Makalah
Pembangunan Berkelanjutan
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Reformasi yang
dimulai pada tahun 1998 memperjuangkan adanya good governance and clean
government. Tuntutan yang diajukan ini merupakan reaksi terhadap keadaan
pemerintah pada era Orde Baru dengan berbagai permasalahan yang terutama
meliputi pemusatan kekuasaan pada Presiden, baik akibat konstitusi (UUD 45)
maupun tidak berfungsi dengan baik lembaga teringgi dan tinggi negara lainnya,
serta tersumbatnya saluran partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol
sosial.
Lima Tahun setelah
dimulainya reformasi, keinginan untuk memperoleh good governace and clean
government masih jauh daripada dipenuhi. Berbagai kendala menampakkan diri
dalam bentuk gejolak politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, pemerintahan, yang
simpang siur dan menimbulkan ketidakpastian yang bermuara pada keresahan dan
letupan-letupan yang membahayakan sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Dalam pada itu,
secara konseptual telah berkembang prinsip pembangunan berkelanjutan yang
mewarnai perkembangan dunia sejak KTT di Rio de Janeiro pada tahun 1992.
prinsip tersebut telah dicantumkan baik dalam berbagai konvensi pada tingkat
global, maupun dalam berbagai kesepakatan regional, kebijakan nasional, dan
kebijakan lokal.
1.2. Rumusan Masalah
Hubungan antara good
governance dan pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dari sudut kelembagaan
dan dari sudut sikap sumberdaya manusianya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. GOOD GOVERNANCE
Kunci utama memahami
good governance, menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), adalah
pemahaman atas prinsip-prinsip yang mendasarinya. Bertolak dari prinsip-prinsip
ini didapat tolok ukur kinerja suatu pemerintah.
Prinsip-prinsip
tersebut meliputi:
a. Partisipasi masyarakat: semua
warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara
langsung maupun melalui lembaga¬lembaga perwakilan yang sah yang mewakili
kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan
kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kepastian untuk
berpartisipasi secara konstruktif.
b. Tegaknya supremasi hukum:
kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk
didalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
c. Transparasi: transparansi
dibangun atas dasar informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintah,
lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti
dan dipantau.
d. Peduli dan stakeholder:
lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintah harus berusaha melayani semua
pihak yang berkepentingan.
e. Berorientas pada consensus: tata
pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi
terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi
kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal
kebijakan-kebijakan dan prosedur¬prosedur.
f. Kesetaraan: semua warga
masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan
mereka.
g. Efektifitas dan efisiensi: proses-proses
pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga
masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal
mungkin.
h. Akuntabilitas: para pengambil
keputusan di pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat
bertanggungjawab, baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang
berkepentingan.
i. Visi strategis: para pemimpin dan
masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata
pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja
yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga
harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya, dan sosial yang
menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
Good governace hanya
bermakna bila keberadaannya ditopang oleh lembaga yang melibatkan kepentingan
publik. Jenis lembaga tersebut adalah sebagai berikut:
a. Negara
· menciptakan kondisi politik,
ekonomi, dan sosial yang stabil;
· membuat peraturan yang efektif
dan berkeadilan;
· menyediakan public service yang
efektif dan accountable;
· menegakkan HAM;
· melindungi lingkungan hidup;
· mengurus standar kesehatan dan
standar keselamatan publik
b. Sektor swasta:
• Menjalankan industri;
• Menciptakan lapangan kerja;
• Menyediakan insentif bagi karyawan;
• Meningkatkan standar kehidupan masyarakat;
• Memelihara lingkungan hidup;
• Menaati peraturan;
• Melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi pada masyarakat;
• Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM
c. Masyarakat madani:
• Manjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi;
• Mempengaruhi kebijakan;
• Berfungsi sebagai sarana checks and balances pemerintah;
• Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah;
• Mengembangkan SDM;
• Berfungsi sebagai sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat.
2.2. PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN
World Commission on
Environment and Development (WCED) atau Brundtland Commission memberikan
definisi pada prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang
memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi-generasi
mendatang memenuhi kebutuhan sendiri”, definisi tersebut tercantum dalam
Laporan Brundtland Commission Our Common Future yang diterbitkan pada tahun
1987.
Prinsip pembangunan
berkelanjutan diangkat dalam berbagai hasil dari Konferensi PBB tentang Lingkungan
dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development atau
UNCED), yang program kegiatannya dicantumkan dalam Agenda 21 Global.
Agenda 21 Global
dijabarkan lebih lanjut dalam agenda 21 Nasional. Di Indonesia penjabaran
tersebut dilaksanakan dengan ditetapkannya Agenda 21-Indonesia pada tahun 1997.
Agenda 21-Indonesia
memperoleh penjabaran secara vertikal dalam Agenda 21 Propinsi dan secara
horizontal dalam agenda 21 Sektoral.
Keseluruhan Agenda
21, mulai dari dari yang global ke yang regional, nasional dan lokal, merupakan
advisory document yang memberikan saran kegiatan yang dapat dilakukan. Apabila
ada bagian dari Agenda 21 Propinsi yang akan diberikan dasar hukum untuk
memudahkan implementasinya, maka bagian tersebut harus dimasukkan ke dalam Pola
dasar Pembangunan Propinsi yang bersangkutan yang penetapannya dilakukan dengan
Peraturan Daerah.
Pembangunan
berkelanjutan menjadi topik utama untuk konferensi Puncak Tinggi di
Johannesbirg, yang dinamakan World Summit on Sustainable Development (WSSD),
yang berlangsung pada tanggal 2-4 September 2002, yang telah menghasilkan
Deklarasi Johanneburg mengenai Pembangunan Berkelanjutan. Deklarasi tersebut
memuat 37 butir dengan sub-judul: dari Asal Muasal ke Masa Depan, dari
Stockholm ke Rio de Janeiro ke Johannesburg, Tantangan Yang Kita Hadapi,
Komitmen kami terhadap Pembangunan Berkelanjutan, Multilateralisme adalah Masa
Depan, dan Mari Mewujudkan (Making it Happen).
2.3. HUBUNGAN HUKUM DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Masalah yang timbul yang
berkaitan dengan bagaimana mengembangkan hukum lingkungan yang tepat guna
mendukung pembangunan berkelanjutan bersumber pada tidak adanya yurisprudensi
tentang pembangunan berkelanjutan. Bertahun¬tahun pembaharuan hukum lingkungan
dilaksanakan di berbagai negara di dunia ini tanpa pemahaman yang jelas tentang
kebutuhan untuk mengembangkan prinsip-prinsip yang menjadi pedoman sebelum
memasuki proses perancangan Perundang-undangan. Berbagai pengalaman yang
diperoleh dalam hubungan ini dan adanya pengembangan prinsip-prinsip panduan
sebagaimana tercantum dalam Agenda 21, menyoroti kebutuhan akan perlu adanya
kerangka hukum yang integratif dan menyeluruh untuk pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan.
Pendekatan
Perundang-undangan perlu memberikan perhatian kepada pelaksanaan substansi dari
pembangunan berkelanjutan melalui konsep daya dukung ekosistem dan
metode-metode lain yang memadukan kepedulian lingkungan dengan kebutuhan sosial
– ekonomi.
Hukum dapat
menyediakan instrumen yang berguna sebagai pedoman bagi perilaku manusia, dan
dimana perlu memaksakannya. Dengan jalan ini, hukum dapat memberikan landasan
bagi perubahan perilaku yang diperlukan bagi pengembangan masyarakat yang
benar-benar berkelanjutan.
Reformasi politik
hukum, menurut Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), seharusnya
dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi serta mengarah kepada perbaikan
6 (enam) hal, yaitu:
a.
Lembaga
Perwakilan yang mampu menjalankan fungsi kontrol yang efektif (effective
representative system);
b.
Peradilan
yang bebas dari campur tangan eksekutif, bersih (tidak korup), dan
professional;
c.
Aparatur
pemerintah (birokrasi)yang professional dan memiliki integritas yang kokoh;
d.
Masyarakat
sipil yang kuat sehingga mampu melaksanakan fungsi public control (public
watchdog) dan penekanan (pressure);
e.
Desentralisasi
dan lembaga perwakilan Daerah yang kuat serta didukung oleh local civil society
yang juga kuat (democratic decentralization)
f.
Adanya
mekanisme resolusi konflik.
2.4. KOMITMEN KELEMBAGAAN
Pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan merupakan komitmen kelembagaan di tingkat global,
yang tercantum dalam berbagai konvensi yang merupakan tindak lanjut dari KTT di
Rio de Janeiro.
Dalam Rencana
Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan sebagai hasil WSSD dinyatakan di
antaranya, bahwa Majelis Umum PBB harus mensahkan pembangunan berkelanjutan
sebagai satu unsur kunci dalam menentukan kerangka kegiatan PBB khususnya untuk
mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan yang telah disepakati secara
internasional, termasuk yang terdapat pada Deklarasi Millenium dan harus
memberikan arahan politik yang menyeluruh terhadap pelaksanaan Agenda 21 dan
pengkajiannya.
Rencana tersebut
menyatakan pula bahwa Commission for Sustainable Development (CSD) harus terus
menjadi komisi tingkat tinggi mengenai pembangunan berkelanjutan dalam sistem
PBB dan berfungsi sebagai forum untuk membahas isu-isu yang berkaitan dengan
integrasi ketiga dimensi pembangunan berkelanjutan. CSD harus memberikan
penekanan yang lebih pada tindakan-tindakan yang mendukung pelaksanaan pada
semua tingkatan, termasuk memajukan dan memfasilitasi kemitraan yang melibatkan
pemerintah, organisasi internasional dan para pemangku kepentingan terkait
untuk pelaksanaan Agenda
21.
21.
Rencana tersebut di
atas menekankan pula perlunya lembaga-lembaga internasional, baik di dalam
maupun di luar sistem PBB, termasuk lembaga keuangan internasional, WTO dan
GEF, untuk memperkuat, dalam mandatnya, usaha kerjasama mereka untuk memajukan
dukungan kolektif dan efektif bagi pelaksanaan Agenda 21 pada semua tingkatan.
Pembangunan
berkelanjutan merupakan pula komitmen regional. Dalam Rencana Pelaksanaan KTT
Pembangunan Berkelanjutan dinyatakan bahwa pelaksanaan Agenda 21 dan
hasil-hasil KTT harus secara efektif dilakukan pada tingkatan regional dan
subregional, melalui komisi-komisi regional dan badan-badan serta
lembaga-lembaga regional dan sub-regional lainnya. Komitmen regional di
antaranya dapat dilihat dalam Asean Environmental Program (ASEP)
Dalam Rencana
Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan tercantum bahwa setiap negara
mempunyai tanggung-jawab utama terhadap pembangunan berkelanjutannya, dan peran
dari kebijakan nasional dan strategi pembangunan sangatlah penting. Setiap
negara harus memajukan pembangunan berkelanjutan pada tingkat nasional dengan
antara lain, memberlakukan dan menegakkan Undang-Undang yang jelas dan efektif
yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Semua negara harus memperkuat
lembaga-lembaga pemerintah, termasuk melalui penyediaan
infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan dan dengan memajukan transparansi,
akuntabilitas dan lembaga-lembaga administratif dan lembaga-lembaga peradilan
yang adil.
Dengan pencantumannya
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dimulai dengan GBHN 1993 yang
dipengaruhi oleh hasil UNCED pembangunan berkelanjutan senantiasa menjadi
kebijakan nasional, yang dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai produk
legislative pada tingkat nasional dan tingkat daerah, diantaranya dengan
diundangkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, dimasukkannya ketentuan tentang pembangunan berkelanjutan dalam GBHN
1999, serta Peraturan-peraturan daerahnya masing¬masing.
Penerapan kebijakan
tentang pembangunan berkelanjutan ini dalam praktek menimbulkan deviasi yang
cukup jauh, yang diakibatkan oleh kurang singkronnya peraturan satu dengan yang
lainnya dan oleh berbedanya persepsi para aparat penegak hukum tentang suatu
peraturan. Cukup banyak peraturan yang ketentuan-ketentuannya dapat
diinterpretasikan berbeda-beda (multi interpretable) yang mempengaruhi
pelaksanaan yang sering bertubrukan satu dengan yang lainnya.
Komitmen kelembagaan membawa kepada keharusan adanya
sinkronisasi pelaksanaan agar terdapat penanganan terpadu dengan pendekatan
lintas sektor dan multi-serta interdisipliner.
2.5. KOMITMEN SUMBER DAYA MANUSIA
Penerapan pembangunan
berkelanjutan mensyaratkan adanya sumber daya manusia pelaksana pembangunan
berkelanjutan yang memahami esensi pembanguna berkelajutan.
Kadar komitmen
sumberdaya manusia tergantung pada pendidikan yang dilalui oleh sumberdaya
manusia tersebut yang membawa kepada pemahaman dan penghayatan esensi
pembangunan berkelanjutan sebagaimana tercantum dalam definisi Brundtland
Commission. Ini berarti bahwa esensi pembangunan berkelanjutan perlu dimasukkan
dalam kurikulum pendidikan, mulai tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah
ke pendidikan tinggi, dengan substansi dan cara penyajian yang disesuaikan
dengan kemampuan persepsi anak didik menurut jenjang pendidikannya.
Sumber daya manusia
pelaksana pembangunan perlu senantiasa bertanya pada diri sendiri, apa yang
tengah dilakukannya itu dampaknya (terutama dampak negatif) terhadap anak cucu.
Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidaklah semata-mata merupakan
komitmen kelembagaan, akan tetapi juga komitmen pribadi masing-masing.
Seorang pemimpin,
baik di lingkungan pemerintah maupun sektor swasta, perlu senantiasa
membiasakan diri untuk merasa berkewajiban mendengar (luisterplicht) apa yang
dikatakan oleh masyarakat yang mempunyai hak berbicara (spreekrecht). Kewajiban
mendengarkan bagi pejabat dan hak berbicara bagi masyarakat merupakan unsur
dari lembaga inspraak di Negeri Belanda, yang merupakan perwujudan dari peran
serta masyarakat. Peran serta atau partisipasi masyarakat merupakan salah satu
pilar utama good governance dan pembangunan berkelanjutan.
Rencana Pelaksanaan
KTT Pembangunan Berkelanjutan menyatakan, bahwa semua negara harus memajukan
partisipasi masyarakat melalui langkah-langkah yang memberikan akses terhadap
informasi mengenai legislasi, regulasi, aktifitas, kebijakan, dan
program-program.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dengan memperhatikan
berbagai kriteria yang dikaitkan dengan pelaksanaan good governance dan telah
ditetapkannya berbagai kebijakan pembangunan berkelanjutan pada tingkat global,
regional, nasional, dan lokal, yang perlu dilaksanakan adalah evaluasi dari
berbagai peraturan yang ada dengan disandingkannya dengan kriteria good
governance dan kebijakan pembangunan berkelanjutan.
Valuasi ini merupakan tugas yang tidak mudah, karena
pendekatannya tidak hanya semata-mata dari sudut yuridis, akan tetapi dengan
juga memperhatikan substansi yang diatur yang diatur demikian luas
jangkauannya.
Pendekatan yang perlu
diambil adalah pendekatan multi-dan interdispliner dan lintas sektoral.
3.2. Saran
Evaluasi harus pula
melibatkan peran dari semua stakeholders dengan suatu komitmen yang tinggi,
yang merupakan conditio sine qua non bagi pembenahan dan pembuatan pondasi baru
pelaksanaan good governance dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan, yang
sesuai dengan jiwa reformasi yang sesungguhnya.
Setiap perubahan
sebagai tindak lanjut dari evaluasi perlu melalui konsultasi publik seluas
mungkin, baik dari sudut banyaknya unsur yang dilibatkan maupun dari sudut
jangkau daerah, sehingga perubahan tersebut akan benar-benar dipahami. Selain
daripada itu, sosialisasi setelah menjadi peraturan sangat diperlukan untuk
memantapkan penegakan hukumnya. Dalam hubungan ini, peran media massa, baik
cetak maupun elektronik, sangatlah penting.
DAFTAR PUSTAKA
·
Myrdal,
Gunnar. (1968). Asian Drama: An Inquiry into Poverty of Nations. 3
vols. New York: Twentieth Century Fund.
·
O’Hara,
Philip Anthony. (1993). “Veblen’s Analysis of Business, Industry and the Limits
of Capital”.History of Economic Review, Volume 20,:pp. 95-119.
·
———.
(2007). “Social Structure of Accumulation in the US and China: The Index of
System Contradiction for Long Waves”. Working Paper-Global Political
Economy Research Unit (GPERU) Curtin University:33 pp.
·
———.
(2008b). “Principle of Circular and Cumulative Causation: Fusing Myrdallian and
Kaldorian Growth and Development Dynamics”. Journal of Economics
Issues, Volume XLII, (Number 2):pp. 375-387.
·
Veblen,
Thorstein. (1898). The Theory of Leisure Class: An Economic Study in
the Evolution Institutions. New York: Macmillan.
·
The Gau’ 2011 : www.muhsakirmsg.blogspot.com
/makalah pembangunan berkelanjutan/html/
makasih atas informasinya
BalasHapusterimakasih infonya
BalasHapusTerimakasih artikelnya,
BalasHapussangat membantu