Pengeluaran
Feses Secara Normal
Banyak faktor yang mempengaruhi
proses eliminasi fekal. Pengetahuan tentang faktor-faktor ini memungkinkan
perawat melakukan tindakan antisipasi yang diperlukan untuk mempertahankan pola
eliminasi normal. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi eliminas
tersebut yakni :
1.
Usia
Perubahan dalam tahap perkembangan
yang mempengaruhi status eliminasi terjadi di sepanjang kehidupan. Seorang bayi
memiliki lambung yang kecil dan lebih sedikit menyekresi enzim pencernaaan.
Beberapa makanan, seperti zat pati yang kompleks, ditoleransi dengan buruk.
Makanan melewati saluran pencernaan dengan kurangnya perkembangan
neuromuscular. Perkembangan ini biasanya tidak terjadi sampai usia 2 sampai 3
tahun. Pertumbuhan usus besar terjadi sangat pesat selama masa remaja. Sekresi
HCl meningkat, khususnya pada anak laki-laki. Anak remaja biasanya mengonsumsi
makanan dalam jumlah lebih besar.
Sistem GI pada lansia sering
mengalami perubahan sehingga merusak proses pencernaan dan eliminasi
(Lueckenotte, 1994). Beberapa perubahan pada saluran GI, yang berlangsung
seiring dengan proses penuaan. Beberapa lansia mungkin tidak lagi memiliki gigi
sehingga mereka tidak mampu mengunyah makanan dengan baik. Makanan, yang
memasuki saluran GI, hanya dikunyah sebagian dan tidak dapat dicerna karena
jumlah enzim pencernaan di dalam saliva dan volume asam lambung menurun seiring
dengan proses penuaan. Ketidakmampuan untuk mencerna makanan yang mengandung
lemak mencerminkan terjadinya kehilangan enzim lipase.
Lansia yang dirawat di rumah sakit
terutama berisiko mengalami perubahan fungsi usus. Dalam suatu penelitian
ditemukan bahwa terdapat 91% insiden diare atau konstipasi dalam populasi
lansia yang berjumlah 33 orang, yang di rawat di rumah sakit, dengan usia
rata-rata 76 tahun (Ross, 1990).
Selain itu, gerakan [eristaltik
menurun seiring dengan peningkatan usia dan melambatnya pengosongan esophagus
yang melambat dapat menimbulkan rasa tidak nyaman di bagian epigaster abdomen.
Materi pengabsorpsian pada mukosa usus beubah, menyebabkan protein, vitamin,
dan mineral berkurang. Lansia juga kehilangan tonus otot pada otot dasar
perineum dan sfingter anus. Walaupun integritas sfingter eksterna tetap utuh,
lansia mungkin mengalami kesulitan dalam mengontrol pengeluaran feses. Beberapa
lansia kurang menyadari kebutuhannya untuk berdefekasi akibat melambatnya
impuls saraf sehingga mereka cenderung mengalami konstipasi.
2.
Diet
Asupan makanan setiap hari secara
teratur membantu mempertahankan pola peristaltic yang teratur di dalam kolon.
Makanan yang dikonsumsi individu mempengaruhi eliminasi. Serat, residu makanan
yang tidak dapat dicerna, memungkinkan terbentuknya masa dalam materi feses.
Makanan pembentuk masa mengabsorbsi cairan sehingga meningkatkan feses. Dinding
usus teregang, menciptakan gerakan peristaltic dan menimbulkan reflex defekasi.
Usus bayi yang belum matang biasanya tidak dapat mentoleransi makanan berserat
sampai usianya mencapai beberapa bulan. Dengan menstimulasi peristaltic, masa
makanan berjalan dengan cepat melalui usus, mempertahankan feses tetap lunak.
Makan-makanan berikut mengandung
serat dalam jumlah tinggi (masa) :
1. Buah-buahan
mentah (apel, jeruk)
2. Buah-buahan yang
diolah (prum, apikrot)
3. Sayur-sayuran
(bayam, kangkung, kubis)
4. Sayur-sayuran
mentah (seledri, mentimun)
5. Gandum utuh
(sereal, roti)
Mengonsumsi makanan tinggi serat
meningkatkan kemungkinan normalnya pola eliminasi jika factor lain juga normal.
Makanan yang menghasilkan gas, seperti bawang, kembang kol, dan buncis juga
menstimulasi peristaltic. Gas yang dihasilkan membuat dinding usus berdistensi,
meningkatkan motilitas kolon. Beberapa makanan pedas dapat meningkatkan
peristaltic, tetapi juga dapat menyebabkan pencernaan tidak berlangsung dan
feses menjadi encer.
Beberapa jenis makanan, seperti susu
dan produk-produk susu, sulit atau tidak mungkin dicerna oleh beberapa
individu. Hal ini disebabkan oleh intoleransi laktosa. Laktosa, suatu bentuk
karbohidrat sederhana yang ditemukan di dalam susu, secara normal dipecah oleh
enzim lactase. Intoleransi terhadap makanan tertentu dapoat mengakibatkan
diare, distensi gas, dank ram.
3.
Asupan Cairan
Asupan cairan yang tidak adekuat
atau gangguan yang menyebabkan kehilangan cairan (seperti muntah) mempengrauhi
karakter feses. Asupan cairan yang menurun memperlambat pergerakan makanan yang
melalui usus. Orang dewasa harus minum 6 sampai 8 gelas (1400 sampai 2000ml)
cairan stiap hari. Minuman ringan yang hangat dan jus buah memperlunak feses
dan meningkatkan peristaltic. Konsumsi susu dalam jumlah besar dapat memperlambat
peristaltic pada beberapa induvidu dan menyebabkan konstipasi.
4.
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik meningkatkan
peristaltic, sementara imobilisasai menekan motilitas kolon. Ambulasi dini
setelah klien menderita suatu penyakit dianjurkan untuk meningkatkan dipertahankannya
eliminasi normal.
Upaya mempertahankan tonus otot
rangka, yang digunakan selama proses defekasi, merupakan hal yang penting.
Melemahnya otot-otot dasar panggul dan abdomen merusak kemampuan individu untuk
mengontrol sfingter eksterna. Tonus otot dapat melemah atau hilang akibat
penyakit yang berlangsung dalam jangka waktu lama atau penyakit neurologis yang
merusak transmisi saraf.
5.
Faktor Psikologis
Fungsi dari hamper semua system
tubuh dapat mengalami gangguan akibat stress emosional yang lama. Apabila
individu mengalami kecemasan, ketakutan, atau marah, muncul respon stress, yang
memungkinkan tubuh membuat pertahanan. Untuk menyediakan nutrisi dibutuhkan
dalam upaya pertahanan tersebut, proses pencernaan dipercepat dan peristaltic
meningkat. Efek samping peristaltic yang meningkat antara lain diare dan
distensi gas. Apabila individu mengalami depresi, system saraf otonom
memperlambat impuls saraf dan peristaltic dapat menurun. Sejumlah penyakit pada
saluran GI dapat dikaitkan dengan stress. Penyakit ini meliputi colitis
ulseratif, ulkus lambung, dan penyakit Crohn. Upaya penelitian berulang yang
dilakuakn sejak lama telah gagal membuktikan mitos bahwa penyebab klien
mengalami penyakit tersebut adalah karena meiliki kondisi psikopatologis. Namun,
ansietas dan depresi mungkin merupakan akibat dari masalah kronik tersebut
(Cooke, 1991).
6.
Kebiasaan Pribadi
Kebiasaan eliminasi pribadi
mempengaruhi fungsi usus. Jadwal kerja yang sibuk dapat mengganggu kebiasaan
dan mengakibatkan perubahan, seperti konstipasi. Individu harus mencari waktu
terbauk untuk melaksanakan eliminasinya. Refleks gastrokolik adalah reflex yang
paling mudah distimulasi untuk menimbulkan defekasi setelah sarapan.
Klien yang dirawat di rumah sakit
jarang dapat mempertahankan privasi saat melakukan defekasi. Fasilitas kamar
mandi seringkali digunakan bersama-sama dengan teman sekamarnya, yang kebiasaan
higienenya mungkin cukup berbeda. Penyakit yang diderita klien sering membatasi
aktivitas fisiknya dan ia membutuhkan pispot atau commode yang ditempatkan di
samping tempat tidurnya. Pemandangan, suara, dan bau yang dihubungkan dengan
kondisi tempat fasilitas toilet digunakan bersama-bersama atau saat menggunakan
pispot sering menimbulkan rasa malu. Rasa malu membuat klien mengabaikan
kebutuhannya untuk berdefekasi, yang dapat memulai siklus rasa tidak nyaman
yang hebat.
7.
Posisi Selama Defekasi
Posisi jongkok merupakan posisi yang
normal saat melakukan defekasi. Toilet modern dirancang untuk memfasilitasi
posisi ini, sehingga memungkinkan individu untuk duduk tegak kearah depan,
mengeluarkan tekanan intaabdomen dan mengontraksi otot-otot pahanya. Namun,
klien lansia atau individu yang menderita penyakit sendi, seperti arthritis,
mungkin tidak mampu bangkit dari temapat duduk toilet yang rendah. Alat untuk
meninggikan tempat duduk di toilet memapukan klien untuk bangun dari posisi
duduk di toilet tanpa bantuan. Klien yang menggunakan alat tersebut dan
individu yang berpostur pendek, mungkin membutuhkan pijakan kaki yang
memungkinkan ia menekuk pinggulnya dengan benar.
Untuk klien imobilisasi di tempat
tidur, defekasi seringkali dirasakan sulit. Posisi telentang tidak memungkinkan
klien mengontraksi otot-otot yang digunakan selama defekasi. Membantu klien ke
posisi duduk yang lebih normal pada pispot akan menibfkatkan kemampuan
defekasi.
8.
Nyeri
Dalam kondidi noramal, kegiatan
defekasi tidak menimbulkan nyeri. Namun, pada sejumlah kondisi, termasuk
hemoroid, bedah rectum, fistula rectum, bedah abdomen, dan melaho\irkan anak
dapat menimbulkan rasa tidak nyaman ketika defekasi. Pada kondisi-kondisi
seperti ini, klien seringkali mansupresi keinginanya untuk berdefekasi guna
menghindari rasa nyeri yang mungkin akan timbul. Konstipasi merupakan masalah
umum pada klien yang merasa nyeri selama defekasi.
9.
Kehamilan
Seiring dengan meningkatnya usia
kehamilan dan ukuran fetus, tekanan diberikan pada rectum. Obstruksi sementara
akibat keberadaan fetus mengganggu pengeluaran feses. Konstipasi adalah masalah
umum ang muncul pada trimester terakhir. Wanita hamil yang sering mengedan
selama defekasi dapat menyebabkan terbentuknya hemoroid yang permanen.
10.
Pembedahan dan Anestesi
Agens anestesi, yang dugunakan
selama proses pembedahan, membuat gerakan peristaltic berhenti untuk sementara
waktu. Klien yang menerima aneatesia local atau regional beresiko lebih kecil
untuk mengalami perubahan eliminasi karena aktivitas usus hanya dipengaruhi
sedikit atau bahkan tidak dipengaruhi sama sekali.
Pembedahan yang melibatkan
manipulasi usus secara langsung, sementara akan menghentikan gerakan
peristaltic. Kondisi inj disebut ileus paralitik yang biasanya berlangsung
sekitar 24 samapi 48 jam.
11.
Obat-obatan
Obat-obat untuk meningkatkan
defekasi telah tersedia yakni, Laksatif dan katartik melunakkan feses dan
meingkatkan peristaltic. Walaupun sama, kerja laksatif lebih ringan daripada
katartik. Penggunaan katartik dalam jangka waktu lama menyebabkan usus besar
kehilangan tonus ototnya dan menjadi kurang responsive terhadap stimulasi yang
diberikan oleh laksatif. Penggunaan laksatif yang berlebihan juga dapat
menyebabkan diare berat yang dapat menyebabkan dehidrasi dan kehilangan
elektrolit.
Obatobatan seperti disiklomin HCl
(Bentyl) menekan gerakan peristaltic dan mengobati diare. Obat analgestik
narkotik menekan gerakan peristaltic. Opiat umumna menyebabkan konstipasi.
Obat-obatan antikolinergik, seperti atropine atau glikopirolat (Robinal),
menghambat sekresi asam lambung dan menekan motilitas saluran GI. Walaupun
bermanfaat dalam mengobati gangguan usus, yakni hiperaktivitas usus, agens
antikolinegik dapat menyebabkan konstipasi.
12.
Pemeriksaan Diagnostik
Pemerikasaan diagnostic, yang melibatkan visualisasi
struktur saluran GI, sering memerlukan dikosongkannya isi di bagian usus. Klien
tidak diijinkan untuk makan atau minum setelah tengah malam jika esoknya akan
dilakukan pemeriksaan, seperti pemeriksaan yang menggunakan barium enema,
endoskopi saluran GI bagian bawah, atau serangkaian pemeriksaan saluran GI
bagian atas.
Prosedur pemeriksaan menggunakan barium menimbulkan
masalah tambahan. Barium mengeras jka dibiarkan di dalam saluran GI. Hal ini
dapat menyebabkan konstipasi atau impaksi usus. Seorang pasien harus menerima
katartik untuk meningkatkan eleminasi barium setelah prosedur dilakukan. Klien
yang mengalami kegagalan dalam mengevakuasi semua barium, mungkin usus klien
perlu dibersihkan dengan menggunakan enema.
The Gau’ 2012 : www.muhsakirmsg.blogspot.com/
Pengeluaran Feses Secara Normal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentar Untuk Perbaikan Postingan Selanjutnya !