa nyeri. 31% penderita mengalami gejala konstitusi berupa
demam, malaise, mialgia, dan sakit kepala; dan 50% mengalami limfadenopati
inguinal.
e. Penatalaksanaan Medis
Karena infeksi HSV
tidak dapat disembuhkan, maka terapi ditujukan untuk mengendalikan gejala dan
menurunkan pengeluaran virus. Obat antivirus analognukleosida merupakan terapi
yang dianjurkan.
Obat-obatan ini
bekerja dengan menyebabkan deaktivasi atau mengantagonisasi DNA polymerase HSV
yang pada gilirannya menghentikan sintesis DNA dan replikasi virus. Tiga obat
antivirus yang dianjurkan oleh petunjuk CDC 1998 adalak asiklovir, famsiklovir,
dan valasiklovir.
Obat antivirus harus
dimulai sejak awal tanda kekambuhan untuk mengurangi dan mempersingkat gejala.
Apabila obat tertunda sampai lesi kulit muncul, maka gejala hanya memendek 1
hari. Pasien yang mengalami kekambuhan 6 kali atau lebih setahun sebaiknya
ditawari terapi supresif setiap hari yang dapat mengurangi frekuensi kekambuhan
sebesar 75%.
Terapi topical dengan
krim atau salep antivirus tidak terbukti efektif. Terapi supresif atau
profilaksis dianjurkan untuk mengurangi resiko infeksi perinatal dan keharusan
melakukan seksioses area pada wanita yang positif HSV. Vaksin untuk mencegah
infeksi HSV-2 sekarang sedang diteliti.
f. Pencegahan
Karena kemungkinan
tertular penyakit ini meningkat dengan jumlah pasangan seksual seseorang,
membatasi jumlah pasangan adalah langkah pertama menuju pencegahan. Untuk
menjaga dari penyebaran herpes, kontak intim harus dihindari ketika luka pada
tubuh. Gatal, terbakar atau kesemutan mungkin terjadi sebelum luka berkembang.
Hubungan seksual harus dihindari selama waktu ini. Herpes bahkan dapat menyebar
ketika tidak ada luka atau gejala. Untuk meminimalkan risiko penyebaran herpes,
kondom lateks harus digunakan selama semua kontak seksual.
Busa spermisida dan
jeli mungkin menawarkan perlindungan tambahan meskipun bukti mengenai hal ini
kontroversial. Virus herpes juga dapat menyebar dengan menyentuh luka dan
kemudian menyentuh bagian lain dari tubuh. Jika Anda menyentuh luka, cuci
tangan Anda dengan sabun dan air sesegera mungkin. Juga, tidak berbagi handuk
atau pakaian dengan siapa pun.
g. Pengkajian
1) Kondisi luka, vesikel, bula/krusta
2) Kaji faktor pencetus
3) Kaji sistem sensori terkait
4) Kaji adanya nyeri, fatigue, demam
5) Kaji riwayat keluarga,awitan kejadian
penyakit
6) Kaji sistem terkait, psikososial
h. Diagnosa Keperawatan
§ Gangguan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi kulit, krusta,
vesikel
§ Hipertemi berhubungan dengan peningkatan set poin hipotalamus
§ Nyeri berhubungan dengan infeksi pada sel neuron nyeri dalam ganglia
§ Fatigue berhubungan dengan Penurunan sumber energi
§ Resti nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan turun
nafsu makan
i. Intervensi
o
Observasi kulit setiap hari catat
turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang terjadi
o
Jaga kebersihan lokal area infeksi
o
Anjurkan klien hindari trauma/
faktor pencetus
o
Anjurkan tirah baring
o
Jaga vesikel agar tidak pecah
o
Untuk herpes zoster oftalmik harus
dirawat di RS untuk memonitor kelainan mata
o
Kolaborasi Pemberian obat dan
perawatan kompres vesikel yang pecah
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentar Untuk Perbaikan Postingan Selanjutnya !