PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PARIWISATA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Perencanaan merupakan sebuah proses pengembangan dan pengkoordinasian
secara menyeluruh dari apa yang sudah ada sekarang untuk menjadi lebih baik
agar dapat mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Dalam hal
perencanaan pembangunan kawawasan pariwisata, proses pengembangan dan
pengkoordinasian tersebut menyangkut masa depan dari suatu destinasi
pariwisata. Proses perencanaan menggambarkan lingkungan yang meliputi elemen-elemen
: politik, fisik, sosial, budaya dan ekonomi, sebagai komponen atau elemen yang
saling berhubungan dan saling tergantung, yang memerlukan berbagai pertimbangan.
1.2.
Rumusan Masalah
Dalam proses sebuah perencanaan kawasan pariwisata, elemen-elemen yang
disebut diatas merupakan hal penting yang harus dipertimbangkan agar mewujudkan
pembangunan kawasan pariwisata yang berkelanjutan dan mencapai sasaran
kesejahtraan masyarakat sebagai tujuan dari sebuah pembangunan. Untuk menyikapi
fenomena yang terjadi pada pariwisata sebagai sebuah destinasi baru dimana arah
kebijakan pengembangannya hanya semata-mata mengejar pertumbuhan pendapatan
(ekonomi makro).
Pada proses awal perencanaan sebuah kawasan pariwisata baru, pembangunan
fasilitas-fasilitas pendukung seperti infrastruktur dan amenity coremerupakan
sebuah hal yang mutlak untuk dilakukan, terlebih dengan potensi alam dan
kebudayaan yang menjadi daya tarik kawasan pariwisata yang secara signifikan
akan merangsang minat wisatawan untuk berkunjung. Namun disisi lain, elemen
lain yang tidak dapat dikesampingkan adalah keterlibatan masyarakat yang
merupakan bagian dari stakeholder dan juga sebagi pihak yang
akan merasakan dampak langsung pengembangan kawasan tersebut baik dampak
postitf maupun negative yang akan ditimbulkan.
1.3.
Tujuan Penulisan
Pada
BAB berikutnya, akan dipaparkan beberapa teori perencanaan pengembangan kawasan
pariwisata dari beberapa ahli yang diharapkan dapat menjadi acuan arah
pengembangan kawasan pariwisata yang seharusnya diterapkan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Perencanaan Pariwisata oleh Inskeep
& Gunn
Sebelum memulai pelaksanaan pengembangan kawasan wisata sebagai sebuah
kawasan pariwisata baru, sangat penting diawal untuk semua stakeholder yang
terkait memahami pengertian, maksud dan tujuan perencanaan pariwisata itu
sendiri agar arah pengembangannya nanti dapat terkontrol dan sesuai dengan
tujuan bersama yaitu Pro Growth, Pro Poor dan Pro
Job. Dibawah ini adalah definisi perencanaan pariwisata oleh Inskeep
& Gunn.
Inskeep mendefinisikan perencanaan sebagai “mengorganisasikan masa depan
untuk meraih tujuan tertentu.” (hal. 26) Pendekatan yang komprehensif dan
menyeluruh dibutuhkan bukan saja karena keseluruhan aspek (dalam perencanaan
pariwisata) saling terkait, melainkan pula terhubung dengan lingkungan alamiah
dan area sosial. Dengan segera, pemikiran Inskeep merubah kecenderungan para
perencana pariwisata dalam memandang alam dan komunitas. Kedua hal itu kini
dipandang sebagai subjek, bukan objek yang bisa dieksplorasi maupun
dieksploitasi. Ide inilah yang kemudian diresapi oleh Inskeep dalam berbagai
penjelasan selanjutnya terhadap cara serta proses bagaimana melakukan
perencanaan pariwisata dalam lingkup nasional dan regional, serta dalam
menganalisis perencanaan, memformulasikan kebijakan, mendesain pembangunan,
mempertimbangkan dampak, maupun menstrategikan dan mengimplementasikan tourism
plan.
Inskeep & Gunn (1994), mengemukakan bahwa suatu kawasan wisata
yang baik dan berhasil bila secara optimal didasarkan kepada empat
aspek yaitu :
1. Mempertahankan kelestarian lingkungannya
2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut
3. Menjamin kepuasan pengunjung
4. Meningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan masyarakat di
sekitar kawasan dan zone pengembangannya.
Sehingga melalui konsep perencanaan pariwisata yang dijelaskan oleh Gunn
dan Inskeeps dapat di terik kesimpulan bahwa dalam melakukan sebuah perencanaan
suatu objek wisata, diperlukan adanya fokus yang lebih menyeluruh pada aspek
lain selain sumber daya (atraksi) yang ada daerah sehingga pembangunan dan
pengembangan objek pariwisata di suatu daerah selain untuk menggerakan roda
ekonomi, diharapkan dapat berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup
dan meningkatkan kesejahtraan masyarakat disekitarnya melalui keterlibatan
secara langsung dalam sebuah pembangunan dan pengembangan pariwisata tersebut (Community
Involvement).
2.2. Konsep “Tourism Area Life Cycle of Evolution” oleh Butler
Seperti halnya diawal, setelah memahami latar belakang sebuah perencanaan
kawasan pariwisata, stakeholder termasuk pemerintah dan masyarakat
diharapkan mampu untuk memahami konsep dari Tourism Area Life Cycle of
Evolutiondimana konsep ini sangat penting untuk mengantisipasi penurunan
kualitas kawasan karena eksploitasi yang berlebihan yang dilakukan.
Berikut adalah penjelasannya;
Seperti yang dikatakan oleh Butler 1980 dalam http://tourismbali.wordpress.com/, bahwa terdapat enam tingkatan atau tahapan
dalam pembangunan pariwisata. Ke enam tahapan tersebut adalah :
A. Tahap Penemuan (Exploration)
Potensi pariwisata berada pada
tahapan identifikasi dan menunjukkan destinasi memiliki potensi untuk
dikembangkan menjadi daya tarik atau destinasi wisata karena didukung oleh
keindahan alam yang masih alami, daya tarik wisata alamiah masih sangat asli,
pada sisi lainnya telah ada kunjungan wisatawan dalam jumlah kecil dan mereka
masih leluasa dapat bertemu dan berkomunikasi serta berinteraksi dengan
penduduk local. Karakteristik ini cukup untuk dijadikan alasan pengembangan
sebuah kawasan menjadi sebuah destinasi atau daya tarik wisata.
B. Tahap Pelibatan (Involvement)
Pada tahap pelibatan, masyarakat
local mengambil inisiatif dengan menyediakan berbagai pelayanan jasa untuk para
wisatawan yang mulai menunjukkan tanda-tanda peningkatan dalam beberapa
periode,. Masyarakat dan pemerintah local sudah mulai melakukan sosialiasi atau
periklanan dalam skala terbatas, pada musim atau bulan atau hari-hari tertentu
misalnya pada liburan sekolah terjadi kunjungan wisatawan dalam jumlah besar,
dalam kondisi ini pemerintah local mengambil inisiatif untuk membangun
infrastruktur pariwisata namun masih dalam skala dan jumlah yang terbatas.
C. Tahap Pengembangan (Development)
Pada tahapan ini, telah terjadi
kunjungan wisatawan dalam jumlah besar dan pemerintah sudah berani mengundang
investor nasional atau internatsional untuk menanamkan modal di kawasan wisataw
yang akan dikembangkan. Perusahaan asing (MNC) Multinational companytelah
beroperasi dan cenderung mengantikan perusahan local yang telah ada, artinya
usaha kecil yang dikelola oleh penduduk local mulai tersisih hal ini
terjadi karena adanya tuntutan wisatawan global yang mengharapkan standar mutu
yang lebih baik. Organisasi pariwisata mulai terbentuk dan menjalankan
fungsinya khususnya fungsi promotif yang dilakukan bersama-sama dengan
pemerintah sehingga investor asing mulai tertarik dan memilih destinasi yang ada
sebagai tujuan investasinya.
D. Tahap Konsolidasi (Consolidation)
Pada tahap ini, sector pariwisata
menunjukkan dominasi dalam struktur ekonomi pada suatu kawasan dan ada
kecenderungan dominasi jaringan international semakin kuat memegang peranannya
pada kawasan wisata atau destinasi tersebut. Kunjungan wisatawan masih
menunjukkan peningkatan yang cukup positif namun telah terjadi persaingan harga
diantara perusahaan sejenis pada industri pariwisata pada kawasan tersebut.
Peranan pemerintah local mulai semakin berkurang sehingga diperlukan
konsolidasi untuk melakukan re-organisasional, dan balancing peran dan tugas
antara sector pemerintah dan swasta. Hubungan antara swasta (MNC dan Nasional)
dan pemerintah daerah semakin meningkat baik hubungan Government to
Government (G2G), Business to Business (B2B), dan Business to government (B2G).
E. Tahap Stagnasi (Stagnation)
Pada tahapan ini, angka kunjungan
tertinggi telah tercapai dan beberapa periode menunjukkan angka yang cenderung
stagnan. Walaupun angka kunjungan masih relative tinggi namun destinasi
sebenarnya tidak menarik lagi bagi wisatawan. Wisatawan yang masih datang
adalah mereka yang termasuk repeater guest atau mereka yang
tergolong wisatawan yang loyal dengan berbagai alasan. Program-program promosi dilakukan
dengan sangat intensif namun usaha untuk mendatangkan wisatawan atau pelanggan
baru sangat sulit terjadi. Pengelolaan destinasi melampui daya dukung
sehingga terjadi hal-hal negatif tentang destinasi seperti kerusakan
lingkungan, maraknya tindakan kriminal, persaingan harga yang tidak sehat pada
industry pariwisata, dan telah terjadi degradasi budaya masyarakat lokal.
F. Tahap Penurunan atau Peremajaan (Decline/Rejuvenation)
Setelah terjadi Stagnasi, ada
dua kemungkinan bisa terjadi pada kelangsungan sebuah destinasi. Jika tidak
dilakukan usaha-usaha keluar dari tahap stagnasi, besar kemungkinan destinasi
ditinggalkan oleh wisatawan dan mereka akan memilih destinasi lainnya yang
dianggap lebih menarik. Destinasi hanya dikunjungi oleh wisatawan domestik saja
itupun hanya ramai pada akhir pekan dan hari liburan saja. Banyak fasilitas
wisata berubah fungsi menjadi fasilitas selain pariwisata. Jika Ingin
Melanjutkan pariwisata?, perlu dilakukan pertimbangan dengan mengubah
pemanfaatan destinasi, mencoba menyasar pasar baru, mereposisi attraksi wisata
ke bentuk lainnya yang lebih menarik. Jika Manajemen Destinasi memiliki modal
yang cukup?, atau ada pihak swasta yang tertarik untuk melakukan penyehatan
seperti membangun atraksi man-made, usaha seperti itu dapat dilakukan, namun
semua usaha belum menjamin terjadinya peremajaan.
2.3.
Daya Dukung (Carrying
Capacity) dan Kedudukannya Dalam Proses Perencanaan oleh MacLeod &
Cooper
Untuk menghindari decline atau penurunan kualitas yang
telah dijelaskan pada teori Butler diatas, teori daya dukung atau harus
dipahami oleh pemegang kebijakan dan masyarakat untuk menghindari kerusakana
yang terjadi karena eksploitasi yang berlebihan baik eksploitasi pada sumber
daya alam dan ranah sosial budaya masyakat sebagai tuan rumah.
Daya dukung mengacu pada kemampuan sebuah sistem untuk mendukung suatu
aktivitas pada derajat (level) tertentu (MacLeod and Cooper,
2005). daya dukung lingkungan didefinisikan sebagai jumlah optimum
individu suatu speseis yang dapat didukung kebutuhan hidupnya oleh satu kawasan
tertentu pada periode perkembangan spesis secara maksimum. Sementara menurut
Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, daya
dukung dimaksudkan sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk dapat mendukung
peri kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya di dalam suatu ekosistem.
Konsep daya dukung menurut MacLeod and Cooper (2005) dikategorikan atas :
daya dukung fisik, daya dukung ekologi, daya dukung sosial dan daya dukung
ekonomi.
·
Daya dukung fisik; Didasarkan pada
batas spasial sebuah areal dengan memperhatikan berapa materi (unit) yang
dapat ditampung dalam areal tersebut.
·
Daya dukung ekologi: secara
sederhana adalah berapa ukuran populasi pada suatu ekosistem agar ekosistem
tersebut dapat berkelanjutan, batas kepadatan populasi yang melebihi daya
dukung dapat menyebabkan laju tingkat kematian spesies menjadi lebih besar dibandingkan
angka kelahiran. Pada prakteknya, hubungan antar spesies amatlah kompleks dan
angka kelahiran maupun kematian rata-rata dapat menyeimbangkan kepadatan
populasi pada suatu tempat.
·
Daya dukung sosial : intinya adalah
ukuran yang dapat ditoleransi pada suatu tempat yang dikerumuni orang banyak.
·
Daya dukung ekonomi: dapat
digambarkan sebagai tingkat dimana suatu area dapat diubah sebelum aktivitas
ekonomi terjadi sebelum mendapat pengaruh yang merugikan.
Sehingga, melalui konsep daya dukung
yang dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa daya dukung (Carrying
Capacity) memegang peranan dan kedudukan yang vital dalam mengontrol
arah pengembangan perencanaan suatu obyek pariwisata sehingga aktifitas
pariwisata yang dibangun tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang
direncanakan dengan menganalisis daya dukung yang tersedia di suatu obyek
wisata untuk memenuhi permintaan/aktifitas kepariwisataan tersebut baik itu
wisatawan (demand) ataupun sumber daya manusia dan alam (supply)
2.4.
Keterkaitan 5 Pilar Pengembangan
Berikut dibawah ini merupakan salah satu inti keterkaitan 5 pilar
pengembangan yang harus dicermati dalam membangun kawasan pariwisata. Proses
perencanaan pengembangan kawasan pariwisata diawali dengan melakukan analisis
faktor internal dan eksternal suatu kawasan. Faktor internal adalah sesuatu
yang dapat diprediksi dan diatur sesuai tujuannya, hal yang berada didalamnya
yaitu Supply (Tourist Attraction, Accessibility, Amenity, Ancillary,
Community Involvement) Sedangkan factor eksternal adalah Demand (Tingkat
kunjungan wisatawan) yang datang kesuatu kawasan pariwisata.
1.
Hubungan Demand dengan Tourist Attraction
Tourist attraction adalah segala atraksi
yang mernarik untuk dilihat dan dikunjungi sehingga sangat besar
pengaruhnya dalam mempengaruhi demand (tourist) untuk
berkunjung kesuatu destinasi pariwisata.
2.
Hubungan Demand dengan Accessibility
Akses adalah suatu hal yang sangat penting dan vital dalam mempengaruhi
kunjungan wisatawan (demand) ke suatu objek/destinasi
pariwisata. Tidak dapat dipungkiri, dalam pengembangan sebuah destinasi
pariwisata demand saling mempengaruhi dalam pembangunan akses
menuju objek wisata tersebut. Jika suatu daerah memiliki potensi pariwisata,
maka harus disediakan aksesibilitas yang memadai sehingga daerah tersebut dapat
dikunjungi demand atau tourist.
3.
Hubungan Demand dengan Amenities
Amenities merupakan hal yang pentingnya dalam pengembangan
kawasan pariwisata. Amenities dapat berbentuk
fasilitas-fasilitas penunjang seperti hotel, transportasi, restaurant, spa, dan
yang lainnya. Jika di suatu daerah tidak terdapat amenities yang mencukupi,
maka demand tidak akan betah berkunjung di tempat tersebut. Amenities ini
sangat dipengaruhi oleh permintaan dan harapan konsumen, Fasilitas-fasilitas
inilah yang menyebabkan demand merasa betah dan nyaman berada
di suatu destinasi pariwisata. Jika amenities tidak
berkualitas dan mencukupi, maka demandtidak akan tertarik untuk
mengunjungi daerah tersebut.
Begitu pula sebaliknya, jika tidak ada demand maka amenities tidak
akan berkembang karena tidak ada pemasukan atau keuntungan. Namun sebaliknya,
jika pembangunan amenity core tersebut dilakukan terlalu
eksploratif seperti yang terjadi , maka
pengembangan tersebut akan jauh dari konsep sustainability yang
berbasis berkelanjutan dan pro kerakyatan.
4.
Hubungan Demand dengan Ancillaries
Ancillaries adalah hal-hal pendukung sebuah pariwisata,
seperti misalnya ketersediaantourist information centre dan
peraturan-peraturan mengenai objek wisata tersebut. Adanya hal-hal pendukung
ini disebabkan oleh demand yang berkunjung ke suatu tempat karena hal-hal
tersebut dibutuhkan oleh demand dan dirasa dapat menghasilkan
keuntungan, kenyamanan dan keamanan dalam berkunjung.
5.
Hubungan Demand dengan Community Involvement
Community involvement adalah keterlibatan atau
dukungan masyarakat dalam kegiatan pariwisata. Community involvement ini
sangat mempengaruhi kunjungan demand. Masyarakat harus dapat
mendukung jalannya kegiatan pariwisata ini. Jika masyarakat tidak mendukung
atau melakukan tindakan-tindakan anarkis seperti pencurian, perampokan,
pengeboman, pembunuhan, maka demand tidak akan berani
mengunjungi daerah tersebut. Sebaliknya, jika masyarakat bersikap baik dan
ramah terhadap tamu, maka tourist akan betah tinggal di daerah
tersebut. Sehingga peran keterlibatan masyarakat adalah sangat menentukan
keberlanjutan sebuah kawasan wisatanya sendiri, terlebih dengan potensi
kebudayaan yang mengundang minat wisatawan mancanegara untuk berkunjung maka
telah sepantasnya masyakat dapat menikmati hasil pariwisata itu sendiri.
2.5.
Perencanaan Kawasan Wisata yang
Berkelanjutan Oleh Verseci dalam A.Yoeti
Perencanaan pembangunan pariwisata berkelanjutan dilakukan dengan mengelola
sumber daya pariwisata (Tourism Resources) yang tersebar
diseluruh wilayah tanah air. Sebelum suatu rencana akan dilakukan, untuk
pembangunan pariwisata berkelanjutan mutlak kiranya terlebih dahulu dilakukan
pendekatan pada pemuka adat setempat (A.Yoeti, 2008:253) dalam kasus ini adalah
masyarakat, perlu dilakukan penjelasan dengan melakukan sosialisasi manfaat dan
keuntungan proyek bagi penduduk setempat dan para stakeholder agar terwujudnya
sebuah pengembangan kawasan pariwisata yang berkelanjutan dan pro
community. Verseci dalam A.Yoeti (2008 : 253) perencanaan strategis
pembangunan pariwisata berkelanjutan memberikan kerangka kerja sebagai berikut (http://freebahankulaih.blogspot.com);
Keterangan :
1.
Future Generation, yaitu generasi yang akan datang yang perlu diperhatikan kecukupan sumber
daya untuk memperoleh kehidupan yang berimbang
2.
Tourism Resources, yaitu sumber daya pariwisata yang dikelola dengan memperhatikan keempat
factor lainnya : future generation, equity, partnership, dan carrying capacity
3.
Equity,
yaitu sikap perencana dan pengelola yang dituntut selalu memperhatikan unsur
keadilan untuk mencapai pembangunan yang berkesinambungan di waktu yang akan
datang.
4.
Carrying Capacity, yaitu kemampuan suatu kawasan untuk menampung kunjungan wisatawan dan
semua permasalahan yang terjadi sebagai akibat kunjungan wisatawan ini.
5.
Partnership,
yaitu kemitraan yang perlu diciptakan antara generasi sekarang dengan generasi
yang akan datang.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Melalui pemaparan kosep dan teori pada BAB sebelumnya, dapat ditarik
kesimpulan bawasannya sebuah perencanaan pengembangan kawasan pariwisata
merupakan suatu proses awal yang vital untuk mencapai sasaran pengembangan yang
memiliki tujuan yang positif kearah kesejahtraan dan keberlanjutan.
Arah pengembangan suatu kawasan pariwisata harus dikaji secara komprehensif
dan berbasis pada pengembangan dan keterlibatan masyarakat lokal CBT (Community
Based Tourism) yang merupakan salah satu pilar utama untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan mempertimbangkan aspek lainnya yaitu sosial budaya dan
lingkungan. Selain hal tersebut, kosep daya dukung suatu kawasan pariwisata
harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya eksploitasi atau kerusakan yang
bersifat tangible maupun intangible oleh sebuah aktifitas pariwisata.
3.2. Saran
Begitupula dalam menyikapi fenomena dimana terjadi sebuah pengembangan
kawasan pariwisata yang tidak berbasis pada konsep keberlanjutan dengan secara
eksploratif melakukan pembangunan “amenity core” atau
fasilitas pariwisata tanpa mempertimbangkan carrying capacity atau
daya dukung kawasan tersebut. Sehingga dengan arah pengembangan tersebut
dikhawatirkan kawasan pariwisata akan menjadi sebuah kawasan wisata yang
kehilangan karakterisitk yang sebelumnya menjadi atraksi utama yang memotivasi
wisatawan untuk datang.
Selain itu, dengan pembangunan amenity core yang
berlebihan dan tentunya lebih dikuasai oleh pemodal asing dikhawatirkan
pendapatan ekonomi yang dihasilkan dikawasan tersebut tidak memiliki multiplier
effect kepada masyarakat sekitar kawasan wisata dan tujuan
pengembangan kawasan yang berujung pada kesejahtraan masyarakat lokal tidak
akan pernah terwujud.
Daftar
Pustaka
·
Bayu Wisnawa, I Made (2012)
http://freebahankulaih.blogspot.com/2010_08_01_archive.html
·
Daud,Pahlano,JR. (2009). Pariwisata
dan Perubahan Lingkungan.http://mukhtar-api.blogspot.com/2009/06/pariwisata-dan-perubahan-lingkungan.html
·
Paturusi, Samsul A. (2001).
Perencanaan Tata Ruang Kawasan Pariwisata, Materi kuliah Perencanaan Kawasan
Pariwisata Program Magister (S2) Kajian Pariwisata, Program Pasca Sarjana
Universitas Udayana Denpasar.
·
Yoeti,Oka.A.(2008) Perencanaan dan
Pengembangan Pariwisata. Pradnya Paramita : Jakarta
ok , ijin share
BalasHapus